Sepuluh Tahun yang Tidak Mudah bagi Paus Fransiskus

161
Paus Fransiskus
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – SEPULUH tahun yang lalu babak baru dalam sejarah Gereja Katolik dituliskan. Pada tanggal 11 Februari 2013 Paus Benediktus XVI mengumumkan keputusannya untuk mengundurkan diri sebagai Paus. Hal itu adalah sesuatu yang sebenarnya tidak dibayangkan tidak hanya oleh umat Katolik, namun juga oleh banyak orang di dunia.

Namun setelah mempertimbangkan dengan cukup lama dan matang, keputusan yang mengejutkan itu dibuat. Konklaf, pemilihan Paus baru segera diadakan. Akhirnya, pada tanggal 13 Maret 2013 terpilihlah Jorge Mario Bergoglio sebagai penggantinya, dan mengenakan nama Fransiskus. Kita lalu mempunyai seorang Paus dengan penerusnya yang masih hidup, hingga di akhir 2022.

Paus Fransiskus tampil pertama kali di Balkon Utama Basilika Santo Petrus setelah terpilih menjadi Paus menggantikan Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri.

Terpilihnya Bergoglio sendiri dapat dikatakan mengejutkan. Namanya tidak banyak muncul dari berbagai daftar 10 kardinal yang dikatakan papabilis, mereka yang dianggap layak dipilih sebagai Paus. Paus Benediktus XVI sendiri pada mulanya tidak menyangka  bahwa dia yang akan terpilih, namun kemudian merasa lega karena menganggap dia adalah figur yang tepat untuk memperbaharui Gereja.   Evangelisasi itulah inti pokok penggembalaannya. Gereja ada untuk mewartakan Injil, bahkan segala aset dan harta Gereja dimaksudkan untuk itu. Misi pewartaan Injil bila demikian ditempatkan sebagai fondasi pembaharuan Gereja.

Kemurahan Hati

Namun Paus Fransiskus tidak henti memberi kejutan kepada Gereja, dan bahkan dunia. Kejutan pertama adalah sikapnya yang cenderung sederhana, melepaskan diri dari segala atribut dan protokuler formal, baik dari penampilan, sikap maupun pandangannya. Wawancara dan perjumpaan personal banyak dibuat, lengkap dengan pernyataan-pernyataan yang cenderung spontan dan lepas, yang tidak mengherankan kadang mendatangkan pertanyaan lanjut.

Sikapnya terhadap persoalan LGBT, mereka yang gagal dalam perkawinan, bahkan terkait isu moralitas beberapa kali menimbulkan reaksi. Akan tetapi ketegasannya akan perkara perundungan, perang, kekerasan dan bahkan kerusakan lingkungan, membawa beragam reaksi. Kejutan sering dibuatnya, dan kita mungkin masih akan melihat berbagai kejutan-kejutan lain.

Dia lebih memberi tekanan akan sikap hidup beriman dan proses pastoral, bukan terutama ketepatan doktrin ataupun ketegasan normatif. Belaskasihan dan kemurahan hati baginya merupakan kunci, bahkan dikatakan sebagai wajah Allah dan pelayanan Gereja. Padahal bagi sementara orang kelembutan hati merupakan tanda kelemahan, kemurahan hati merupakan suatu cermin kerapuhan.

Akan tetapi Fransiskus menolak segala perkara iman didekati sebagai suatu ideologi, konsep mati atau formulasi beku, yang kemudian dipakai untuk menilai apalagi mengadili orang lain.

Yang dibawa oleh Paus secara menonjol adalah sikap pastoral. Gereja adalah ibu, dan karenanya kemurahan hati menjadi ciri dasar pastoralnya. Belaskasihan lah yang mengubah dunia, demikian diyakininya. Pesan dari Tuhan pun adalah belaskasih dan kemurahan hati, dan menurutnya itu merupakan pesan yang kuat dan mendasar dari Injil Yesus Kristus.

Aktivis Lingkungan Hidup Filipina membawa spanduk dukungan kepada Ensiklik Laudato Si’.

Hal tersebut tidak saja terasa dari saat yubileum kemurahan hati Allah, namun pula dalam Evangelii Gaudium, yang bisa dikatakan sebagai gambaran arah penggembalaannya. Bahkan jejak belaskasih dan kemurahan hati tersebut juga dapat kita temukan dalam berbagai dokumen lain yang dikeluarkannya, baik tentang panggilan kesucian, Gaudete et Exsultate, tentang ekologi, Laudato Si, maupun tentang persaudaraan sejati, Fratelli Tutti. Hal senada bisa kita temukan pula ketika berbicara tentang keluarga, Amoris Laetitia, maupun tentang orang muda, Christus Vivit. Belaskasihan merupakan skandal bagi dunia, namun pesan dasar dari Allah.

Sikap pastoral menuntun Gereja menjadi teman perjalanan umat manusia menuju kepada Allah. Saat pertemuan menjelang konklaf dia memaparkannya sebagai Gereja yang berkat kontemplasinya akan Yesus membawa kita untuk mewartakan Injil. Injil keselamatan tersebut adalah kabar sukacita belaskasihan Allah.

Kita diingatkan akan motonya: miserando atque eligendo, yang menggambarkan panggilan atau pilihan berkat belaskasihan Allah. Gereja yang menyadari diri akan kerapuhannya memandang kemurahan hati Allah dan karenanya membawa semakin banyak orang menjumpai kemurahan hati Allah tersebut.

Karenanya bagi Paus, yang terpenting pertama-tama bukanlah pembaharuan institusi dan struktur, namun pengalaman perjumpaan dengan rahmat belaskasihan Allah. Tidak mengherankanlah kalau sejak awal banyak orang sudah menduga bahwa dia akan mengeluarkan surat tentang kehidupan rohani, dan kita menemukannya dalam Gaudete et Exsultate.

Berjalan

Betapapun terpilih sebagai Paus di tanggal 13 Maret 2013, namun pengukuhannya sebagai gembala Gereja universal baru dibuat di tanggal 19 Maret 2013, Hari Raya Santo Yosef. Dia memang punya devosi besar pada Santo Yosef, dan selalu membawa doa devosi tersebut lebih dari 40 tahun hidupnya, di saat doa ibadat pagi. Kesederhanaan dan ketulusan sebagai hamba, itulah yang hendak diteladani dan diajarkan kepada Gereja, terlebih lewat   suratnya Patris Corde, tentang Santo Yosef. Gereja yang berjalan meniti langkah kehendak Tuhan.

Gereja yang berjalan sudah diungkapkannya dalam misa pengukuhannya tersebut. Gereja ini adalah Gereja yang menapaki perjalanan, peziarahan sebagai umat Allah dan umat manusia. Setiap perjalanan senantiasa memuat risiko, itulah kenyataan yang dihadapi pula oleh Gereja. Gereja yang tidak berani menanggung resiko akan menjadi Gereja yang cenderung beku, kemudian mengurung dirinya dalam keamanan dan keterjaminan struktur atau aturan diri, norma dan kesibukan pada dirinya sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan suatu keberanian kreatif, demikian Paus bercermin pada teladan Santo Yosef: suatu kreativitas iman yang tumbuh dari keberanian karena percaya pada tangan Allah yang menuntun.

Gereja yang berjalan ini sekarang kita tapaki dalam perjalanan sinodalitas Gereja, yang sedang berlangsung. Sinodalitas merupakan ciri menggereja di milenium ketiga, demikian dikatakannya. Langkah sinodalitas merupakan langkah berjalan bersama, juga dengan mereka yang bukan Kristiani, untuk menemukan tapak yang menuntun pada dunia kehidupan yang lebih baik, dan tentunya menuntun kepada Tuhan. Baginya, sinodalitas ini pertama-tama adalah proses, bukan hasil. Menurutnya sendiri, dalam Evangelii Gaudium, proses lebih penting daripasa hasil, karenanya bukan terutama solusi atau analisa sosiologis, sinodalitas menjadi proses bersama dalam menegaskan arah dan mengenali kehendak Allah.

Sinodalitas menuntut adanya keterbukaan, perjumpaan dan kesediaan untuk mendengarkan. Tidak mengherankanlah kalau gambaran tentang orang Samaria yang murah hati (lih Luk 10:25-37) dan kisah perjalanan dua murid dari Emaus (lih Luk 24:1-12) sejak awal masa kepausan ini sering dipakai sebagai gambaran ekklesiologi Fransiskus. Namun dari semua ini baginya Sabda Bahagia (lih Mat 5:1-16; Luk 6:20-26) menjadi landasannya, bahkan dikatakan sebagai ‘kartu identitas’ umat Kristiani.

Sepuluh tahun telah berjalan, namun perjalanan masih berlanjut. Kita tidak tahu persis apa yang akan terjadi. Namun kita tahun agenda besar Sinode tentang sinodalitas di tahun 2023 dan 2024, maupun tahun yubileum penebusan 2025 dengan tema peziarahan harapan telah menanti. Kita memohon akan perjalanan bersama Paus Fransiskus tetap ditapaki dalam terang rahmat bimbingan Allah.

Sinodalitas menuntut adanya keterbukaan, perjumpaan dan kesediaan untuk mendengarkan.

Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here