“Balita” yang Diharapkan Bisa Belari

81
Peserta OGF berfoto bersama di pusat ziarah Via Crucis Sukamoro, Palembang, Sumatera Selatan.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKAOLIK.COM – KICAU burung terdengar bersahutan. Hawa dingin dan kabut tipis masih menyelimuti pepohonan hinjau nan rindang di sekitar kompleks Wismalat Podomoro, Banyuasin, Sumatera Selatan. Sayup-sayup alunan pendarasan mazmur doa Ibadat Harian yang dilanjutkan Perayaan Ekaristi memecah keheningan pagi, mengawali kegiatan bina lanjut atau on going formation (OGF) para imam diosesan balita (bawah lima tahun) Regio Sumatera, Selasa, 28/2/2023. Selanjutnya, peserta masuk dalam saat belajar bersama mendalami empat materi utama.

Semangat Muda

Mengawali paparan tentang sharing umat, biarawan, dan biarawati tentang pengalaman hidup bersama dan harapan bagi para imam diosesan, Sr. M. Henrika HK (Pimpinan Umum Kongregasi Suster-suster Belas kasih dari Hati Yesus yang Mahakudus) menyampaikan bahwa dalam diri para imam muda terdapat harapan akan Gereja yang semakin hidup dan berkembang, sebab mereka memiliki semangat muda, bekal yang cukup dan memiliki kreatifitas. Oleh sebab itu, imam muda hendaknya berani berinovasi, berdinamika bersama dengan imam dan umat dalam keterbukaan penuh kasih, dan menghargai keanekaan perbedaan yang memampukan untuk berkembang dan menerima satu terhadap yang lain.

Suster Henrika HK (kedua dari kiri) bersama narasuber lain.

Menurut Sr. Henrika, tidak selalu mudah bagi para imam untuk menjalankan tugas-tugasnya, ada banyak tantangan yang dihadapi. Perubahan zaman yang cepat akibat kemajuan teknologi ikut menyajikan tantangan sekaligus peluang bagi pelayanan para imam. Komputerisasi dan otomatisasi mempengaruhi seluruh kehidupan manusia.  Maka tekun berdoa membangun relasi yang dekat akrab dengan Tuhan, melakukan bina diri mandiri, mengasah kemampuan atau potensi diri merupakan hal yang harus diupayakan terus menerus.

“Pelayanan para imam di era transformasi digital perlu mengedepankan humanitas. Melakukan pendekatan secara personal yang diwarnai keramahan, kerendahan hati dan penghargaan satu sama lain,” harapnya.

Selanjutnya, Romo Andreas Suparman SCJ (Superior Provinsial SCJ Indonesia) menyampaikan materinya dengan judul Integritas yang Inklusif–Dasar Sharing Hidup dan Karya Bersama. “Pada tingkat kelembagaan, antara Keuskupan dan Kongregasi SCJ Provinsi Indonesia terjadi relasi, komunikasi dan kerja sama yang amat baik. Komunikasi antarpimpinan Kongregasi dan para uskup sangat baik dan terbuka. Demikian pula pada tingkat pribadi antarpribadi, secara umum baik. Memang di beberapa tempat dan juga antar pribadi terjadi komunikasi dan kerjasama yang kurang kondusif. Ada ketegangan yang seringkali terjadi disebabkan oleh perbedaan pandangan dan “kepentingan” keuskupan dengan struktur terirorialnya dan tarekat dengan struktur personalnya, sehingga perlu disepakati hubungan dan kerjasama yang paling mendekati kepentingan kedua belah pihak,” jelasnya.

Ia kemudian mengajak para imam peserta untuk mendalami beberapa bagian dari salah satu Dekret Konsili Vatikan II, Christus Dominus (CD), yaitu Dekret tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja.

Terkait dengan kerja sama dalam pelayanan pastoral ia pun menambahkan catatan dengan mengutip CD. “Hendaknya dipelihara kerja sama yang teratur antara pelbagai tarekat religius, maupun antara tarekat-tarekat religius dan klerus diosesan. Selain itu hendaklah dijalin koordinasi yang erat antara semua karya dan kegiatan kerasulan. Koordinasi itu amat tergantung dari sikap adikodrati budi maupun hati, yang akar serta dasarnya adalah cinta kasih (CD 35.5),” harapnya.

Perihal sikap dan gaya imam diosesan di tengah dan bersama umat, Romo Suparman memiliki kesan tersendiri. “Ada kesan bahwa para imam diosesan sungguh ingin tampil mengumat. Saking meng-umatnya kadang jadi sulit membedakan antara imam dan umat. Tentu saja hal ini bukan hanya terjadi di kalangan imam diosesan, tapi juga di antara imam religius. Hal ini tidak hanya terlihat dalam pakaian saja, namun juga dalam sikap dan tingkah laku. Di satu sisi ini baik karena tidak membuat jarak, namun di lain sisi juga mengaburkan ‘kesaksian’ tertentu,” ungkapnya.

Kematangan

“Sejatinya seseorang yang sudah ditahbiskan menjadi imam haruslah memiliki kematangan spiritual yang memadai. Hanya saja, tahbisan imamat yang diperoleh itu tidak dengan otomatis mematangkan hidup spiritual seseorang. Tak ada jalan pintas dalam hidup spiritual. Imam mesti mengalami pertemuan personal dengan Pribadi Yesus dan dia membiarkan hidupnya diubah dan digerakkan oleh Pribadi tersebut,” ungkap Romo Irfantinus Tarigan saat menyampaikan materinya tentang Kematangan Spiritual Imam.

Staf formator di Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar ini mengatakan, “Kematangan spiritual atau manusiawi tidaklah mengandaikan bahwa seseorang tidak akan pernah berbuat salah atau dosa. Seseorang dikatakan matang, bila dia mampu sesegera mungkin kembali ketika dia jatuh, dan berjuang untuk tidak gagal lagi. Antara spiritualitas dan aspek manusiawi tidak pernah bisa dipisahkan. Seorang imam yang matang secara spiritual akan matang juga secara manusia. Kematangan manusiawi juga akan memicu kematangan spiritual,” terangnya.

Langkah penting lain untuk bertumbuh dalam kematangan spiritual adalah mendengarkan tubuh. “Dalam konteks panggilan, tubuh adalah spasi (ruang) tempat panggilan ditaburkan. Di dalam ketertubuhan itulah, Allah memilih untuk bertemu dengan manusia. Oleh sebab itu, menghidupi kemanusian berarti menghidupi kebertubuhan. Manusia perlu menghuni tubuhnya. Caranya dengan merasa cukup nyaman dengan diri sendiri, semakin menerima tubuh yang terberi, dan hal pokok lainnya adalah dari seksualitas ke personalitas. Seksualitas sama seperti termometer yang dapat mengukur kematangan kepribadian seseorang,” tegas Romo Irfantinus.

Mendengarkan

Materi selanjutnya tentang Dokumen Gereja Terbaru disampaikan oleh Mgr. Vincentius Setiawan Triatmojo (Uskup Terpilih Keuskupan Tanjungkarang). Ia mengajak para imam mendalami Seruan Apostolik Paus Fransiskus yang dipublikasikan pada tahun 2019, Christus Vivit (Kristus Hidup). “Christus Vivit yang ditunjukkan kepada orang muda dan umat pendamping, hendaknya menjadi perhatian para imam muda. Perhatian ini dapat diwujudkan dalam pastoral kreatif, misalnya dengan melebarkan sayap pelayanan ke dunia maya. Serangan terhadap kebenaran iman Katolik di dunia maya begitu banyak. Banyak tayangan yang mengatakan bahwa Yesus itu bukan Tuhan. Memang ini tidak mengkhawatirkan, jika iman umat kuat. Namun dari penilaian katolisitas saat sinode di Keuskupan Agung Palembang, ini sangat minim. Iman seperti ini sangat rawan bila dipengaruhi pihak lain,” ungkapnya.

Selanjutnya ia mengajak para imam muda untuk sungguh memberikan waktu mendengarkan dengan baik. “Kita tidak boleh berasumsi tentang lamanya waktu yang harus kita berikan, meskipun masalah orang muda itu sudah kita ketahui. Kita harus mendengarkan sampai kita tahu apa yang mereka maksudkan,” harapnya.

Simpul Harapan

“Penghayatan spiritualitas imam diosesan harus terbuka pada bimbingan Roh Kudus, terpusat pada Kristus sendiri, hidup dari Sabda Allah dan sakramen-sakramen, serta menghormati Bunda Maria sebagai Bunda dan Guru Imamat kita. Seorang imam diosesan adalah imam dari dan untuk umat Allah di dunia nyata. Ia mengejar kesempurnaan hidup terutama dengan menjalankan tugas pelayanan pastoral mereka dengan setia dan tanpa kenal lelah,” ungkap Romo Guido Suprapto (Rektor Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar) mengawali materinya tentang Citra imam diosesan Regio Sumatera: Sebuah simpul harapan para Uskup dan tokoh umat Katolik.

Ia menyampaikan harapan para Uskup Regio Sumatera bagi para imam. Harapan itu adalah agar para imam memiliki kematangan manusiawi yang terwuiud dalam integritas moral, kedalaman hidup rohani dengan berkanjang dalam doa sehingga dekat dengan Allah, kedalaman intelektual, semangat melayani bukan dilayani, kemampuan membangun persekutuan yang inklusif-moderat dan dialogis, memiliki semangat misioner siap diutus, terbuka, cerdas, dan bijaksana terhadap perkembangan teknologi informasi, peduli untuk merawat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Selain keempat materi itu, peserta juga mendapat kesempatan mendalami semangat kerja sama, kepekaaan sosial, pelayanan dan kepemimpinan lewat kegiatan outbound yang menjadi satu rangkaian kegiatan OGF di Palembang.

Romo Titus Jatra Kelana (Palembang)

HIDUP, Edisi No. 11, Tahun ke-77, Minggu, 12 Maret 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here