Eratkan Keindonesiaan Misionaris Asal Nusantara di Brasil

137
Foto bersama peserta reuni terpadu
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – ‘Catatan ringan’ dari reuni terpadu WNI di Brasil dengan para misionaris Indonesia di Brasil: mitra KBRI-Brasilia dan Ikatan Misionaris Indonesia di Brasil. Oleh, Sr. Albersia Hope Tapoona, SSpS, Misionaris SSpS Brazil Utara dan sekretaris dari kegiatan reuni.

REUNI dibuka pada hari Senin, 30/1/2023 dan ditutup hari Kamis, 2/2/2023 di KBRI di Brasilia. Pada pembukaan, acara dimulai dengan sarapan bersama dalam aneka hidangan lezat, khas Indonesia. Hidangan disiapkan  oleh Uri, Iya dan Umar, dibawah asuhan Syahfinar dan ibu-ibu Dharma Wanita KBRI-Brasil. Menjelang berakhirnya sarapan, yang dihadiri juga oleh konsuler dan staf KBRI lainnya dan beberapa utusan WNI/Diaspora Indonesia-Brasil, peserta mendapat sapaan dan beberapa pesan dari Pater Budi Kleden, Superior General SVD, langsung dari Roma melalui vídeo call.

Sapaan Pater Budi Kleden, Superior General SVD, langsung dari Roma melalui vídeo call.

Dalam sapaan tersebut, Pater Budi menonjolkan tiga poin yang berhubungan dengan keindonesiaan: Indonesia sebagai rumah kita, Indonesia sebagai pembentukan kepribadian dan toleransi, dan Indonesia sebagai tanggung jawab.

Diharapkan agar sebagai misionaris peserta mampu menampilkan kepribadian sebagai seorang religius, sesuai dengan inspirasi yang terlahir dari spiritualitas setiap kongregasi, tanpa melupakan  keindonesiaan. Sebagai bagian dari kongregasi religius tertentu, peserta harus menunjukkan keutamaan-keutamaan Kristiani.

Menurut Pater Budi, peserta pun harus mampu menampilkan kepribadian yang toleran untuk berdialog dengan berbagai perbedaan, jiwa pekerja yang selalu berkomitmen dengan tindakan-tindakan baik dan benar, serta keseriusan dalam menerima tanggung jawab demi pembangunan dunia dan persaudaraan universal. Sebagai pribadi religius, setiap misionaris semestinya fokus pada penebaran cinta kasih dan warta Injil, yang pada hakikatnya mengandung nilai universal. Dan sebagai orang-orang Indonesia, seorang misionaris adalah duta-duta bangsa untuk membawa kebhinekaan ke tempat di mana diutus.

Menjadi Duta

Sementara itu, dalam kontekstualisasi singkat tentang Reuni tersebut, Pater Fernando Doren, SVD memaparkan latar belakang lahirnya event ini. Dia terlahir sebagai hasil paduan dua inisitif berbeda: dari Duta Besar Berkuasa Penuh Indonesia untuk Brasil, Edi Yusuf untuk mengadakan silaturahmi dengan para misionaris Indonesia dan KBRI dan dari Pater Fernando Doren untuk mengadakan seminar evaluatif dan reflektif bertepatan dengan tiga dasawarsa kedatangan tiga misionaris pertama Indonesia di Brasil, atas nama suster-suster Abdi Roh Kudus (SSpS) Cornelia Wasing, Yohana Teme, yang masih tetap di Brasil dan Elisabeth Teme, yang telah kembali ke Indonesia.

Fernando Doren masih menghadirkan dua fakta statistik yang cukup relevan, yaitu, saat ini, dari 360-an WNI yang tercatat berdomisili di negeri samba ini, 80-an orang, atau sekitar 35% di antaranya adalah misionaris, suster, frater, bruder dan pastor. Ditambahkan pula bahwa dari 80-an ini 50 misionaris bisa hadir dalam Reuni Pertama ini.

Ke-50 peserta peserta yang hadir merupakan anggota dari 10 kongregasi religius, di antaranya, Serikat Sabda Allah (SVD), Suster Misi Abdi Roh Kudus (SSpS), Sisters Divine Providence (SDP)  Passionis (CP), Servas de Maria de Galeazza (SMG), Irmãs Discípulas de Jesus Eucarístico (DJE), Salesian Don Bosco, Serikat Xaverian (SX), Scalabrinian dan Ocarm.

Pada kesempatan yang sama, Yusuf mengungkapkan dua alasan mengapa beliau berinisiatif untuk mengumpulkan para misionaris Indonesia di KBRI, yaitu bahwa para misionaris pada hakikatnya adalah duta-duta budaya Indonesia dalam keseharian mereka di tengah masyarakat Brasil dan umumnya merela bekreja di pelosok-pelosok yang sulit dan tidak terjangkau oleh perwakilan Indonesia.

Kagum dan Bangga

Pada sesi misionaris Indonesia dilihat dari luar, Edy Yusuf dalam sambutannya memberikan penekanan khusus pada peran misionaris Indonesia sebagai duta budaya dan bangsa RI. Ia mengungkapkan kekaguman dan kebanggaannya atas kegigihan serta keuletan dari setiap misionaris yang pernah dia temui selama 4 tahun masa jabatannya di tanah ini.

Dubes bersama sebagian peserta reuni terpadu.

Ia juga menyampaikan ucapan limpah terima kasih atas kerja sama yang baik antara pihak KBRI dan para misionaris Indonesia di Brasil, baik dalam beberapa urusan kepemerintahan dan kemasyarakatan maupun dalam urusan reuni ini.

Ia mengakhiri sambutannya dengan berkata, “Kita adalah duta-duta bangsa. Untuk mengharumkan nama Indonesia, kita membutuhkan  kerja sama dan reuni ini sebagai langkah awal kerja sama kita untuk mewujudkan persatuan dan kontribusi  terbesar untuk mengharumkan nama Indonesia”.

Duta Besar Edy Yusuf dan Sekretaris Umum Konferensi Nasional Waligereja Brasil, Mgr Joel Portella Amado

Sedangkan Kepala Perwakilan Perdagangan Indonesia di Brasil (Indonesian Trade Promotion Center-ITPC), Donny Tamtama yang hadir bersama wakilnya, Sri Sapto Bhimo Haryana, menyampaikan harapannya kepada para WNI “jenis”ini. Sebagai pejabat baru dalam bidangnya, ia mengharapkan kerja sama yang baik dengan para misionaris, terutama dengan mereka yang hadir di wilayah di mana ada potensi dagang yang besar antar kedua negara.

            Nada harapan yang sama disampaikan oleh dua pembicara yang lain, yaitu Gopokson Situmorang selaku protokol Konsuler, merangkap Ketua Panitia Pemilihan Umum Luar Negeri (KPU-LN) untuk Brasil, dan Bapak Romas, yang bertindak sebagai Kepala Atase Pertahanan.

Harapan Gereja Brasil

Masih dari perspektif eksternal, Mgr. Joel Portella Amado (Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Brasil (CNBB), Sr. Eliane Cordeiro de Souza (Ketua Umum Konggregasi Religius Brasil, CRB) dan Pater Antônio Djalma (Direktur Pusat Kursus Bahasa Portugis dan Budaya Brasil, CCM) juga ikut memberikan arahan.

Mgr. Joel menegaskan bahwa tindakan meninggalkan tanah air  Indonesia tidak serta-merta mengeluarkan keindonesian dari diri para misionaris Indonesia. Dunia membutuhkan misionaris yang mewartakan kerahiman Allah, yang dialami dalam bejana budayanya. Kita memiliki Allah yang sama yaitu sang pencipta yang memberi damai. Untuk itu kehadiran kita diharapkan selalu membawa damai bagi dunia, di mana kita berada dan diutus. Semoga di mana pun kita berada, kita selalu mempunyai harapan, kesabaran untuk memperoleh dan menyebarkan kedamaian itu.

Sr. Eliane menekankan keutamaan dari “penyerahan diri”. Menurutnya, tujuan utama menjalani hidup religius adalah melayani bukan untuk dilayani. Tugas kita adalah untuk melanjutkan  mimpi Allah. Untuk itu, kehadiran kita sebagai biarawan-biarawati dan secara khusus sebagai misionaris asing yang berkarya di Brasil adalah bersama-sama membangun Gereja di mana tempat kita berkarya, agar kerajaan Allah bisa dialami dalam konteks ini.

Keluara Besar KBRI di Brasil

Sedangkan Pater Antônio mengajak para peserta untuk bercermin pada Yesus, yang adalah Misionaris (Utusan) Ulung Allah. Kedalam konteks apapun seorang misionaris diutus, dia haruslah berusaha untuk mewartakan kasih Allah dan melayani manusia, berdasarkan sintesis dari pengalamannya akan keilahian dalam konteks budaya asal dan budaya yang dimasuki. Diharapkan agar keindonesian yang dibawa oleh para misionaris bisa merupakan sumbangsih yang berharga untuk Gereja dan masyarakat Brasil di era modern.

 “Napak Tilas”

Selanjutnya, dalam dua hari, para misionaris mengambil waktu untuk berbagi pengalaman, meniti kembali jejak-jejak langkah mereka, sejak dari tempat asalnya di Indonesia, sampai tiba di Brasil, dan akhirnya menjadi peziarah bersama orang-orang Brasil.

Kebersamaan dalam reuni.

Berdasarkan beberapa kriteria, seperti wilayah asal di Indonesia, tempat formasi, pengalaman crosscultural  sebelumnya, tahun kedatangan di Brasil dan wilayah misinya di tanah sepak bola, berapa misionaris  diundang untuk berbicara dalam pleno tentang suka dan duka beserta tantangan yang mereka hadapi dalam perjalanan misi mereka. Dari pengalaman mereka, semua diberi kesempatan untuk menambahkan apa yang mungkin masih tertinggal atau menekankan apa yang penting (Lihat box).

Tak Terpisahkan

Reuni diisi juga dengan Ekaristi bersama umat di salah satu kota satelit, Gama, dan pagelaran malam budaya. Ekaristi terjadi di sebuah paroki, di mana pastornya seorang misionaris Indonesia, Sabinus Geta Lewar, SVD. Dalam nada dan syair Indonesia, umat dihantar untuk bersyukur dan memuji Tuhan atas pertemuan yang berdasar pada kesamaan dan perbedaan. Menyusuli kenikmatan rohani, disuguhkan pula atraksi budaya dan makanan ringan khas Indonesia, yang disediakan oleh ibu-ibu Dharma Wanita KBRI. Tak lupa, ditayangkan “Wonderful Indonesia” di layar lebar, satu vídeo promosi turisme ke Nusantara. Sekitar 700 orang menghadiri Ekaristi, menyaksikan pelbagai atraksi seni, yang berasal pelbagai budaya Indonesia, yang terwakili oleh para misionaris peserta. Tak ketinggalan semuanya ikut bergoyang ria menurut irama “satu, dua, tiga”.

Olah raga bersama

Seluruh rangkaian kegiatan ditutup dengan tour budaya, mengunjungi beberapa lokasi historis di Kota Brasilia dan asrama pendidikan untuk remaja wanita, yang berasal dari keluarga miskin di pelbagai pelosok Brasil. Lokasi edukatif ini didampingi oleh seoang misionaris Indonesia yang lain, Pater Rafael Plato, SVD.

Sepuluh Buah Sharing

Beberapa point dan kesimpulan yang diangkat dari sharing dalam reuni.

Pertama, fakta bahwa kita terlahir dalam lingkungan plurilinguistik, terkadang bapa dan ibu dari kelompok linguistik berbeda, berdampak pada berukurangnya hambatan pada saat kita harus melalui lompatan besar ke dalam lingkungan bahasa asing.

Misa di Paroki SVD, St. Yohanes Pemandi Gama Brasília.

Kedua, latar belakang keaneka-ragaman budaya dan agama memudahkan kita untuk menyerap budaya dan praktik religi di lingkungan tempat kerja, seperti di Brasil. Perlu ditambahkan pula bahwa sinkretisme yang sangat umum di wilayah asal para misionaris juga menjadi aset yang membantu mereka untuk melihat sinkretisme di Brasil sebagai sesuatu yang bukan menakutkan.

Ketiga, kedekatan kita dengan agama setempat/lokal, seperti Kejawen/Kebatinan Jawa dan kepercayaan semirip yang ditemukan di wilayah asal kita juga merupakan satu fator penentu dalam melihat kontribusi kepercayaan lokal/tradisional, seperti kepercayaan orang asli/indígena, kepercayaan afro dan nova era.

Keempat, semangat persaudaraan dan gotong-royong yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, di pelbagai pelosok merupakan modal dasar bagi kita untuk segera menerima dan memperlakukan yang warga negara lain sebagai saudara/i dan tidak lamban dalam membantu yang lain, bila dibutuhkan.

Kelima, budaya kumpul-kumpul sangat membantu kita dalam menciptakan suasana gembira dan terlibat dalam kegembiraan masyarakat setempat. Keseimbangan dalam nilai luhur ini harus tetap dijaga, agar bisa dihindari terciptanya “ghetto”, pengisolasian diri dari semua yang berbeda  dari yang kita miliki.

Keenam, kesederhanaan dari tempat di mana kita berasal ikut membentuk kesederhanaan kepribadian kita, yang adalah satu kebajikan yang memudahkan penerimaan pihak lain terhadap kita.

Ketujuh, ketaatan terhadap otoritas, pemimpin dan yang lebih tua, membuat kita sangat disenangi oleh para pemimpin dan pemegang otoritas. Dalam banyak hal, kita masih bertahan pada kemutlakan “Orang tua (otoritas, pemimpin) adalah wakil Tuhan di dunia. Mungkin, dalam hal tertentu perlu direlativisasi ketaatan absolut tersebut, karena apa yang sedianya merupakan nilai luhur dalam budaya kita, demi kelestarian nilai-nilai kemasyarakatan dan mempertahankan keharmonisan, sinkronisasi dalam pikiran dan tindakan, bisa juga menjadi hambatan dalam berkreativitas dan pengambilan inisiatif.

Kedelapan, rasa kebangsaan dan nasionalisme kita yang tinggi dan keinginan kita untuk bertemu dengan sesama bangsa, serta pelbagai inisiatif, entah spontan atau terorganisir, untuk mempertemukan saudara-saudari setanah air juga merupakan fasilitator untuk seseorang bisa merasa at home, menghadapi cultural shock dan home sick, yang terkadang begitu keras melanda yang bersangkutan di tanah asing. Dalam hal ini, keterbukaan KBRI dalam pelayanannya, entah formal atau non-formal, sangatlah terpuji untuk misionaris tetap merasa didukung dalam tugas yang diemban.

Kunjungan ke Katedral Keuskupan Agung Brasília.

Kesembilan, dialog kehidupan/keseharian yang saling memperkaya, mutual enrichment dialogue, di mana lebih dari sekadar toleransi. Pengalaman dialog antarbudaya, antaragama dan kepercayaan dan antarperbedaan lainnya yang adalah warna dasar kehidupan di Nusantara sungguh berdampak pada transformasi diri dari banyak misionaris dan partner dialog mereka. Pribadi-pribadi yang terlibat dalam dialog keluar dari dirinya, bukannya melebur dalam diri yang lain, tapi beranjak menerima identitas baru.

Kesepuluh, tak bisa dipungkiri bahwa dialog antarbudaya, interkultural dialogue, hanya bisa terjadi kalau orang bisa menerima pengalaman dilahirkan kembali, menjadi seperti anak kecil, belajar berjalan dan mengenal dunia yang baru.   Metafor  “bahasa sebagai mata untuk mengenal masyarakat dan untuk melihat dunia seperti yang dilihat oleh kelompok masyarakat pemilik bahasa” mendorong kita untuk mempelajari secara baik bahasa tersebut. Bila pengalaman ini kita lalui secara baik, banyak studi yang menunjukkan bahwa orang akan berubah menjadi sangat human.

HIDUP, Edisi No. 08, Tahun ke-77, Minggu, 19 Februari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here