Thanos Good Guy or Bad Guy?

339
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – OBROLAN sarapan pagi hari ini cukup menarik, pro kontra tentang sosok thanos apakah dia ini good guy or bad guy. Di antara pro kontra tersebut saya mencoba menjadi pendengar yang baik dan bersikap netral.

Pro Thanos mengungkapkan alasan di balik jentikan Thanos adalah untuk suatu kebaikan bersama, dengan mengutip ungkapan Captain Amerika “Thanos semacam misantropis bertopeng atau sesuatu yang terselubung dalam logika biner tentang kebaikan yang lebih besar’.

Thanos memang berbeda dengan villain lainnya dan Josh Brolin yang berhasil menghidupkan karakter monster yang diperankannya di Infinity War, terlihat sebagai good guy dengan misi untuk menciptakan keseimbangan di alam semesta.

Thanos tidak menginginkan terjadi kekacauan di alam semesta ini karena manusia dan mahluk lainnya saling menghancurkan untuk memperebutkan sumber daya yang semakin berkurang. Dan dia memilih menghilangkan separuh populasi dengan kekuatan infinity stones, yang dipercaya menjadi sumber kekuatan alam semesta.

Pihak yang kontra thanos tampaknya lebih kepada alasan emosional karena sikap hati yang tidak bisa menerima kenyataan pahit terhadap efek “thanos snap” yang menyebabkan kematian 12 super hero dan separuh populasi bumi hanya dalam sekejap mata. Thanos dianggap semacam Hitler yang melakukan genosida (pembunuhan massal) untuk alasan yang baginya “benar”, bahwa semesta butuh keseimbangan.

Saya pikir tidak ada yang salah dengan pihak yang pro maupun kontrak, mereka hanya melihat dari 2 sudut pandang yang berbeda. Pro Thanos melihat dari sisi pemikiran logis dan misi seorang Thanos sedangkan kontra Thanos melihat dari sisi emosional dirinya karena tidak dapat menerima kenyataan atas kehilangan orang-orang yang mereka idolakan.

Jika ditelaah lebih jauh sebenarnya Thanos tidak memilih siapa yang dimusnahkan dan siapa yang tetap hidup, bahkan dia sendiri pun mungkin tidak mengetahui siapa yang akan hilang dari muka bumi. Terjadi begitu saja seolah-olah “infinity stones” inilah yang memilih secara random. Apakah dia dapat dipersalahkan atas kematian 12 super hero? Hmmmm!

Seringkali sikap tidak bisa menerima kehilangan, membuat orang menjadi kehilangan arah hidup. Saya jadi ingat sesi curhat beberapa waktu lalu, saat seorang teman mengatakan sejak kematian keluarganya karena covid, dia tidak percaya lagi akan keberadaan Tuhan dan menjadi apatis terhadap kehidupan beragama. Saya hanya bisa terdiam dan mencoba menyelami perasaan sakitnya dengan memberikan virtual hug.

Tetapi kemudian yang membuat saya terheran-heran adalah tanggapan dari salah seorang teman yang selama ini saya anggap sangat rasional dan tidak religious, dia termasuk golongan “Na-Pas” dalam hal Misa. Dia mengatakan, “Kondisi saat ini bikin logika gue mentok dan ga tahu harus gimana lagi. Satu hal yang gue syukuri adalah masih bisa ikut Misa online setiap Minggu bersama keluarga. Bikin gue menjadi tenang dan seperti mendapat kekuatan baru untuk bertahan, entah dari mana”.

Saya terkesima ….. sedemikian dahsyat efek pandemi sehingga mampu membuat orang menjadi terbolak balik.

Infinity Stone

Ada sebuah kemiripan antara obrolan pagi kami dengan sesi curhat ini. Memunculkan suatu pertanyaan yang menggelitik dalam diri saya, apakah kondisi pandemi ini dapat disamakan dengan efek “Thanos gauntlet snap” yang memberikan guncangan tak terduga pada banyak orang ? Infinity stone macam apa yang bisa membuat guncangan sedahsyat ini?

Seperti Thanos Snap yang melenyapkan separuh populasi bumi dalam sekejap, dalam dunia nyata pun ternyata ada yang disebut “pemunahan masal”, hanya saja  tidak terjadi dalam satu jentikan jari. Para ilmuwan meyakini bahwa saat ini dunia sedang memasuki kepunahan massal keenam, katanya sih kepunahan kali ini berbeda dengan  5 kepunahan massal sebelumnya yang murni karena alam. Yang ke-6 ini dipercepat oleh campur tangan manusia.

Tahun lalu di awal-awal pandemi, saya nonton film tahun 2011 karena ramai diberitakan sebagai film yang meramalkan Covid-19.   Entah apa yang dipikirkan Steven Soderbergh 10 tahun lalu saat “Contagion” diproduksi Hollywood.  Terus terang film ini terasa sangat nyata situasi dan kondisinya, virus fiksi MEV-1 yang melumpuhkan dunia,  kayak kembar siam dengan virus corona. Di akhir  film  ditampilkan scene flashback awal mulanya muncul virus MEV-1 yaitu berasal dari seekor babi peternakan yang memakan pisang yang dijatuhkan oleh kelelawar pembawa virus. Kelelawar ini terbang jauh dari habitatnya karena habitat kelelawar dirusak oleh keserakahan manusia.

Contagion tidak tampak seperti film fiksi bagi saya, tetapi seperti film dokumenter, dan saya menjadi salah satu bagian di dalamnya ………  Entah harus merasa bangga atau merasa getir …..  Bangga menjadi bagian dari sejarah yang punya cerita, tetapi juga getir dan gentar saat timbul kesadaran bahwa ada kemungkinan manusia, termasuk saya, adalah “infinity stone” yang menjadi sumber penyebab dari kondisi saat ini.

Infinity stone, benda paling penting dalam infinity war, mewakili 6 elemen sumber kekuatan “manipulative” yaitu power, reality, time, space, mind dan soul. Sumber kekuatan yang sebetulnya dimiliki oleh manusia dari sejak awal diciptakan. Kelebihan yang dianugerahkan kepada manusia ini, awalnya untuk mengusahakan sesuatu yang membangun bumi bagi kepentingan bersama. Namun kelebihan ini juga lah yang digunakan untuk memanipulasi bumi dan segala isinya sehingga bumi menjadi kehilangan keseimbangan.

Saat bumi kita tercinta menangis dan tampaknya perlu pertolongan agar dapat kembali pada titik setimbangnya, Pemilik semesta hanya tinggal menjentikan jarinya di momen yang tepat ………

Lalu pantaskah kita mempersalahkan dan mempertanyakan keberadaan-Nya ……

Bisa jadi kondisi ini menggemakan “panggilan” yang akan menjadi titik balik bagi banyak orang, seperti yang dialami teman “Na-Pas” saya di sesi curhat ….

Viktor E. Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning menuliskan, “Hidup punya potensi untuk memiliki makna, bahkan dalam kondisi yang paling menyedihkan sekalipun”. Sebagai seorang tawanan yang selamat dari kamp kematian Nazi, pengalaman Auschwitz mengajarkannya bahwa penderitaan tidak dapat dihindari, tetapi manusia dapat memilih cara mengatasinya, menemukan makna di dalamnya dan melangkah maju dengan tujuan baru.

“When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves” – Viktor E. Frankl

Felicia Fenny S., Kontributor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here