Monica Aryani Saraswati: Jalan-Ku Bukan Jalanmu

452
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Setiap kejutan Tuhan membuatnya semakin yakin bahwa baik dalam suka dan duka Tuhan tak pernah meninggalkannya. Di setiap area hidupnya Tuhan hadir dan jalan-Nya yang terbaik.

SUARANYA merdu mendayu saat bibirnya bergerak memanjatkan doa kepada Dia yang ia kasihi. Kata-katanya mengalir lembut dari balik telepon menghantarkan getaran sukacita di atmosfer. “Berkati agar kami dapat dipakai sebagai sarana untuk membagikan kebaikan-Mu, Tuhan,” ucapnya lembut. Dalam doanya rasa syukur banyak terucap. Ia senantiasa percaya pentingnya memulai segala sesuatu dengan doa meskipun untuk kegiatan kecil sekalipun. Hal ini datang dari keyakinan bahwa tidak ada kegiatan yang remeh temeh bagi Tuhan sebab semuanya berharga di Mata Allah.

Sebel ke Gereja

Menjadi pribadi yang senantiasa berpaut kepada Tuhan tidaklah selalu mudah bagi Monica Aryani Saraswati. Ia juga mengalami dinamika yang berarti untuk mengenal Yesus dan Gereja-Nya. Tiap hari, tiap keputusan kecil yang ia buat, serta diiringi komitmen iman yang kuat bersama komunitaslah yang membantunya untuk tetap setia di jalan kekudusan.

Kelahiran 26 Februari 1980 berkisah, semasa kecilnya ia pernah merasa sangat sebel ketika diajak ke gereja oleh kedua orangtuanya. Baginya mengikuti Misa hari Minggu adalah beban. Apalagi kala itu, banyak kartun favoritnya tayang bertepatan di jam Misa. Kekesalannya itu pun ia tuangkan dalam teriakan kepada orangtuanya sambil mengunci diri di kamar mandi, “Klo Tuhan sayang sama aku, Tuhan engga bakal paksa aku kayak gini.” Sejak saat itu, timbul konflik batin dalam dirinya serta dengan kedua orangtuanya tentang kewajiban mengikuti Misa tiap hari Minggu.

Hingga saat libur kuliah datang, Tuhan sedang menunggu untuk memberikan kejutan kecil bagi Monica. Lewat ajakan sepupunya, alumna Universitas Tarumanegara jurusan akutansi ini setuju untuk mengikuti program retret. Alasannya sederhana, ia tidak ingin menghabiskan masa liburannya hanya di rumah saja. Walaupun motivasinya sebagai jalan keluar dari kebosanan semata, ternyata ada kisah lain yang sedang dirajut Tuhan. Ia sedang mempersiapkan Monica untuk menemukan wajah-Nya yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Retret bertajuk Seminar Hidup Baru dalam Roh yang diadakan di Universitas Atma Jaya itu menghantarnya kepada kasih yang sudah lama ia rindukan. Di sana, ia baru mengenal figur Tuhan sebagai Allah yang baik dan peduli. “Aku baru tahu bahwa Allah selalu ada buatku,” ungkapnya riang. Penemuan itu menjadi titik tolak balik hidupnya. Ia juga diundang oleh Tuhan untuk mengampuni kedua orangtuanya. Untuk memahami maksud baik kedua orangtuanya. Ia pun diingatkan juga jika ingin senantiasa dekat dengan Tuhan harus meluangkan waktu dengan membaca surat cinta-Nya, Kitab Suci. “Inilah titik balik hidupku di mana dekat Tuhan bukanlah suatu keharusan tetapi karena Tuhan sendiri lebih dahulu mengasihiku,” sebutnya.

Meraih Asa

Seiring berjalannya waktu, Monica mulai menapaki kariernya. Ia memulai kariernya sebagai Semi Senior Auditor di KPMG Indonesia. Di tahun 2004, ia berkarya di Commonwealth Bank Indonesia. Kemudian ia bekerja di ABN AMRO BANK. Saat bekerja di sana di tahun 2006, perempuan berparas manis yang hobi melancong ini pergi mengunjugi Negeri Para Singa. Singapura (SG) langsung memikat hatinya. Ia terkesima dengan sistem transportasi yang baik, kebersihan, dan keteraturannya. Hatinya sontak berbisik, “Aku ingin sekali bekerja di sini.”

Singkat cerita, Monica mencoba peruntungannya terdorong oleh temannya yang sudah mulai bergerilya untuk mendapat kesempatan di sana. Ia pun mengirim surat lamaran dan di terima. Hatinya langsung melonjak gembira mendengar kabar itu. Namun entah mengapa, batinya tak tentram setiap kali menyampaikan kabar itu kepada kerabat dan handai taulan. “Mestinya aku merasa bahagia. Ibarat aku pengen banget ke sana dan langsung dijawab, tapi ini air mata yang keluar,” kenangnya.

Hatinya mencelos dan mulai bertanya apakah kesempatan ini merupakan kehendak Tuhan atas dirinya. Ia mencoba mendengar suara Tuhan dalam tiap doanya, tapi hanya hening yang didapat. Di tengah kegamangan itu, ia pun teringat akan salah satu perkataan seorang pewarta di Persekutuan Doa (PD) bahwa buah doa adalah damai sejahtera. Jika tidak ada damai sejahtera berarti itu bukan jalan yang Tuhan kehendaki. Dengan berat hati, ia pun memberanikan diri untuk melepas tiket impiannya sembari belajar memercayakan masa depannya kepada Tuhan. Alhasil, keputusannya dikecam oleh pemberi kerja di Singapura dan rekan kerjanya. Suguhan kata-kata betapa bodohnya ia melepas kesempatan emas, impiannya, harus ia telan dalam-dalam.

Sebulan setelah itu, pimpinan memanggilnya. Ia dengan santai menanyakan apakah Monica masih ingin ke Singapura. Dengan gugup ia mengiyakan. Ia diinfokan bahwa CFO (Penanggung jawab keuangan perusahaan) di Singapura sedang membutuhkan staf, ia diminta untuk membantu di sana. Matanya terbelalak kaget mendengar informasi itu. “Aku kaget dan pergi ke sana kali ini tuh jalannya dimudahkan sekali. Semua akomodasi dan peluang kerja lebih baik dari sebelumnya yang ia usahakan sendiri. Jauh lebih baik,” terangnya. Pada titik ini hatinya diliputi sukacita dan damai sejahtera. Kondisi batin yang sungguh berbeda dari yang ia alami sebulan lalu. Sebagai bentuk rasa syukurnya itu, ia semakin tekun memberikan waktunya untuk Tuhan dengan giat membaca Kitab Suci. Ia kian tersadar bahwa Tuhan pasti memberikan yang terbaik kepada anak-Nya walaupun ia sering “menghajar” mereka yang dipanggil-Nya sebagai anak.

Dari peristiwa ini pula, Monica belajar berdamai dengan hidupnya. Ia mau menerima segala sesuatu yang Tuhan berikan baik itu pengalaman menyenangkan atau buruk sebab segala sesuatu diberikan atas dasar kebaikan dan rancangan-Nya adalah damai sejahtera.

“Hingga sekarang aku masih terus berproses untuk meletakan hidupku pada Penyelenggaraan Tuhan. Sering kali kuatir itu manusiawi dan di situlah mengapa dibutuhkan relasi dengan Tuhan setiap hari,” ungkapnya berapi-api.

Sekolah Misi

Pada akhir tahun 2011 hatinya terpanggil untuk bergabung dengan sekolah misi ICPE School of Mission di Wellington, New Zealand (NZ). Sekolah Misi ini didirikan oleh Anna dan Mario Cappello dengan mencanangkan spiritualitas Ignasian dan Karismatik. Institut Evangelisasi Dunia – Misi ICPE adalah misi Katolik yang terdiri dari pengikut Kristus yang berkomitmen untuk melakukan evangelisasi. Misi ICPE sendiri didedikasikan untuk pembentukan dan pelatihan umat Katolik sehingga mereka dapat menjadi penginjil yang lebih efektif. Melalui penginjilan, pemuridan, pembangunan komunitas dan pelayanan belas kasih, Misi ICPE mengejar tujuannya untuk melatih, membentuk, melayani Gereja dan mempengaruhi dunia bagi Kristus. Misi ICPE adalah Asosiasi Internasional Umat Kristus dengan Kepausan.

Monica Aryani Saraswati bersama keluarga (Foto:
Dokpri)

Keputusannya untuk mengikuti sekolah misi ini harus mengorbankan banyak hal. Salah satunya, anggota Komunitas muda Katolik Indonesia yang berbasis di Singapura sejak 16 Mei 2005, AmoreDio ini harus melepaskan pekerjaannya. Hal ini dikarenakan sekolah misi memakan waktu lima bulan. Ia mengaku hatinya sempat resah karena ia harus keluar dari kantornya dan dengan itu kehilangan gaji lima bulan dan kemungkinan tidak mendapatkan bonus dari hasil kerjanya, sedangkan proposalnya sudah diterima dan ia bisa terbang ke NZ bulan Februari 2012. Gamang, ia pun pergi meminta saran kepada atasannya yang dengan lembut memberi saran, “Monica, ikuti kata hatimu. Jangan cari uang, carilah Tuhan.” Ia terkesima sebab atasannya adalah seorang ateis. Setelah mantap untuk mengundurkan diri dari tempatnya bekerja, atasannya menghubungi supaya ia tidak keluar.Untuk itu, ia bisa mengambil sistem “Unpaid leave” tetapi belum tentu posisinya masih ada saat ia kembali. Namun, ia masih bisa mendapatkan bonus. “Sungguh, Tuhan buka jalan,” kenangnya girang.

Ia pun menjalani Sekolah Misi sejak Februari hingga Juli 2012.

Usai sekolah, sekali lagi hatinya terpanggil untuk memperpanjang waktu satu tahun melakukan pelayanan nyata. Sayang, banyak hambatan ditemui, seolah keinginannya itu ditutup. Ia sempat heran, “Tuhan, aku tuh mau melayani Engkau. Satu tahun loh aku kasih hidupku, lepasin gajiku, kok Engkau tidak merestui?,” protesnya pada Tuhan. Jalan yang ditutup itu sekali lagi memberinya pengajaran bahwa tidak selamanya melayani Tuhan harus seperti itu. “Tuhan mengingatkanku bahwa mimbar sabda itu ada di mana saja, bisa di tempat kerja, komunitas, keluarga, atau sekadar mendampingi temanmu. Walaupun seakan-akan hal itu baik ya melepaskan pekerjaan satu tahun buat melayani Tuhan, tapi Tuhan mau aku tinggal di SG dan menjadikan kantor sebagai mimbarku,” tuturnya.

Kehendak-Nya itu semakin ia mengerti saat ia bertemu dengan rekan kerjanya yang sudah jarang ke gereja. Monica dengan saksama dan lemah lembut membagikan kisahnya berjalan bersama Tuhan. Rekannya itu tertarik dan mau membuka diri kembali kepada pangkuan Gereja. Ia pun terus mengingatkan sang teman untuk Misa, adorasi, dan berdoa setiap hari. “Nah, jika Tuhan tutup jalannya berarti bukan yang terbaik. Sebaiknya kita berdamai dengan situasi dan percaya dengan jalan-Nya,” ungkapnya. Ia pun mengingat kembali betapa orangtuanya menjadi teladan iman dan selalu percaya kepada rancangan Tuhan. “Ibuku adalah pagar doa keluarga kami dan sharing papaku saat sakit, ‘Tuhan itu akan menolong percaya saja’ yang jadi kekuatanku hingga sekarang,” tandasnya.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP, Edisi No. 20, Tahun ke-75, Minggu, 16 Mei 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here