HIDUPKATOLIK.COM – SETIAP kali terjadi kasus kejahatan luar biasa, sebagian masyarakat kita menyerukan, “Hukum mati saja pelakunya!” Sebagian kalangan memang memandang hukuman mati sebagai cara terampuh untuk menghentikan kejahatan.
Hukuman mati seolah menjadi pemuas dahaga masyarakat yang ingin ikut menghukum pelaku kejahatan. Seakan ada rasa puas saat ikut berseru, “Sampah masyarakat tidak layak hidup!”
Argumen “alkitabiah”?
Tak jarang, sebagian pengikut Kristus pun (diam-diam) menyetujui hukuman mati. Ironisnya, argumen yang digunakan adalah argumen yang diklaim “alkitabiah”: mata ganti mata, gigi ganti gigi (bdk. Kel. 21:24a). Contoh nyata, Albert Mohler Jr menganggap “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia” (Kej. 9:6a) sebagai legitimasi hukuman mati pada masa kini.
Mohler tidak sendirian. Sebuah jajak pendapat pada 2017 melaporkan, 55% responden Amerika Serikat “mendukung hukuman mati untuk orang yang dihukum karena pembunuhan”. Seandainya ada jajak pendapat di kalangan Kristiani Indonesia, mungkin ada pula responden yang “bersimpati” pada hukuman mati.
Tampak jelas bahwa di kalangan Kristiani sendiri, ada perbedaan pandangan dan kebingungan mengenai keabsahan hukuman mati. Tak jarang, orang Katolik pun kehilangan pedoman di dalam kebingungan ini.
Mungkin karena itu juga, Paus Fransiskus kembali mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk menolak hukuman mati. Melalui Intensi Doa Paus bulan September 2022 lalu, Paus menghendaki agar kita berdoa bagi penghapusan hukuman mati.
“Hukuman mati tidak memberikan keadilan bagi para korban, melainkan mendorong balas dendam,” tegas Paus.
Paus mengatakan bahwa hukuman mati “secara moral tidak dapat diterima” karena hukuman mati menghancurkan kehidupan yang merupakan “karunia terpenting yang kita terima.”
Paus melanjutkan, “Janganlah kita lupa bahwa, hingga saat terakhir, seseorang dapat bertobat dan berubah.” Bagi Paus, perintah “Jangan membunuh” berlaku baik bagi orang yang tidak bersalah dan yang bersalah.
Paus Fransiskus benar. Dekalog dan Dua Perintah Kasih seharusnya memang menjadi acuan pokok dalam penafsiran ayat-ayat Kitab Suci. Kita tidak bisa gegabah mencomot ayat-ayat dalam Alkitab untuk membenarkan hukuman mati pada masa kini.
Paus menandaskan, hukuman mati bukanlah cara efektif untuk mengatasi kejahatan. Pendapat Paus ini sejatinya dibuktikan sejumlah riset yang menunjukkan kelemahan hukuman mati.
Pertama, vonis hukuman mati bisa salah. Di Amerika Serikat, sejak tahun 1973 lebih dari 120 orang telah dibatalkan vonis hukuman matinya. Tes DNA akhirnya membuktikan bahwa mereka secara keliru divonis sebagai pelaku.
Sayang sekali, telah banyak pelaku tak bersalah yang telanjur dihukum mati. Fakta ini menunjukkan salah satu kelemahan hukuman mati yang irreversible atau tidak dapat dibenahi lagi ketika ternyata keliru. Bayangkan perasaan keluarga terpidana yang ternyata salah divonis mati!
Kedua, hukuman mati gagal mencegah peningkatan kejahatan. Pada 2007, tingkat pembunuhan rata-rata di negara-negara bagian Amerika Serikat yang menerapkan hukuman mati adalah 5,5. Sementara itu, tingkat pembunuhan rata-rata dari 14 negara bagian tanpa hukuman mati adalah 3,1 saja (Kathy Gill, 2020).
Di Indonesia
Indonesia adalah satu dari 84 negara yang masih menerapkan hukuman mati, sedangkan 111 negara telah menolak hukuman mati.
Belanda sudah menghapus hukuman mati dalam Hukum Pidana sejak 1870 sedangkan KUHP Indonesia yang antara lain mengacu pada hukum Belanda justru masih menerapkan hukuman mati.
Saat ini ada 12 undang-undang di Indonesia yang masih mencantumkan hukuman mati. Padahal, amandemen kedua UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Sejatinya, negara perlu menghormati hak hidup yang tidak dapat dirampas oleh siapa pun.
Kita juga perlu melihat secara jujur hukuman mati dalam konteks realitas sistem hukum di Indonesia. KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menemukan aneka dugaan proses peradilan tidak adil dalam proses eksekusi hukuman mati (Kompas,10/10/2019).
Vonis dan eksekusi hukuman mati di Indonesia sering dipengaruhi kepentingan politik (dan ekonomi) sesaat. Para terpidana hukuman mati dibiarkan menanti dalam ketakutan tanpa ada kepastian kapan eksekusi akan dijalankan.
Menjadi eksekutor hukuman mati adalah juga mimpi buruk bagi aparat penegak hukum yang di hati kecilnya tidak tega menjalankan praktik hukuman yang tak manusiawi dan sering tak transparan.
Sungguh, hukuman mati harus segera diakhiri. Juga di negeri tercinta kita, Indonesia.
Bagi Paus, perintah “Jangan membunuh” berlaku baik bagi orang yang tidak bersalah dan yang bersalah.
Bobby Steven Octavianus Timmerman, Imam MSF dan Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
HIDUP, Edisi No. 09, Tahun ke-77, Minggu, 26 Februari 2023