Pulang

192
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – AKU baru saja menata stoples-stoples mika berisi kue kering pesanan para pelanggan saat terdengar  dering telepon. Melihat nama yang muncul di layar gawaiku membuat moodku sedikit  kacau. Kuembuskan napas panjang lalu kuseret kursi di sudut dapur mungilku. Sesaat hanya kupandangi layar gawaiku hingga beberapa detik sebelum deringnya berakhir. Lalu kugeser ikon accept

“Halo Ren,” sapaku dengan nada  datar. Terdengar bunyi desahan panjang di ujung sana.

“Sibuk ya Mas? Kok lama banget ngangkatnya?” tanya Reni adikku tanpa menyembunyikan nada kesal. Aku tersenyum getir sambil mengarahkan pandanganku ke pemanggang kue. Muffin kismisku  sebentar lagi matang.

“Biasa Ren. Kamu pasti tahu kalau menjelang Natal gini pesanan kue semakin banyak,” ujarku.

“Laris ya Mas usahamu? Syukurlah Mas. Tapi Mas bisa pulang kan Natal ini?” tanyanya lagi, sama seperti pertanyaannya tahun lalu, dan tahun sebelumnya. Aku terdiam.

“Mas Daniel?” Suara Reni terdengar tak sabar.

“Eehh.. iya Ren. Aku lihat jadwal pemesanan dulu ya. Biasanya aku sibuk banget kalau menjelang Natal gini. Mungkin kalau…”

“Itu kan usahamu sendiri. Mas Daniel bisa atur kapan mau close order. Jadwalkan untuk pulang, Mas. Ini udah Natal ketiga Mas Daniel nggak pulang. Sampai kapan  Mas Daniel mau menghindari kami terus?” Reni memotong kalimatku sebelum aku selesai membuat alasan. Aku terdiam lagi. Sungguhkah tahun ini Natal ketiga? Rasanya baru kemarin aku meninggalkan rumah. Masih enggan rasanya menginjakkan kakiku lagi ke rumah masa kecilku itu. Apalagi saat menjelang Natal, saat yang mengingatkanku pada peristiwa itu.

“Mas?” Reni masih menunggu. Aku mendesah.

“Nanti  aku pikirkan lagi Ren.”

Klik

Kumatikan gawaiku lalu kulempar ke meja. Selalu begitu. Reni memintaku pulang untuk merayakan Natal lalu pembicaraan  kuputus begitu saja.

***

Aku bukannya tak  merindukan Ayah, Ibu dan Reni.  Namun selalu ada yang mengganjal setiap kali aku memikirkan untuk pulang. Seperti ada yang mengikat kakiku dan memberatkankan langkahku untuk mengunjungi mereka. Beberapa Natal terakhir aku menghabiskan waktu di rumah kontrakanku dengan melayani  pesanan kue dari para pelanggan. Kesibukanku dengan usaha kue-kueku selalu kujadikan alasan untuk menghindar dari kewajiban untuk pulang. Enggan rasanya bertemu mereka,  terutama Ayah. Entah, bagaimana kini perasaaan Ayah padaku.Yang jelas aku masih belum bisa melupakan apa yang terjadi saat itu.

Setelah lulus kuliah, Ayah mengharapkanku untuk ikut mengurus perusahaan kontraktor yang dikelolanya. Namun meskipun aku seorang arsitek, aku tidak menikmati pekerjaan itu. Yang membuatku senang hanyalah menguleni tepung dan menghias kue-kue. Maka aku pun memulai usahaku untuk menerima pesanan kue.

Kala itu aku tidak menyangka kue-kue buatanku menjadi favorit banyak orang. Mereka yang telah memesan padaku selalu mengulangi pesanannya lagi. Dapur penuh dengan aneka kue pesanan. Aku mulai menemukan passionku.

Namun tidak begitu dengan Ayah. Lelaki itu sangat kecewa saat tahu aku lebih memilih mengurusi usahaku sendiri dan meninggalkan pekerjaanku di kantornya.  Ayah tidak setuju aku  menjadi tukang kue, sebuah profesi yang sangat jauh dari harapannya.

“Apa-apaan ini Daniel? Kamu itu seorang arsitek, bukan tukang kue. Apa yang kamu harapkan dengan  mainan masak-masakan seperti ini?” Gelegar suara Ayah memenuhi ruangan dapur saat  aku sedang sibuk membuat kue-kue pesanan.

“Ini bukan masak-masakan, Yah. Ini hal yang serius. Daniel senang bisa melayani permintaan pesanan kue.”

“Daniel, kamu itu arsitek. Apa yang kamu harapkan dari kue-kuemu itu? Harusnya kamu bantu Ayah mengurusi perusahaan kontraktor. Kamu itu laki-laki  bukan perempuan yang main masak-masakan,”

“Ayah,  ini bukan cuma pekerjaan milik perempuan. Banyak chef terkenal yang berjenis kelamin laki-laki,” sanggahku.

“Tapi bukan kamu. Kamu kuliah untuk jadi arsitek, bukan tukang  kue. Untuk apa kamu belajar teknik bangunan kalau akhirnya cuma mengadoni tepung?” Ayah makin geram dan marah.

“Dari awal aku sudah bilang kalau aku tak tertarik menjadi arsitek, Yah. Aku lebih suka memasak,” jelasku. Tentu saja Ayah semakin kecewa dengan jawabanku itu.

“Ayah sudah mati-matian membiayai kuliahmu agar kamu sukses dengan kuliahmu dan kelak meneruskan usaha Ayah. Tapi apa yang kamu lakukan ini?”

“Maaf aku mengecewakan Ayah. Nanti biaya kuliahku akan kuganti,” ucapku kering. Namun Ayah semakin meradang mendengar kata-kataku itu. Hari itu juga Ayah memberiku dua pilihan, membantunya meneruskan usaha kontraktor atau tetap menekuni hobi memasakku dan keluar dari rumah. Aku hampir menangis mendengar ultimatum itu. Sungguh aku harus memilih dua hal yang sama-sama menyakitkan.

Namun rasa cintaku pada dunia kuliner tak bisa disurutkan begitu saja. Ada rasa bersalah karena telah mengecewakan harapan Ayah. Itu membuatku merasa tak pantas untuk berhadapan dengannya. Lalu kubuat pilihan itu. Aku memutuskan pergi dari rumah dan mencari jalan hidupku sendiri. Waktu itu dua minggu  menjelang Natal. Natal pertamaku tanpa keluargaku.

Di kota ini  aku merintis usahaku kembali. Tak kupedulikan tangisan ibu yang memintaku untuk kembali. Aku enggan  bertemu Ayah lagi. Aku semakin larut dalam dunia  roti, brownies, dan cookies.

Pada Natal kedua, Reni memintaku untuk pulang. Namun aku tak yakin Ayah mau menerimaku. Aku telah mengecewakannya. Kuputuskan untuk tidak memenuhi pemintaan adikku  itu kala itu.

Kini  Natal ketiga Reni meneleponku lagi. Masih terngiang ucapannya tadi. Mau sampai kapan Mas menghindari kami terus? Iya sampai kapan? Apakah aku akan selalu menjadi pengecut yang tak berani menampilkan wajahku sendiri? Ini wajahku apa adanya, wajah seorang tukang kue. Bukan seorang arsitek seperti harapan Ayah. Akhirnya setelah merenung beberapa saat, aku memutuskan untuk pulang Natal ini.

***

Tiga tahun meninggalkan rumah membuatku merasa asing saat memasuki halaman. Kini aku merasa sebagai tamu. Bukan sebagai salah satu penghuni rumah yang dulu menghabiskan masa kecil di dalamnya. Rumah ini serasa bukan milikku sejak aku memutuskan untuk pergi mencari jalan hidupku sendiri.

Perlahan aku menuju ke pintu yang telah terbuka. Seorang perempuan yang sangat kurindukan keluar dari sana. Ibu.  Ia menatapku dengan pandangan terkejut bercampur haru.

“Daniel? Kamu pulang, Nak?” Ibu langsung menghambur ke arahku dan memelukku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Rasa cemasku untuk ditolak pun luntur. Ibu sama sekali tidak menunjukkan rasa kecewanya. Yang ada hanya rindu. Saat Reni  muncul di belakang ibu, aku langsung memeluk adik perempuanku itu. Kami bertangisan.

“Terima kasih Mas mau pulang,” katanya. Reni tak kuasa menghapus air matanya saat kuacak rambutnya.

“Ini buat kamu.” Aku menyerahkan kotak ukuran sedang berisi panettone serta beberapa stoples kue jahe dan nastar.

“Apa ini Mas?” Reni berusaha membuka kotak itu. Lalu matanya membelalak senang. “Panettone buatanmu?” Aku mengangguk.

“Wah, pasti enak. Itu kue khas Itali kan?” Suara Reni bercampur haru. Aku mengangguk lagi.

“Kamu nggak malu kan punya kakak tukang kue?” tanyaku. Reni tergelak.

“Enggak dong Mas. Justru aku senang bisa minta bikinin kue-kue kesukaanku,” ujarnya manja. Kulihat wajah ibu juga tampak sumringah.

“Kebetulan meja kita belum berhias kue-kue untuk Natal. Terima kasih Dan.” Tiba-tiba terdengar suara bariton dari tengah ruangan. Aku mengarahkan pandanganku ke dalam ruangan. Ada Ayah di sana. Raut wajahnya datar saja. Tiga tahun tak bertemu, aku merasa Ayah  terlihat jauh lebih tua. Ayah  menatapku dengan pandangan bercampur aduk. Aku masih menangkap rasa kecewa, namun juga rasa haru, dan rindu. Dari semua itu, yang paling dominan adalah rasa rindu. Aku bisa merasakannya saat  kucium tangannya. Ayah lalu mengelus pundakku.

“Maafkan Daniel, Yah,” ujarku parau.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Ayah. Aku tak mendengar nada marah sama sekali. Kuangkat kepalaku. Kulihat sorot matanya yang melembut.

“Daniel baik, Yah.”

“Kue-kuemu laris?” tanya Ayah lagi. Aku mengangguk lagi. Lalu Ayah berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Dikeluarkannya sebuah kotak bungkusan warna coklat dari sana. Kotak itu diangsurkan kepadaku.

“Kamu sudah tiga kali Natal tak pulang. Ayah sudah lama menyiapkan  hadiah Natal ini buatmu. Mungkin sekarang kamu sudah memiliki ini. Meskipun begitu jangan tolak hadiah dari Ayah ini.”

Dengan gemetar dan haru aku membuka kotak itu. Isinya sebuah timbangan digital, whisk, rolling pin, serta celemek warna merah dengan gambar cemara. Aku sudah memiliki itu semua karena alat-alat itu wajib dipunyai oleh seorang tukang kue. Namun kado dari Ayah ini sungguh membuatku terharu dan merasa istimewa.

“Terima kasih Ayah.” Kupeluk Ayah erat dengan penuh haru dan bahagia. Kepulanganku kali ini membuatku yakin bahwa  Ayah telah merestui jalan yang kupilih.

Oleh Tantrini Andang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here