USKUP TERPILIH KEUSKUPAN SIBOLGA TAK SEKADAR BASA-BASI

400
Animasi para pengurus Orang Muda Katolik, Dekanat Tapanuli, Keuskupan Sibolga. (Foto: Dok. Keuskupan Sibolga)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Tidaklah ringan tanggung jawab perutusan memimpin Keuskupan Sibolga kepada Uskup Terpilih, Mgr. Fransiskus Tuaman Sasfo Sinaga.

Banyak umat menduga, mungkin saja ia sekadar berbasa-basi pemanis sikap santun, ketika tidak siap gerak begitu ditunjuk menjadi uskup. Setiap kali seorang pastor diminta menghadap Nuncio di Kedutaan Besar Vatikan, Jakarta, saat diberitahukan ada penugasan dari Paus untuk menjadi Uskup, lalu pastor itu akan berdoa sendirian, di ruang sunyi sepi, khusuk berjam-jam, di kapel Nunciatura lantai atas kedutaan. Situasi itu hampir selalu jadi “rutinitas liturgis” pembuka awal kisah seorang uskup mulai bertugas resmi.

“Potestas ordinaria” (kuasa kepemimpinan berdasarkan jabatan) dan “potestas delegata” (kuasa eksekutif yang didelegasikan dari Takhta Apostolik). Itu artinya, uskup sebagai jabatan sekaligus untuk dan atas nama Paus memikul tanggung jawab sampai ke ujung sudut pinggiran wilayah keuskupannya.

Bagi dan olehnya, kepemimpinan Gereja Katolik sebagai uskup simultan pengganti Petrus bersama-sama di dalam persekutuan dengan semua uskup sedunia. Gereja adalah diri uskup itu sendiri, personal sekaligus institusi. Semua umat Katolik adalah buah sakramen-sakramen. Tiada pastor/diakon pemberi sakramen bilamana tidak berasal dari tahbisan oleh kuasa jabatan uskup. Tiada umat Allah, tiada sakramen, tanpa adanya uskup.

Dalam konteks nyata fakta situasional itu, kita membaca wilayah Keuskupan Sibolga yang meliputi 12 kabupaten/kota (5 di Pulau Nias dan 7 di wilayah daratan Tapanuli, Tengah dan Selatan). Total penduduknya berjumlah 2.484.053 jiwa. Namun umat Katolik hanya 8% sejumlah kurang-lebih 203.559 (data 2012). Umat berhimpun di komunitas basis teritorial paroki sejumlah 23 yang justru jauh lebih banyak di Pulau Nias (16 paroki). Mereka dilayani oleh 82 orang imam dengan jumlah imam Diosesan Sibolga tidak terlalu timpang (35) dari imam religius 3 ordo (OFMCap, OSC, SVD). Para awam religius (suster/bruder/frater) berjumlah cukup banyak (237 orang) dari berbagai kongregasi (SCMM, OSF, OSCCap, KSFL, FCJM, SdC, ALMA, BM, CMM, OFMCap). Rombongan berjubah “pasukan Uskup Sibolga” ini bertumpuk hampir bersesakan di Pulau Nias dan Tapanuli Tengah. Populasinya hanya satu juta lebih sedikit saja.

Lalu, apa bagaimana “sentuhan Kasih Yesus Kristus” di sudut-sudut pinggiran Tapanuli Selatan sampai ke ujung Padangbolak? Bagaimana Kotanopan di wilayah Rao berbatas kultur negeri Pasaman Minang, yang penuh misteri sejarah tak terungkap. Padahal belum cukup lama (1810-1830). Itu negerinya mitos Tuanku Rao Sipokki Raja Nangolngolan. Berat nih, situasi lapangan!

Wilayah Historis

Kita ungkapkan ketimpangan data statistik itu, karena melekat pada tanggung jawab “potestas delegata” dari/oleh Paus Fransiskus, pengganti Santo Petrus, kepada diri Uskup/ Gereja Sibolga. Minggu ke-2 Maret 2021 yang lalu, kehadiran pastoral Paus Fransiskus ke Irak, negeri kaum Muslim, di tengah wabah pandemi Covid-19 yang melanda seluruh kawasan dunia. Peristiwa bersejarah itu, diketahui dan dicatat oleh masyarakat dunia. Pun oleh masyarakat, sekurang-kurangnya para pejabat pemerintahan, TNI/Polri, aparatur sipil negara, sampai di ujung negeri kultur Muslim keras. Dahulu mereka korban perang paderi di walayah batas Rao, Pasaman, sampai Padanglawas.

Mereka pun kini mengetahui reputasi Paus Fransiskus yang fenomenal itu. Minimal, mereka patut dan layak mengetahui juga, adanya delegatus resmi formal yuridis sah untuk dan atas nama Paus Fransiskus yang “memimpin pmerintahan Kerajaan Allah, penyebar Kasih Persaudaraan sejati manusia” dalam “ukhuwah basyariah” dari Gereja Sibolga sampai di wilayah mereka. Apa bagaimana gerangan pengetahuan mereka akan kasih Kristus itu?

Manusiawi, ini tidak mudah. Perlu napas panjang di jalan berliku sarat tikungan, penuh onak duri. Namun, kita percaya Roh Kudus yang telah memilih dan menetapkan diri Uskup Sibolga, yang/karena “unggul dalam iman teguh, moral yang baik, kesalehan, perhatian  pada  jiwa-jiwa  (zelus  animarum),  kebijaksanaan, kearifan dan keutamaan-keutamaan manusiawi, serta memiliki sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut” (Kan. 378 – § 1). Keterpilihan oleh Roh Kudus jadi menyatukan keunggulan iman, kesalehan, dan kearifan kepemimpinan Gereja. Beban berat tanggung jawab penugasan itu termasuk “memimpin Gereja sampai ke sudut negeri misterius para korban genosida perang paderi.”

Konteks situasi yang persis serupa dengan kunjungan Paus Fransiskus ke negeri Persia, Irak, di wilayah Qaraqosh, Kota Niniwe, daerah Mosul yang hancur lebur penuh darah, korban perempuan dan anak-anak, harta dijarah, dan ragam bangunan bersejarah dihancur-leburkan. Di tanah Irak itu, Paus memproklamasikan perjalanannya sebagai “ziarah perdamaian”. Dalam kunjungan perjalanan ini, Paus menyampaikan pesan “kasih karunia Tuhan” yang sama sekali jauh dari kesan politik kepentingan. “Sekarang adalah waktu untuk membangun dan memulai kembali, bersandar pada Kasih Karunia Tuhan yang membimbing hidup semua individu dan bangsa”. Begitulah Gereja sebagai “guru iman dan guru moral, yang mengajar, menggembalakan, dan menguduskan” peziarahan kemanusiaan kita semua.

Secara statistika tidak mudah untuk mencari dan menemukan ada berapa orang insan beriman Katolik di wilayah historis mistik “paderi” kota kuno Natal, Gunungtua, Mandailing dan seterusnya. Karakter sosio-demografi kenusantaraan umumnya, selalu saja ada nomaden peladang, pekebun, pedagang pasar, transmigran, aparatur sipil, TNI/Polri, dokter dan nakes, guru, petugas kehutanan, dan lain-lain yang “terdampar” di pinggiran daerah tak terjamah. Konteks ini bisa jadi taktis “entry point” alasan peziarahan sang uskup selaku gembala “umat yang hilang”.

Namun, esensinya tetaplah mau menunjukkan kepada para pejabat dan masyarakat “daerah paderi” bahwa “ini wilayah perutusan kami Gereja Katolik, hadir di sini pembawa kasih karunia Tuhan bagi semua umat manusia”. Bilamana in concreto itu terjadi, pastilah akan “mengguncangkan” sebagaimana “kehadiran Roh Kudus selalu membuat terguncang” minimal diri personal yang disapa langsung.

Keunggulan keutamaan kearifan kebijaksanaan yang berasal dari Roh, tampil di situ. Hanya Rohlah yang dapat “mengubah kelakuan diri pribadi manusia” karena Roh berdiam di tempat itu. Tak mau pun diusir, begitu Dia nyaman berdiam. Pun Dia tak akan datang diundang, bila buah Roh tiada diam di situ.

Bersama Awam

Tantangan lain yang tidak serumit wilayah mistik misterius historis itu adalah “kedangkalan” (banalitas) praktik beriman Katolik. Keseleo lidah entah kapan dan dari mana “Katolik” dianggap sama dengan “Kristen”. Nampaknya ini sepele dan remeh temeh. Namun, dampak ikutannya bisa jadi strategis publik kenegaraan dan pemerintahan di pusat dan daerah. Bahkan ini menyentuh ke emosi, sentimen, sampai sosio-politis ke anggaran negara/daerah dalam APBN/D, positioning jabatan politik dan aparatur sipil, TNI/Polri.

Suasana adat-istiadat, upacara adat, dan “perpindahan acara peribadatan” pun bisa jadi terpengaruh menyentuh inti iman ke “perjamuan kudus” tanpa menghayati esensi tentang transubstansiasi. Ini bisa jadi fatal dalam beriman yang  benar di tengah ekumene dalam “berbeda tanpa bermusuhan.” Data statistik kependudukan berdasar KTP dan KK pun jadi diragukan validitasnya karena kekeliruan sepele tapi esensial dari situasi “dukcapil” ini.

Uskup “sekurang-kurangnya setiap lima tahun mengunjungi seluruh keuskupannya” (Kan. 396-§1). Penugasan ini pastilah tidak sulit dan sangat menggembirakan sebagai “hiburan rohani” bagi Uskup Sibolga. Dengan “hanya” 25 “wilayah setingkat paroki” dan beberapa komunitas yang “wajib dikunjungi.” Bahkan dalam lima tahun itu, semangat Uskup bisa jadi bersinar cerah penuh kegembiraan rohani dan jasmani dari kemeriahan pesta kunjungan di wilayah yang mudah dikunjungi ini.

Semoga keriaan semangat itu jadi berapi-api membawa maju ke arena juang bersama para awam yang kompeten memasuki “wilayah misterius historis” kerajaan Allah di pinggiran daerah perutusan Keuskupan Sibolga.

Nikolas Simanjuntak, putra Paroki Pangaribuan, Keusksupan Sibolga, tinggal di Jakarta

 HIDUP Edisi No. 24, Tahun ke-75, Minggu, 13 Juni 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here