Ada Mathilda di Pelukku

130
Rate this post

RESITAL piano klasik delapan menit lagi dimulai. Gedung konser Lembaga Indonesia Prancis di kawasan Sagan Yogyakarta, penuh sesak. Tersisa satu kursi kosong tepat di samping dudukku.

“Kosong?” tanya sebuah suara ke arahku. Aku angkat kepala. Menatap wajahnya. Dalam hitungan empat detik, wajahnya membuyarkan seluruh imajinasiku tentang gadis ayu. Dia memang ayu.

“Kosong, silahkan,” aku berucap. Lalu dia membenamkan diri dalam kursi. Resital piano memainkan karya maestro Frédéric Chopin akhirnya berujung pada tidak konsentrasinya diriku. Dia penyebabnya.

Satu jam resital piano babak pertama selesai. Tersua waktu setengah jam beristirahat untuk menikmati secangkir teh dan aneka kudapan.

“Sendiri?” kutanya ketika dia hendak mengangkat tubuh.

“Ya, sendiri,” dia sejenak menatapku. “Kamu?” tanyanya.

“Sama, sendiri. O ya, namaku Agung,” kuulurkan tangan padanya. Dia menyambut uluran tanganku,” Mathilda Cantika. Cukup dipanggil Thilda.”

Lalu kami bersama-sama menikmati secangkir teh hangat.

“Tinggal di mana?” kutanya Thilda ketika babak kedua resital piano kelar digelar.

“Kos di Syantikara.”

“Aku di Gejayan. Kita searah.”

Rabu 14 Januari 1998. Jam sembilan malam. Menemani Thilda, aku berjalan kaki menelusuri jalan Prof. Herman Yohanes. Langit malam Yogya di bulan Januari. Ada rembulan, sedikit bintang. Pada perempatan jalan, kami belok kanan. Tak lebih dua ratus meter, tersua plang “Asrama Mahasiswi Syantikara.”

“Terima kasih telah menemani aku,” Thilda menatapku, sedikit membungkukkan badan.

“Kalau boleh tahu, jam berapa aku bisa main ke kosmu?” kutanya Thilda.

“Jam sepuluh pagi besok aku ada diskusi di fakultas Filsafat UGM. Kalau kau mau ikut, dengan senang hati. Kita ketemu di Filsafat,” ajaknya.

“Jam sepuluh kurang tiga puluh menit, aku sudah sampai sini. Aku bawa motor. Kalau kau tidak keberatan, kita naik motor saja.” Aku menawarkan diri. Sebuah anugerah, Thilda menerima tawaranku. Esok hari jam sembilan lebih tiga puluh menit, aku sudah di depan pintu Syantikara.

Aku terkejut. Diskusi di Filsafat UGM ternyata diskusi bawah tanah. Tokoh-tokoh penggerak demonstrasi anti-Orde Baru dari berbagai kampus, hadir. Keterkejutanku bertambah ketika moderator mengundang salah satu narasumber diskusi. Mathilda! Gadis ayu yang semalam hanya dalam waktu empat detik meruntuhkan segala imajinasiku tentang wanita, ternyata aktivis mahasiswa tulen.

“Aku memang memilih di belakang layar untuk merajut simpul-simpul gerakan,” kata Mathilda ketika diskusi selesai. “Tinggal tunggu waktu saja Orba runtuh. Setelah itu baru aku maju sidang skripsi. Lumayan, nanti pada halaman persembahan skripsiku tersua namamu,” Mathilda tersenyum menatapku.

Yogya sebagai simpul gerakan mahasiswa, membawa Thilda pada aktivitas nan padat. Sebagai tokoh yang fokus di belakang layar, peran Thilda begitu kentara. Dia menuliskan aneka risalah tuntutan demo yang disebar ke berbagai media. Lebih dari itu, dia menulis kisah yang kemudian tidak bisa hilang dari emosiku. Kisah romantika. Romantika antara diriku dengannya.

Kamis 21 Mei 1998, penguasa Orde Baru gulung tikar. Seperti janjinya, Thilda menuntaskan skripsi. Pada wisuda sarjana di bulan Agustus 1998, kami berbarengan diwisuda. Aku menyelesaikankan kuliah pada fakultas hukum, Thilda di psikologi. Thilda tidak bermain-main ketika mengucapkan akan menulis namaku di halaman persembahan skripsi. Benar-benar tersua namaku: Agung Wijayanto.

Pepatah leluhur menuturkan, hidup hanya bisa dilakoni, Tuhan tetaplah sutradaranya. Pepatah ini benar-benar berlaku pada panggung hidupku. Malam berhias lampu nan artistik di sepanjang Jalan Malioboro. Sajian gudeg khas Yogya. Thilda bertutur tentang panggilannya.

“Aku tinggal di Syantikara yang dikelola para suster, bukan sebuah kebetulan. Pun menjadi aktivis, bukan pula kebetulan. Syantikara, gerakan mahasiswa, membawa padaku pada tekad yang tiada bisa aku tolak. Panggilan!” Thilda menatap wajahku. “Panggilanku bukan untuk berumah tangga. Panggilanku lain, Agung. Panggilanku mendampingi orang-orang lemah dan kalah. Doakan aku memenuhi panggilanku!”

Sembilan belas hari setelah Thilda bercerita tentang panggilannya, aku mengantar dia ke bandara. Burung besi membawa dirinya terbang sangat jauh. Dari Yogya menuju Kalkuta, India. Di Kalkuta, Thilda akan memenuhi panggilannya. Menjadi biarawati Misionaris Cinta Kasih yang didirikan Bunda Theresia.

Kenal pertama pada 14 Januari 1998. Berpisah pada 11 Oktober 1998. Sembilan bulan bersama Mathilda, hidup menjadi berwarna. November 1998 aplikasi beasiswa master hukum yang aku kirim ke Universitas Leiden disetujui. Juni 1999 aku menuju Leiden. Beasiswa master dengan durasi dua tahun.

Master hukum tuntas. Organ milik PBB, Mahkamah Internasional menjadi tempat kerjaku. Berpusat di Den Haag dan beroperasi diseluruh dunia, membuat aku sering berkunjung ke empat penjuru mata angin. Empat tahun lamanya aku menjelajahi aneka negeri.

Tawaran beasiswa program doktor hukum dari Georgetown University menyudahi diriku berkarya di Mahkamah Internasional. Meninggalkan Den Haag menuju Washington D.C. Amerika Serikat. Pada tahun kedua studi, aku menjalani peran ganda, mahasiswa doktoral sekaligus asisten dosen Prof. Josef Hynek.

Sebagai pakar Amerika Latin, Prof. Hynek sering mengajak aku melakukan penelitian ke Amerika Latin. Kebetulan tesis doktorku juga fokus pada hukum di Amerika Latin. Jadilah aku suntuk mempelajari hukum sekaligus banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh teologi pembebasan..

Interaksi mendalam dengan para tokoh teologi pembebasan akhirnya mengubah orientasi hidupku. Pepatah leluhur menuturkan, hidup hanya bisa dilakoni, Tuhan tetaplah sutradaranya. Aku tidak bisa menolak suara batin dari Sang Sutradara Agung. Sepuluh semester menyelesaikan program doktor. Justru membawa diriku melangkah pada wilayah lain; seminari.

Pada usia yang tidak muda, tiga puluh lima tahun aku memutuskan menjadi rohaniwan. Belajar tujuh tahun lamanya di seminari. Hidup selibat, tidak menikah. Hidup sepenuh-penuhnya melayani Tuhan melalui orang-orang kalah dan tersisih.

Selesai belajar di seminari, Georgetown University memanggil balik ke kampus. Jadilah aku penggembala umat di Gereja Tritunggal Mahakudus Washington D.C., sekaligus dosen di Georgetown University. Dua tahun aku jalani. Namun dorongan kuat untuk kembali ke tanah air sudah tidak terbendung lagi. Dua puluh satu tahun berkelana pada berbagai negara akhirnya menuntun aku kembali ke kampung halaman; Yogyakarta.

Sebagai pastor aku bertugas di Gereja Kotabaru Yogyakarta. Panggilan intelektual, aku kembali kampus UGM, dosen di Fakultas Hukum. Ruang dosen yang aku tempati, terbuka lebar. Mahasiswa boleh datang ke ruanganku kapan saja.

Jam sebelas lebih dua puluh menit ketika aku selesai memberikan kuliah pagi hari. Teh hangat baru aku cecap dua seruput. Pintu ruanganku diketuk seseorang.

“Masuk…,” ucapku. Seorang mahasiswi melangkah masuk ke ruanganku. Empat detik! Ya tak lebih empat detik mahasiswi itu membuyarkan seluruh imajinasiku tentang gadis ayu. Dia memang ayu. Tanganku bergetar. Cangkir teh nyaris jatuh.

“Selamat siang, Romo Agung,” dia berucap.

“Ya, ya, siang. Silahkan duduk,” aku membenamkan diri ke kursi. Diikuti olehnya. Duduk tepat di hadapanku mahasiswi ayu yang tak lebih empat detik membuyarkan seluruh imajinasiku.

“Saya Linda, Romo. Mahasiswi semester dua. Mendapat tugas dari kampus untuk mengikuti debat antar mahasiswa hukum se-Indonesia. Temanya tentang hukum internasional. Mohon Romo berkenan menjadi pembimbing saya,” dia berucap, menatapku penuh percaya diri.

“Semester dua sudah menjadi wakil mahasiswa. Kamu pasti cerdas, Linda. Mau teh atau kopi?” kutawarkan padanya. Dia memilih teh. Aku beranjak dari duduk. Membuat secangkir teh. Lalu kusajikan padanya. Kembali kami duduk berhadapan.

“Apa alasanmu memilih aku menjadi pembimbingmu?” kutanya Linda.

“Setelah berdiskusi dengan banyak teman dan berkonsultasi sama ibu,” Linda bertutur.

“Siapa ibumu?” kembali aku bertanya.

“Mathilda Cantika.” Linda menjawab pendek.

Aku terperangah. Metabolisme tubuhku tiba-tiba menjadi kacau. Rabu 14 Januari 1998. Dua puluh satu tahun lalu. Hanya empat detik, Thilda membuyarkan seluruh imajinasiku tentang gadis ayu. “Boleh aku berbicara dengan ibumu?” aku berkata setelah berhasil menata metabolisme tubuh.

Linda mengais ponselnya. Dengan panggilan video, Linda mengontak ibunya. “Ibu, Romo Agung mau berbicara.” Ponsel Linda diulurkan padaku. Kuraih dan tampak pada layar ponsel wanita ayu yang pada masa lalu merontokkan romantika cintaku.

“Panggilanku ternyata bukan menjadi biarawati, Romo. Hanya setahun aku di Kalkuta. Selanjutnya aku pulang ke Yogya dan menjalani hidup berkeluarga. Linda anakku,” suara Mathilda terdengar kembali setelah lebih dua puluh satu tahun menghilang dari gendang telingaku. Aku tak mampu berucap. Aku tak siap dengan kejadian ini. Ponsel aku serahkan ke Linda.

“Linda, boleh aku memeluk dirimu?” kutatap Linda. Sedikit bingung, Linda tak paham apa yang aku minta. Aku mendekat ke arahnya. Lalu kupeluk Linda. Kupeluk erat. Mengingatkan aku ketika puluhan tahun lampau memeluk Mathilda. Ada butiran air mata mampir di mataku.

Hidup memang hanya bisa dilakoni. Tak bisa ditolak. Sang Sutradara Besar yang mengatur panggung kehidupan.  Aku melakoni menjadi biarawan. Mathilda berkeluarga.

Yogya, 1998. Karawaci, 5 Mei 2021

Oleh A.M. Lilik Agung

HIDUP, Edisi No. 23, Tahun ke-75, Minggu, 6 Juni 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here