Ketika Atun Datang Berlebaran

90
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Libur Lebaran telah usai, tapi suasananya belum sepenuhnya selesai.  Tamu lebaran masih hadir satu-dua.  Yang terakhir, Sabtu 14 Mei 2022, sekira pukul 3.00 sore.

Dua tamu datang hampir bersamaan ke rumah kami.

Yang pertama adalah Novi.  Keponakan asal Semarang yang kini menjadi staf KPK.  Tak ada yang istimewa,  Novi  sering datang berkunjung.

Tamu kedua cukup surprais.  Namanya Atun.  Perempuan asal Kabupaten Wonosobo, usia 56 tahun, dulu pernah menjadi asisten rumah tangga (ART) di rumah kami.

Kami tak mengenali lagi wajahnya.  Maklum, sore itu Atun memakai masker yang menutup tigaperempat wajahnya.

Kisah kehadiran Atun lebih menarik dibanding Novi.  Ada 4 kisah lama  yang moga-moga dapat ditarik  menjadi pelajaran hidup yang berguna.

Atun tinggal bersama kami sejak tahun 2009 sampai 2015.  Menjadi ART selama 6 tahun tak terputus merupakan rekor yang pantas dicatat.

Banyak cerita nostalgia yang kami putar bersama di sore sehabis gerimis itu.

Yang pertama, cerita tentang anak laki-laki Atun yang bungsu. Sebut saja namanya Anto.  Saat itu kelas 3 SD,  dia kami tawarkan untuk ikut kami sekolah di Tangsel. Rencana batal, karena Anto tak kerasan  tinggal di kota besar.  Akhirnya Anto kembali ke kampungnya.

Gedung sekolah yang mentereng, masyarakat hiruk-pikuk, teman-temannya yang mungkin  sok jagoan  plus mata pelajaran yang lebih sulit membuat Anto terkena “gegar budaya”.

Yang kedua, cerita tentang bagaimana Atun  menyebut suaminya, yang kala itu berprofesi sebagai tukang bangunan pocokan, dengan “ingkang berwenang”. (yang berwenang).

Semula kami tak tahu siapa yang dimaksud.  Meski dengan geli, kemudian kami paham. Karena tak mengganggu pekerjaannya, kami ikut saja istilah yang tak lazim itu.

Nampaknya ini suatu panggilan kehormatan bagi suami yang diposisikan begitu tinggi.  Semua keputusan dalam hidup dia serahkan kepada “yang berwenang”.   Atun tinggal “pasrah bongkokan”.

Yang ketiga, cerita tentang bagaimana Atun menyebut bila saya sedang berdoa.  Atun  mengatakan “Saya sedang sholat”.

Biar saya memegang rosario, membuat tanda salib atau berlutut memejamkan mata sambil menunduk, tetap saja Atun menyebut “Saya sedang sholat”.
Sudah beberapa kali kami berusaha meluruskan agar dia mengubah sebutan itu dengan “sedang berdoa”.

Jawabnya agak mengagetkan.

“Kan sami mawon pak?”.  (Kan sama saja pak?).

Lagi-lagi kami mengalah  untuk mengikuti kemauannya.

Kemarin saya lupa menanyakan, apakah “sedang sholat” tetap dia sebutkan saat ini untuk saya yang sedang berdoa?.

Cerita Atun yang keempat, ini nampaknya yang paling seru.

Satu-dua tahun pertama tinggal di rumah kami, Atun juga terkena “gegar budaya”.

Berbeda dengan sindrom yang diderita anaknya, Atun mengalami gejala sebaliknya.

Dia menganggap bahwa semua aspek kehidupan di kota besar selalu lebih baik daripada yang di kampungnya.

Setiap kali habis pulang kampung, Atun selalu cerita tentang tetangga, saudara bahkan suami dan anak-anaknya, di kampung, dengan nada minor.  Yang ada hanya kesalahan dan kekurangan.  Semuanya kurang pas.

Beberapa contoh yang masih saya ingat adalah sifat-sifat  malas, lambat, tidak bersih, berbicara tak masuk akal, dan masih banyak lagi.

Pokoknya, orang kampung selalu inferior.

Saya sering geli melihat gaya Atun yang dalam sekejab bisa berubah.  Atun, yang cukup cerdas, awalnya rendah hati dan tahu diri tentang posisinya yang sedang hidup di kota besar.

Muncul perasaan mempunyai “hutang hidup” kepada suatu masyarakat (kota besar) yang telah membuat Atun mencari  “common enemy” dengan mendiskreditkan kehidupan lamanya.

Mungkin saja “tuduhan” Atun benar.  Tapi menilai secara sepihak, hitam-putih dan bertindak dari sisi eksternal, rasanya kurang layak.

Tapi, itulah “gegar budaya”.

Saya pun pernah mengalaminya.

Hanya sekian bulan pindah ke Bandung di tahun 1974, kaos kesebelasan perserikatan yang saya bela pun cepat berganti dari PSIS  Semarang ke Persib Bandung.  Kebetulan keduanya berwarna biru.

Tiba-tiba Persib menjadi uber alles dan PSIS identik dengan nomer dua.  Padahal tadinya saya pendukung fanatik kesebelasan Panser Biru dan musuh  Babotoh.

“Gegar budaya” tidak hanya menjadi monopoli Atun dan saya.  Itu merupakan gejala psikologis yang wajar. Bisa (meski tidak selalu) dialami oleh siapa saja ketika berada dalam situasi masyarakat yang tiba-tiba berubah dibanding sebelumnya.

Tak hanya pindah antarkampung atau antakota saja.  Mereka yang pindah ke negara maju pun akan melihat saudara-saudaranya yang tinggal di tanah air menjadi serba salah.

Sekali lagi, tidak semua orang pindah menderitanya.

Maraknya media sosial bisa menambah parahnya gejala ini.

Seorang sahabat yang sudah bertahun-tahun pindah ke sebuah negara maju di Eropa, menulis di laman medsosnya mengenai budaya lalu-lintas yang karut-marut di tanah airnya dan begitu tertibnya di negaranya yang baru, dengan judul “Menyeberang Jalan”.

Perbedaan ukuran telah diberlakukan semena-mena dan rasa rendah diri mencuat di kehidupannya yang baru, mungkin tanpa terasa.

Sekali lagi,  “gegar budaya” adalah sah dan wajar dalam konteks perubahan kebiasaan atau bahkan peradaban.  Tetapi rasionalitas dan pertimbangan budaya  seharusnya  segera meredakan gejala ini dengan bijaksana.

Manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan.  Bukan hal aneh kalau tiba-tiba seseorang berubah drastis ketika lingkungannya tanpa sengaja mengubahnya diam-diam.

“When you travel overseas, the locals see you as a foreigner, and when you return, you see the locals as foreigners”. – (Anonim)

P.M.Subandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here