HIDUPKATOLIK.COM – Gereja Katedral St. Petrus Bandung adalah oase dan rumah Bapa yang terbuka. Ia haruslah menjadi model karya belas kasih Allah.
“SERATUS tahun merupakan usia yang menujukkan kematangan. Matang sekali. Maka diharapkan Gereja yang disebut dengan Katedral, tempat Uskup Bandung bertakhta, hendaklah visi pastoral Uskupnya dilaksanakan oleh Katedral. Namun demikian, meskipun Katedral sebagai tempat uskup, tetapi diingat juga, ia sebagai suatu paroki karena memiliki wilayah tertentu.
Katedral bukan sekadar paroki, tetapi paroki ini sebagai primus inter pares yang berarti yang utama dan pertama dari paroki-paroki lain. Untuk itu pertama-tama, besar harapan saya pada usia seabad ini, Katedral menata diri untuk menjadi teladan dan panutan semua paroki.
Artinya, jika hendak bertanya mengenai pancatugas Gereja yakni karya kerasulan pewartaan, pelayanan, liturgi, persaudaraan harusnya melihat pada Katedral. Demikian juga halnya perlakuan Gereja kepada karyawan, harus mengacu pada Katedral. Bagaimana pemeliharaan kesejahteraan satpam, pegawai rumah tangga, koster, karyawan sekretariat, semuanya harus mengacu pada Katedral.
Maka jika Katedral hanya berkata, ‘aduh, kami tidak bisa membiayai misalnya karyawan tidak bisa dipenuhi seluruh syarat-syarat kesejahteraan karena kami tidak ada uang’, itu keliru! Sudah saatnya pekerjanya profesional dan kesejahteraannya dijamin. Dengan demikian, orang dapat melihat idealnya Gereja mewujudkan pewartaannya dalam kehidupannya sendiri. Berkaitan dengan kesejahteraan dan pelayanan.
Kedua, karena Katedral itu paroki maka mengatasi wilayah, sehingga ada begitu banyak aktivis dari paroki lain yang aktif di Katedral. Baik sebagai asisten imam (prodiakon), lektor, pemazmur, dan sebagainya.
Harapannya, umat pertama-tama menempatkan pilihan melayani di paroki asalnya terlebih dahulu. Pastornya pun harus menjadi tokoh-tokoh yang harus diteladani dalam berpastoral. Paroki Katedral harus mampu menjadi teladan dan panutan. Model ideal dari cara menggereja di Keuskupan.
Ketiga, Katedral sebagai “City Church” telah menjadi oase. Untuk itu, di tengah keramaian hiruk-pikuk kota, Katedral seyogyanya bisa menyajikan keheningan di mana orang bisa berjumpa dengan Tuhan.
Saya berharap, pintu Katedral selalu terbuka. Ini seperti perkataan Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium yang berbunyi, “Gereja dipanggil untuk menjadi rumah Bapa, dengan pintu-pintu yang selalu terbuka lebar.
Satu tanda nyata dari keterbukaan seperti itu adalah bahwa pintu-pintu gereja kita hendaknya selalu terbuka, sehingga jika seseorang digerakkan oleh Roh, yang datang ke sana mencari Allah, ia tidak akan mendapati sebuah pintu yang tertutup” (art 47).
Memang terkadang ini dihadapkan dengan dilema keamanan dan kebersihan, namun diusahakanlah senantiasa agar Katedral tetap bisa memancarkan pintu rumah Bapa yang terbuka sehingga siapapun bisa datang. Bahkan, orang yang bukan Katolik pun bisa datang. Itu harapannya.
Dengan demikian, semoga Katedral menjadi tanda kehadiran nyata kehidupan menggereja yang menampakkan wajah Allah yang penuh belas kasih.
Sekali lagi ini berkaitan dengan bagaimana pastoralnya, bagaimana karyawannya. Kita boleh peduli dengan orang miskin di luar sana tapi pikirkan terlebih dahulu bagaimana dengan karyawan kita sendiri. Untuk itu, saya selalu menandatangani izin peminjaman dana bagi pembelian rumah karyawan. Harapan saya, para karyawan sejahtera.
Selain itu, pelayanan administrasi yang baik dan sigap juga diperlukan agar umat tak keburu kecewa. Jangan sampai orang kecewa ketika baru memasuki pintu gerbang gereja karena tidak ada keramahan.
Ini semua adalah usaha bersama untuk menujukkan karya belas kasih Allah. Jadi jangan hanya berkhotbah tetapi justru Katedral itu menjadi model pelaksanaan dari khotbah-khotbah kita.”
Felicia Permata Hanggu/Karina Chrisyantia (Bandung)
HIDUP, Edisi No.08/Tahun ke-76, Minggu, 20 Februari 2022