SMK ANCOP Likotuden Tidak Sekadar Meluluskan, tapi Mencetak Pribadi Berkarakter

393
Prosesi perarakan Tuan Ma dalam rangkaian prayaan Semana Santa di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Foto: Dok Antara/Kornelis Kaha)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – LAUTAN berwarna hijau kebiruan menyambut kedatangan para wisatawan yang akan mendarat di Bandara Gewayantana. Pulau yang terletak di ujung Timur Pulau Flores ini sungguh menghipnotis para pengunjung dengan pesona baharinya. Setelah mendarat, mata dimanjakan dengan pemandangan gunung dan pulau serta deburan ombak. Teriknya matahari dan udara segar beraroma asin menjadi sahabat yang akan menemani selama menjejakkan kaki di kota ini. Di samping megahnya pemandangan alam, kisah historis-religius turut menjadi daya tarik. Kota tua yang terletak di kaki Ile (gunung) Mandiri ini telah menyerahkan seluruh kehidupannya kepada perlindungan Bunda Maria. Itulah mengapa Larantuka juga dikenal sebagai Kota Reinha Rosari.

Lima Abad Tuan Ma

Kota yang terletak di Kabupaten Flores Timur ini pun memiliki prosesi Tri Hari Suci yang terkenal bernama “Semana Santa”. Banyak wisatawan dalam negeri dan luar negeri mengikuti tradisi perarakan ini. Tradisi Semana Santa diperkirakan muncul sejak penemuan patung Tuan Ma (Bunda Maria) di pantai Larantuka pada tahun 1510. Diperkirakan patung itu terdampar akibat karamnya kapal Portugis di perairan Larantuka. Warga setempat yang menemukan patung itu pun menghormatinya sebagai benda sakral. Dengan kedatangan para misionaris kian meneguhkan bahwa Tuan Ma adalah Bunda Maria.

Terhitung sejak 2010, hadirnya Tuan Ma di surga kecil Pulau Flores ini telah genap mencapai umur 500 tahun. Dengan kehadirannya, umat lokal dan peziarah menimba banyak rahmat berkat perantaraan doa Bunda Kristus yang berdukacita ini. Kemudian perayaan lima abad yang menjadi perayaan besar di Keuskupan Larantuka ini menghantarkan pada sebuah refleksi iman bagi masa depan masyarakat Larantuka. Faktanya, meskipun diberkati dengan alam indah dan hasil bahari melimpah, namun kehidupan masyarakat di sana masih berada di bawah garis kemiskinan.

Data tahun 2010 menunjukkan, masyarakat Larantuka hidup di bawah garis kemiskinan yakni di bawah 18 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 162.000 kurs tahun 2010 per kapita dan pada tahun 2011, 20 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 180.000 kurs 2011. Belum lagi, hasil Ujian Nasioal (UN) 2013 hanya mencapai peringkat 29 dari 33 provinsi untuk tingkat SMA sedangkan SMP menempati peringkat ke-32.

Penelitian tahun 2012 menunjukkan pula jumlah sekolah di Larantuka ialah 200 SD, 60 SMP, dan hanya ada 17 SMA. Tercatat, banyak siswa berhenti dari setiap tahap Pendidikan. Kondisi demikian menciptakan banyak pengangguran. Larantuka termasuk dalam tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia.

Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung (tengah) bersama lulusan SMK Pariwisata ANCOP. (Foto: Dok SMK Pariwisata ANCOP)

Beranjak dari situ, Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung terusik dengan realita ini. “Pertanyaan pokoknya adalah 500 tahun sudah Tuan Ma hadir di sini, dia sudah harus mampu mengubah kehidupan umat Katolik di sini menjadi umat Katolik yang matang, dewasa, kuat saat berhadapan dengan berbagai masalah hidup. Iman harus menjadi daya gerak kehidupan umat di tengah masyarakat  dan menanggulangi masalah kehidupan sosial diberbagai bidang,” ungkap Mgr. Fransiskus saat ditemui di Wisma Keuskupan San Dominggo, Larantuka pada Rabu, 27/10/21.

Sebagai seorang uskup, ia melihat keadaan ini harus berubah dan berkembang. Maka, bersama dengan para imam dan tokoh masyarakat Larantuka terbitlah ajakan untuk berbuat sesuatu. Sebagai suatu buah dari perayaan besar ini, kunci perubahan yang harus terjadi ada di sektor pendidikan. Larantuka membutuhkan pendidikan yang bermutu. “Lahir dalam pemikiran kami bahwa sebagai buah lima abad Tuan Ma kita harus membuat suatu sekolah unggulan di Flores Timur di Keuskupan Larantuka,” ujar Mgr. Fransiskus.

Doa Terjawab

Mimpi untuk memiliki sekolah unggulan di Keuskupan Larantuka pun perlahan terjawab saat Mgr. Fransiskus bertemu dengan Couples for Christ (CFC) pada tahun 2012. Saat itu, Yayasan ANCOP (Angkat Citra Orang Papa) yang merupakan pelayanan sosial dari CFC untuk membagikan cinta Kristus kepada kaum papa ingin membagikan sedikit dana kepada Keuskupan Larantuka dalam bentuk pemberian beasiswa kepada anak kurang mampu.

Akan tetapi, Mgr. Fransiskus menolak dengan halus dan mengatakan bahwa sekolah unggulan di Larantuka lebih dibutuhkan. Ia pun mengundang para pengurus ANCOP untuk melihat langsung lokasi SMK Pariwisata ANCOP berdiri sekarang. “Tanah di Likotuden adalah tanah pemberian masyarakat sebesar empat hektar. Mereka merelakannya untuk dibangun sekolah,” jelas Bapa Uskup.

Sebelumnya, untuk pergi ke Likotuden diperlukan waktu 45 menit dengan menggunakan kapal. Di sana tempatnya masih berbatu, belum ada listrik, dan infrastruktur belum siap. Namun sekarang akses jalan kesana sudah dapat menggunakan jalur darat dengan hadirnya jalan Trans Flores. Jarak tempuh dengan mobil 35 kilometer dengan waktu 56 menit.

Permintaan Mgr. Fransiskus membuat gundah Ketua Yayasan ANCOP Indonesia, Margaretha Suanning Tanardi. “Terus terang, kami kaget. Ketika itu saya baru diangkat menjadi ketua yayasan, tiba-tiba ada tawaran buat sekolah. CFC Global belum pernah punya sekolahan,” ujar Suanning ketika diwawancari secara daring, Rabu, 10/11/2021.

Para Siswa SMK Pariwisata ANCOP (Foto: Dok SMK Pariwisata ANCOP)

Namun anehnya yang diungkapkan oleh Suanning ketika itu malah “kalau ini memang rencana Tuhan, pasti kami bantu” nada positif yang menyemangati Bapa Uskup. Suanning pun heran namun percaya bahwa Roh Kudus yang menggerakkannya.

Suanning dan para pengurus Yayasan ANCOP Indonesia kemudian diundang oleh Bapa Uskup ke Larantuka sekaligus meninjau area calon sekolah tersebut. Saat itu masih menggunakan kapal. Ketika tiba di area tersebut, Suanning dan teman-temannya khawatir karena lokasi SMK ini masih berbatu batu belum belum siap. “Beberapa teman bisikin saya, kayaknya enggak sanggup bikin sekolah di tempat seperti ini. Mereka meminta saya untuk megatakan terus terang kalau menolak proyek ini,” tutur Suanning. Namun hal itu belum sempat disampaikan oleh Suanning.

Setelah berkunjung di area tersebut, mereka bertpla ke Kapela Tuan Ma. “Saya dengar memang di Kapel tersebut terkenal dengan banyak mukjizat. Dan kami betul merasakannya,” ungkap Suanning. Ia meyakini saat mereka berdoa hening, Bunda Maria secara nyata menyentuh hati mereka dengan satu pesan yang sama mereka terima: “Aku sangat menyayangi umat-ku di Larantuka, kalian pasti bisa bantu.”

Dengan perkataan yang lembut, Bunda Maria menguatkan Suanning dan para pengurus untuk menerima tawaran Bapa Uskup. Doa pun terjawab. “Kami enggak jadi menolak. Kami dengarkan maunya Bapa Uskup seperti apa. Totally different. Jadi, belum bayangin bangun sekolahnya gimana, tapi sudah memikirkan visi misinya,” tutur Suanning terkekeh.

Sekolah Pariwisata

Mgr. Fransiskus melihat bahwa pariwisata adalah salah satu lokomotif pembangunan Nusa Tenggara Timur. Maka sektor pariwisata harus dikelola dengan baik dan masyarakat haruslah menjadi pelaku utama dari gerakan pembangunan ini. Mereka harus menjadi subjek dari pembangunan di mana generasi muda adalah agen pembaharuan itu yang dilibatkan di bidang pariwisata.

Kepada anak muda, Mgr. Fransiskus menekankan pada konsep Pariwisata Religius. Hal ini bukan hanya karena Larantuka memiliki tradisi Semana Santa dan kapel bersejarah tetapi bagaimana wisata religius ini dapat membawa wisatawan menemukan Tuhan dalam keindahan alam yang dinikmati. “Keindahan alam di Flores harus dibaca dan dimaknai sebagai ekspresi iman religiusitas dari kehidupan orang yang berjumpa dengan Tuhan,” tegasnya.

Margaretha Saunning Tanardi (kacamata hitam) berkunjung ke SMK Pariwisata ANCOP dalam rangka menyambut kedatangan ANCOP Kanada di Likotuden, Larantuka, NTT. (Dok. SMK Pariwisata ANCOP)

Suanning menambahkan dengan menceritakan salah satu teman donatur yang tergerak membantu SMK ANCOP. “Dia lagi di ke Labuan Bajo dan melihat banyak orang Jawa sebagai tuan rumah bukan orang lokal. Ketika pulang, dia setuju untuk membantu pembangunan SMK ini. Dia ingin orang lokal itu menjadi tuan rumah. Putra daerah harus terlibat. Ketika nantinya Larantuka menjadi kota pariwisata, kami sudah punya putra daerahnya yakni alumni SMK ANCOP,” tutur Suanning.

Selain itu, konsep awal sekolah ini berasrama. Bagi Bapa Uskup dan Suanning, pendidikan karakter itu penting. “Jadi bukan sekadar lulus sekolah, tapi bagaimana mencetak generasi muda. CFC punya sistem baik untuk orang muda yakni Youth for Christ (YFC). Ada program selama tiga tahun untuk mendampingi orang-orang muda dan dimasukan ke kurikulum sekolah. SMK ini sebagai  komunitas pendidikan yang mengembangkan karakter iman dan potensi peserta didik berdasarkan spiritualitas kristiani dengan pembentukan nilai YFC, nilai pastoral YFC, gabungan pendidikan dari Manila maupun lokal,” tutur Suanning.

Ada Sukacita

Proses pembangunan SMK ini penuh lika-liku sampai pada akhirnya peletakan batu pertama SMK ANCOP dilaksanakan tahun 2014 serta Misa Peresmian SMK ANCOP tahun 2017. Semua ini bagi Suanning adalah mikjizat. Mengutip Matius 6:33-34 “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Suanning merasakan hal itu secara pribadi. “Menjalani hidup seperti air, mengalir saja. Keluarga sehat, pekerjaan dan pelayan menjadi terkoneksi. Banyak jaringan relasi yang membantu terkhusus para donatur. Rahmat selalu ada begitu pun sukacita dalam membangun sekolah ini,” ujarnya.

Suanning berharap, alumni SMK ANCOP mendapatkan tempat kerja yang bagus. Jangan sampai alumni terlantar. Menurut Suanning, sekarang mereka mulai mengambil lulusan sebagai pegawai tetap untuk mengolah data siswa dan alumni. Para pengurus nantinya akan membuat Individual Development Planning (IDP) agar mereka bisa membantu lulusan untuk mencari pekerjaan.

Mgr. Kopong Kung sempat menyampaikan kepada Suanning ingin membangun hotel di Bukit Fatima agar membuka lapangan kerja bagi alumni. Sekitar bulan September 2021 sedang dikaji lokasinya. “Alangkah baiknya mereka lulus dengan membawa nilai-nilai yang sudah diberikan oleh sekolah, menjadi garam serta terang dunia. Semoga di tahun 2022, situasi kembali normal, karena saat pandemi sempat berkurang siswanya,” ungkap kelahiran April 1967 ini.

Membentuk Jiwa Enterprenur

Mengenai situasi pandemi juga dirasa menjadi tantangan bagi Kepala Sekolah SMK ANCOP Jarko. “Ada tantangan lain setelah meluluskan dua angkatan. Indonesia dilanda pandemi sehingga peluang untuk alumni menciptakan dan mendapatkan kerja sangat kecil. Selain itu, orang masih fokus menomorsatukan untuk mendapatkan pekerjaan, bukan prinsip menciptkan kerja melalui potensi yang dikelola untuk menghasilkan usaha sendiri (UKM),” jelasnya.

Jarko menuturkan, secara kualifikasi, tamatan SMK ANCOP mempunyai nilai jual sesuai jurusan, yakni pariwisata dan perhotelan. Kemudian terbentuknya kepribadian yang teruji, didapatkan dari pendidikan dan pendampingan di asrama. Ditekankan bahwa asrama membentuk kepribadian dan karakter siswa serta kemampuan berkomunikasi terutama penguasaan Bahasa Inggris yang baik dan benar.

Vinsensius Jarko (Foto: Dokpri)

Bagi Jarko, yang utama dan pertama mempersiapkan lulusan yang dapat membaca dan sekaligus mengolah  potensi  alam  dan  lingkungan   untuk  mempunyai  nilai  Jual dan membentuk jiwa entrepreneur.  Siap berkompetisi mengisi peluang kerja baik lokal, nasional maupun inter nasional dengan kecukupan Ilmu sesuai jurusan, kemampuan berkomunikasi dan karakter serta kepribadian sesuai kebutuhan badan kerja.

Dalam harapannya, Jarko mencita-citakan SMK ANCOP dapat menjadi sekolah yang dapat terpilih sebagai sekolah pusat keunggulan melalui inovasi siswa mengali potensi sekolah dan sekitarnya sebagai tujuan wisata alam maupun kuliner, berupa budidaya masakan berbahan ikan dan sorgum serta memberdayakan kaum muda  desa membekali diri dengan Bahasa Inggris dan peduli lingkungan yang menjadi potensi wisata bersih lingkungan.

“Siswa kami arahkan menjadi manusia sesuai dengan visi dan misi. Kemudian kami dapat menambah pola dari cara berpikir bahwa sekolah untuk mencari kerja menjadi berpengetahuan dan siap membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja dibekali kemampuan di era digitalisasi,” tutup Umat Paroki St. Petrus, Nganjuk, Jawa Timur ini.

Felicia Permata Hanggu dari Likotuden, Larantuka-NTT/Karina Chrisyantia

HIDUP, Edisi No. 47, Tahun ke-75, Minggu, 21 November 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here