MENYUSURI JEJAK MASA SEBELUM MASEHI DI KOTA ABADI

384
Basilika Santo Petrus (Foto: Dok. Keluarga)
4/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – MENTARI pagi hari kedua di Kota Abadi. Cerah! Saat itu  saya penuh semangat dan syukur.  Sebentar lagi saya akan mengunjungi gereja yang sejak saya dibaptis tahun 1981 lalu sangat  ingin saya kunjungi. Apalagi kalau bukan Basilika Santo Petrus.

Penulis (kiri) dan keluarga antre masuk Basilika. (Foto: Dok. Keluarga)

Hotel tempat saya dan keluarga menginap menyediakan sarapan pagi. Sangat sederhana. Hanya roti tawar yang bentuknya seperti bapau besar. Belum pernah saya menemukan roti seperti ini. Roti spesial buatan suster yang mengelola hotel. Rasanya lembut di dalam dan agak krispi di luar. Enak. Plus selai dan minuman jus dalam kemasan, kami mengisi perut sebelum berangkat untuk menjelajah kota yang menurut legenda, dibangun oleh dua saudara kembar Remus dan Romulusi itu.

Masih dipandu Suster Valen, kami putuskan menggunakan metre bus. Kami ingin merasakan berbaur dengan keseharian masyarakat setempat. Sebelum berangkat dari hotel, kami sungguh diwanti-wanti oleh suster, agar ekstra hati-hati menjaga tas dan dompet, karena banyak copet. Entah di bus, entah di keramaian. Saya hanya senyum-senyum, teringat pengalaman tahun 1980an menyaksikan copet-copet yang beraksi dalam Metro Mini dan Mayasari Bakti saat pulang sekolah di Jakarta.

Tujuan pertama tentu saja Basilika St. Petrus. Bus berhenti tidak jauh dari sayap kiri Piazza San Pietro. Ketika tiba di tujuan, mata langsung terbelalak. Di hadapan saya terbentang satu lapangan sangat luas, mungkin luasnya 4 kali lapangan sepak bola. Selain lapangan, saya dihadapkan deretan kolom bulat besar membentuk jalur melengkung. Jalur tempat kami mengantri di antara ratusan turis untuk masuk Basilika. Fasade Basilika sangat megah, sungguh membuat hati kagum karena  sangat indah dan sangat besar. Saya merasakan sapaan kebesaran dan keagungan Tuhan.

Basilika yang terletak di Bukit Vatikan, memang memiliki ukuran serba besar, panjang 220 meter, lebar 150 meter, dan tinggi 136 meter. Dilengkapi dengan kubah berdiameter 42 meter, menjulang di atas altar utama, yang tepat  di bawahnya terbaring jasad St. Petrus. Saking besar dan rumitnya interior, dibutuh waktu 120 tahun untuk menyelesaikan Basilika ini dan baru resmi dibuka pada 18 November 1626 era Paus Julius II. Selama berabad-abad, Basilika ini adalah yang terbesar di dunia, hingga 1989 ketika Basilica of Our Lady of Peace di Kota Yamoussoukro, Pantai Gading Afrika, diresmikan.

Altar Utama Basilika Santo Petrus. (Foto: Dok. Keluarga)

Rasa kagum makin membuncah, ketika kami sudah berada dalam Basilika. Pemandangan interior yang sungguh indah. Turis yang begitu ramai membuat kerumunan di sana sini, namun tak mengurangi sedikit pun kemegahan bagian dalam Basilika. Pada sisi kiri dan kanan terdapat banyak altar yang dipersembahkan kepada orang-orang kudus. Banyak patung dan gambar yang luar biasa indah. Belum lagi altar utama yang begitu megah. Saat itu kami beruntung, waktu kunjungan kami bertepatan dengan waktu Misa. Jadi kami sempat ikut Misa dalam salah satu altar,  bukan di altar utama. Misa dalam Bahasa Latin yang bagi saya juga merupakan pengalaman pertama. Keberuntungan lain, kami diizinkan turun ke lantai bawah altar. Di sini kami sempatkan berdoa di hadapan makam St. Petrus dan beberapa Paus lainnya.

Altar saat kami ikut Misa di Basilika St. Petrus. (Foto: Dok. Keluarga)

Puas dengan segala kemegahan dan keindahan Basilika, kami melanjutkan mencari makan siang di resto Italia, tidak jauh dari Piazza. Lanjut, kami diajak Suster Valen untuk mencicipi gelato yang kabarnya paling enak di Italia. Kedai gelato tidak besar, namun menyediakan 100 varian, tidak heran banyak didatangi turis sampai harus antre. Belakangan saya baru tahu, ternyata gelato itu khas Italia, mirip es krim tapi gelato lebih lembut dan kandungan susunya lebih banyak. Mantap lah menikmati gelato raisin rum di tengah terik matahari.

Salah satu pemandangan di Forum Romanum. (Foto: Dok. Keluarga)

Saat menjelajah Kota Abadi,  kami  banyak jalan kaki. Menyusuri jalan-jalan “tikus” mengekor Suster Valen yang rupanya hafal. Selain beberapa gereja, kami juga berkunjung ke situs Forum Romanum (Latin) atau Roman Forum. Situs yang terletak antara Bukit Palatine dan Bukit Capitoline ini, berupa plaza persegi panjang dan sekelilingnya terdapat reruntuhan banyak bangunan tua. Saat itu saya belum menyadari bahwa situs ini sudah ada sejak 500 SM. Ternyata Plaza ini dulu adalah tempat berkumpul dan pusat aktifitas penduduk. Selama berabad-abad, tempat ini dikembangkan. Dibangun sarana-sarana pertemuan, seperti kuil Temple of Saturn, Temple of Castor and Pollux, dan Temple of Vesta, gedung Senat House (Curia), panggung the Rosta, serta Arch of Titus.  Sayangnya bersamaan dengan keruntuhan Kerajaan Romawi, semua bangunan ini juga ikut hancur pada tahun  410M. Baru pada tahun 1803 mulai dilakukan kegiatan penggalian situs dan butuh 100 tahun untuk terbuka menjadi seperti yang dapat kita saksikan hari ini.

 

Gedung Pantheon yang sangat megah. (Foto: Dok. Keluarga)

Tidak jauh dari situs Forum Romanum, ada ikon Kota Abadi yakni Colloseum.  Amphiteather terbesar yang pernah dibangun. Selesai dibangun pada tahun 80M saat Raja Titus. Namun sebagian runtuh akibat gempa bumi dan menjadikannya unik dan ikonik. Colloseum juga diakui sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Baru. Ada info, bahwa setiap Jumat Agung, Paus memimpin prosesi Jalan Salib dimulai dari area sekitar Colloseum.

Lubang cahaya di Pantheon. (Foto: Dok. Keluarga)

Sasaran berikutnya adalah Pantheon, artinya rumah segala dewa. Awalnya kuil ini dibangun oleh Markus Agrippa pada tahun 27SM. Namun terbakar pada tahun 80M. Hanya tersisa bagian depan. Tahun 118M-125M, oleh Kaisar Hadrianus dibangun kembali tapi bangunan belakang dibuat berupa bangunan bulat lengkap dengan kubah besar berdiameter 43 meter. Ini adalah kubah tanpa tulangan terbesar hingga saat ini. Yang luar biasa, pada puncak kubah terdapat lubang lingkaran berdiameter 7,8 meter menjadi satu-satunya sumber penerangan dan sirkulasi udara. Suatu karya yang hebat, karena saat di dalam gedung ini, kami tidak merasa kepanasan padahal banyak turis saat itu. Suster Valen juga sempat menjelaskan, saat hujan memang air akan masuk lewat lubang tersebut namun di lantai persis di bawah kubah terdapat lubang saluran air. Sehingga air langsung masuk ke saluran pembuangan. Luar biasa.

Hari sudah sore, sudah banyak yang kami lihat. Kaki juga sudah terasa lelah, sehingga kami memutuskan kembali ke hotel, beristirahat sejenak. Karena setelah itu, kami akan berkunjung ke Museum Vatikan dengan Kapel Sistinanya yang masyur.

Menikmati roti spesial bikinan Suster Valen Cs di penginapan kami. (Dok. Keluarga)

Seharian menjelajah Roma, akhirnya saya menyadari mengapa Roma dijuluki Kota Abadi. Bagaimana tidak, begitu banyak situs dan bangunan yang menjadi saksi peradaban manusia beberapa abad lalu. Dan, semua ini ada dalam satu kota, bahkan di pusat kota. Beruntunglah warga dunia, karena pemerintah Italia dan tentunya juga masyarakatnya sangat menyadari harta peninggalan berharga ini dan merawatnya. Sehingga kita bisa melihat dan mengalami semua keindahan itu dalam lingkup yang bahkan cukup dilakoni dengan berjalan kaki. Terima kasih Tuhan, Engkau izinkan kami berkunjung ke Kota Abadi. Arrivederci!

Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here