Dupa dan Ukupan dalam Tradisi Gereja

457
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Romo Kris terkasih, saya ingin bertanya mengenai dua hal.  Pertama, banyak umat berdoa menggunakan dupa bahkan di paroki saya ada umat yang menancapkan dupa lidi di depan patung Bunda Maria saat berdoa. Apakah ini perbuatan menyimpang dari ajaran Gereja? Kedua, pada saat pemberkatan dan pemakaman jenazah yang dipimpin awam, bolehkah menggunakan ukupan karena ada yang mengatakan bahwa ukupan hanya boleh digunakan oleh kaum tertabhis. Terima kasih.

 Santi, Yogyakarta

Saudari Santi, sejauh pengetahuan dan pemahaman saya, tidak ada suatu ketentuan baku tentang penggunaan dupa. Hanya memang diingatkan agar pemakaiannya digunakan secara tepat dan layak. Namun kita pahami penggunaan dupa dimaksudkan sebagai suatu tanda atau ungkapan penghormatan. Selain itu dupa dalam tradisi Gereja juga merupakan suatu simbol penyucian dan pemurnian, yang menandakan doa-doa umat beriman di hadapan Allah yang kudus. Inilah kiranya yang menjadi prinsip atau kriteria dasar untuk menempatkan penggunaan dupa.

Dalam tradisi Perjanjian Lama dikatakan mezbah tabut perjanjian dalam kemah suci dibuat dan di depannya dibakar ukupan sebagai ungkapan doa yang terus-menerus dipanjatkan ke hadirat Allah (Lih. Kel. 30:1-38). Ukupan tersebut dibakar oleh imam dan dibuat dengan bahan khusus. Dapat dikatakan lalu bahwa ukupan adalah doa, “Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ungkupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan kurban pada waktu petang” (Mzm. 141:2).

Semua itu dipersembahkan sebagai suatu persembahan dupa yang harum mewangi bersama doa ke hadapan mezbah yang kudus (Lih. Why. 8:3). Pengakuan akan kebesaran dan kemuliaan Allah di tempat-Nya yang kudus dinyatakan dengannya. Tatacaranya pun diterangkan (Lih. Im. 16:12-13; Bdk. Ibr. 9:4). Hanya imam tertentu dan yang dipilih yang melakukan pembakaran ukupan tersebut, sebagaimana terjadi pada Zakharia saat mendapatkan penampakan Malaikat yang memberitahuan soal kelahiran Yohanes Pembaptis (Lih. Luk. 1:8-23).

Secara umum dalam Perjanjian Baru tradisi tersebut tidak lagi kita temukan, hanya memang perintah akan menghaturkan doa dengan tanpa henti, dengan tidak jemu-jemu diajarkan (Lih. Luk. 18:1). Tabut perjanjian dan mezbah kudus dalam Bait Allah berada di tempat khusus, sedangkan ibadat kini dapat dilaksanakan di mana saja. Yesus dalam percakapannya dengan perempuan Samaria mengatakan tentang menyembah Allah bukan di tempat tertentu namun menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran   (Lih. Yoh. 4:21-23).

Dupa sebagai simbol penyucian dan pemurnian, mengungkapkan bahwa doa, dan bahkan liturgi itu sendiri, merupakan suatu tindak penyucian dan pemurnian pula, agar kita pun semakin belajar menempatkan diri layak dalam berbakti kepada Allah. Doa dihadapkan yang kudus dinyatakan dalam cawan emas yang penuh dengan kemenyan, bagaikan doa para kudus (Lih. Why. 5:8). Dupa mengajak kita untuk mengarahkan diri ke Surga, bahwa doa  merupakan sesuatu yang ilahi dan doa-doa kita tertuju pada Allah. Tentu dengannya aura kemegahan dan misteri disimbolkan pula. Selain itu, dupa pun tidak jarang dipakai untuk mendupai jenasah ataupun menandai berkat akan patung ataupun benda-benda suci. Tentu ini bukan sesuatu yang harus.

Tradisi budaya masing-masing membawa kekhasannya. Dupa lidi biasa dipakai dan bukan sesuatu yang salah, karena merupakan sesuatu yang khas dari tradisi budaya, apalagi dupa bukanlah sesuatu yang sangat khas Kristiani, sebab dalam tradisi budaya timur, dan bahkan dalam agama serta kepercayaan dari timur hal itu adalah sesuatu yang lumrah dipakai.

Praktik kesalahen umat nyatanya ditandai dengan unsur-unsur budaya pula. Penghormatan akan jenasah orang yang meninggal selain menandakan iman akan kebangkitan, namun juga memuat permohonan akan belaskasih Allah akan pemurnian hidupnya agar layak diterima dalam persekutuan dengan para kudus di Surga.

Di satu sisi kita menghargai kekayaan dan kekhasan budaya setempat. Namun dalam hal ini, agar segalanya tidak terjebak dalam rasa subjektif belaka, kita perlu mendengarkan patokan atau penetapan dari pimpinan Gereja setempat. Demikian pula penilaian apakah sesuatu itu menyimpang atau tidak janganlah ditentukan oleh penilaian subjektif kita. Yang pokok adalah apakah dengannya kita menyatakan ungkapan pujian akan kemuliaan Allah, pun lewat penghormatan akan jenasah mereka yang telah meninggal.

Pengasuh: Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ (Teolgo, Tinggal di Girisonta)

HIDUP, Edisi No. 07, Tahun ke-77, Minggu, 6 Februari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here