Pejuang Nasi, Penular Virus Kepekaan, Anak-anak Muda dari Tangerang Selatan

335
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – MENCARI jejak sukacita di tengah deru gelombang berita tentang kondisi pandemi Covid-19 ternyata sangatlah menantang.  Namun bagi orang percaya selalu ada banyak sukacita ditemukan dalam kondisi terburuk sekalipun. Mereka menyebut dirinya Pejuang Nasi dan membagikan nasi bungkus dengan target para tunawisma yang menghabiskan dinginnya malam hingga fajar merekah di emperan toko atau kolong jembatan.

Adalah sekelompok anak muda di Tangerang Selatan yang sejak 28 Oktober 2016 terus setia membagikan nasi bungkus kepada para tunawisma di jalan-jalan sekitar Tangerang Selatan. Terinspirasi oleh kegiatan yang sama yang dimulai di Bandung, Jawa Barat, tahun 2005 dan diinisiasi oleh seorang anak muda bernama Danang, kegiatan ini meluas hingga Jakarta dan hampir di seluruh daerah di Indonesia. Selanjutnya para anak muda tersebut menegakkan bendera Komunitas Nasi Bungkus Tangerang Selatan dan bergerak dengan pola dan budaya yang sama yaitu melayani tanpa banyak berbicara.

Melihat kegiatan anak-anak muda dalam komunitas itu maka saya teringat pada ajakan Santo Fransiskus Assisi tentang bagaimana firman dijalankan, “Lakukanlah firman Tuhan setiap waktu, dan ketika diperlukan barulah gunakan kata-kata.” Anak-anak muda dibawah kepemimpinan Debby Rhanda ini menjalankan aksinya tanpa banyak berbicara namun setia. “Ada satu nasi bungkus saja pun kami akan jalankan setiap Jumat malam, bu,” begitu ujar Debby menggambarkan komitmennya beserta teman-temannya.

Tentang hal ini pun saya teringat pada Santo Yusuf, kepala keluarga Nazaret yang menjalankan tugasnya dalam diam. Dalam diam itulah Santo Yusuf mengasah telinga spiritualnya dan kerendahan hatinya untuk melayani dan melakukan apa yang dipercayakan oleh Allah kepadanya.

Debby bersama teman-teman pun mengasah telinga dan mata spiritual mereka untuk berlatih kepekaan. Debby juga mengungkapkan bahwa tujuan teman-teman dalam komunitasnya ini adalah sama yaitu melakukan kegiatan yang melatih kepekaan pada sesama, terlebih disaat pandemi seperti saat ini.

Rasa syukur atau mensyukuri apa yang dimiliki dalam hidup adalah motivasi pertama yang menjadikannya alasan untuk berbagi. “Dengan melihat lingkungan disekitar yang ternyata ada yang jauh dibawah hidup kita maka kita akan semakin bersyukur,” begitu ungkap Debby.

Menyebarkan virus kepekaan guna melatih kepekaan pada kaum muda didaerah urban seperti Tangerang Selatan juga menjadi motivasi komunitas ini.

“Motivasi berikutnya adalah mewujudkan rasa mencintai tanpa berharap dicintai,” begitu ungkap Debby.

Jika melakukan sesuatu tanpa berharap mendapatkan cinta kembali maka orang akan melakukan kegiatan itu terus menerus tanpa beban dan menikmatinya. Jika ternyata dicintai balik atau ada feedback maka itu adalah bonus. Sikap ini yang akhirnya disebut sebagai ikhlas yang sesungguhnya. Sungguh saya sangat terpesona dengan pemikiran-pemikiran anak-anak muda yang luarbiasa dalam komunitas ini. Senang rasanya berbagi sukacita dengan mereka setiap Jumat malam karena kami pun menjadi tertular virus kepekaan dari Komunitas Berbagi Nasi Tangsel

Komunitas yang rata-rata usia anggotanya adalah antara 19 – 36 tahun ini melakukan aksinya setiap Jumat malam dengan motor mereka berkeliling mendekati para tunawisma dan memberikan nasi bungkus.

Target mereka adalah  para tunawisma khususnya yang sudah tidak produktif, tidak hanya di emperan toko tapi juga yang ada  di bawah kolong jembatan atau sudut-sudut sepi sepanjang jalan Tangsel.

Mengapa malam hari adalah karena pada saat toko tutup maka mereka pun leluasa beristirahat di emperan toko maka para anak muda pejuang nasi ini akan mudah mengenali mana yang perlu dibantu,mana anggota tetap atau bahkan mana target baru yang muncul sebagai korban pandemi yang ternyata peningkatannya cukup banyak.

Selama PPKM pun tidak hanya kekurangan nasi bungkus, personil dalam komunitas pun menjadi kurang dibandingkan dengan target para pejuang nasi yang semakin bertambah. Umumnya para target baru adalah mereka yang tinggal di rumah sewaan namun karena kondisi ekonomi di masa pandemi ini mereka terpaksa tinggal beratapkan langit, atau terpaksa menjual semua barang yang dimilikinya untuk makan.

Banyak wajah baru yang ditemui sejak masa pandemi ini bahkan keluarga-keluarga yang sudah tidak makan dua hari pun banyak mereka temui.

Uniknya Debby bersama teman-teman tidak memiliki donatur rutin dan tidak pernah mengharapkan donasi, terlebih dengan kondisi saat ini merekapun melakukan kegiatan tambahan yaitu pembagian sembako di siang hari untuk para keluarga korban pandemi.

Dana dikumpulkan dari  mereka seadanya dan jika ada donatur di luar anggota komunitas maka donasi akan langsung dibelanjakan sembako untuk langsung di bagikan. Manajemen keuangan dilakukan secara terbuka dan transparan dihadapan semua anggota komunitas dan bahkan tidak ada bendahara, jika ada transfer atau donasi harus diketahui oleh semua anggota.

Mereka tidak menyimpan dana donasi karena harus langsung dibagikan, inilah yang mereka sebut budaya komunitas, tidak hanya membagikan dihari Jumat malam namun juga terkait manajemen keuangan terbuka dan tidak bergantung pada donasi. Bergerak dengan pola yang sama dan budaya yang sama dengan Komunitas Nasi Bungkus di daerah lainnya.

Sebelum ada donasi dari luar komunitas berupa uang ataupun nasi bungkus, para anak muda ini mengumpulkan di antara mereka dahulu sehingga berapa bungkus pun yang terkumpul tetap jalan tanpa mengharapkan donasi dari luar. Namun hingga saat ini cukup banyak donatur nasi bungkus yang mendukung kegiatan mereka. Pernah mereka membagikan 600 nasi bungkus pada malam tahun baru lalu dan dilakukan dari jam 22.00 hingga jam 04.00 dini hari.

Bersama teman-teman Emmaus Journey, kelompok single mom, kami pernah melakukan momen khusus untuk memperingati hari perempuan international, membantu kegiatan mereka dan ternyata luar biasa komitmen mereka, umumnya mereka melakukan sepulang kerja dan pendistribusian dilakukan dengan motor. Karenanya biasanya mereka menyarankan donatur memberi nasi yang dibungkus dengan kertas nasi dibandingkan dengan nasi dalam box karena memudahkan mereka melakukan pendistribusian nasi bungkus tersebut yangmereka lakukan dengan motor mereka.

Refleksi sambil Ngopi

Budaya lain yang juga menarik dari komunitas ini adalah mereka melakukan refleksi setelah selesai membagikan nasi bungkus ketarget mereka. Saling menceritakan pengalaman sambil minum kopi melepas lelah setelah berburu target. Hal ini yang mereka sebut sebagai pengasah kepekaan dan berbagi sukacita.

Walaupun anggota tetapnya hanya delapan  orang dengan tenaga bantuan tak menentu namun mereka mencoba untuk tetap berkomitmen sesuai tujuan komunitas yang ditetapkan yaitu “tidak akan berhenti berbagi nasi hingga  tidak adalagi orang kelaparan yang membutuhkan”.

Sungguh nilai-nilai hidup yang luar biasa yang saya bisa belajar dari setiap kegiatan mereka di hari Jumat malam. Apa yang memotivasi mereka, pemikiran mereka dan bagaimana mereka melakukan aksinya sungguh membuat sukacita bertumbuh dan virus kepekaan menyebar, merasuk dan menantang untuk kita melakukan tindakan yang sama.

Semoga virus kepekaan yang mereka bagikan jauh lebih kuat dari Covid-19 yang ada sekarang ini.

Berikut link-link untuk melihat video kegiatan mereka.
https://www.instagram.com/p/Bu-wST0hJxY/?utm_medium=copy_link
https://www.instagram.com/p/BuyjNgzBL2c/?utm_medium=copy_link

Laporan Maria Theresia Widyastuti/fhs

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here