Mengenang Romo Mangun: Berbicara dari Hati Melalui Buku

289
Alm.Romo Mangun saat merayakan Ekaristi. [NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Tema dan spirit Hari Komunikasi Sosial sedunia tahun 2023 yang ditetapkan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus dengan tema “Berbicara dari Hati” dapat diterapkan di setiap karya, salah satunya melalui buku. Banyak pribadi yang hangat, inspiratif dan menjadi mentor penerapan berbicara dari hati melalui buku, salah satunya mendiang Pastor Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau akrab dipanggil Romo Mangun.

Ketika Romo Mangun meninggal dunia pada awal Februari 1999, ribuan pelayat menghadiri pemakamannya. Tidak hanya dari kalangan rohaniwan dan penganut agama Katolik atau masyarakat Yogyakarta, tetapi juga masyarakat dari berbagai agama, suku, kedudukan, pangkat, profesi, dan lain-lain. Banyaknya orang yang mendoakan Romo Mangun membuktikan bahwa sosok budayawan sekaligus pendidik ini sangat dicintai.

Romo Mangun meninggal di sela-sela simposium berjudul “Meningkatkan Peranan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Hotel Le Meridien, Jakarta. Saat itu, Romo Mangun menjadi pembicara. Dan di sela-sela break, badan Romo Mangun lunglai dalam pelukan ‘kiai’ sahabatnya, Mohamad Sobary. Saat itulah Romo Mangun telah menemukan saat-saat yang ditunggu sepanjang hidupnya, yaitu bertemu Penciptanya.

Pujangga besar dan tokoh iman Katolik, Santo Fransiskus Asisi, dalam karyanya yang berjudul “Gita Alam Ciptaan” menuliskan, terpujilah Engkau ya Tuhan atas saudari kami maut. Kepadanya tidak ada yang dapat menghindar. Berbahagialah orang yang meninggal dalam hukum kasih-Mu sebab kematian kedua tidak akan menjemputnya. Karya sastra sekaligus doa tersebut rupanya mendarah daging dalam diri Romo Mangun.

Buku menurut Romo Mangun adalah medan pengejawantahan iman, karena itu jelas bahwa karya Romo Mangun membawa nilai kemanusiaan, menjadi sarana komunikasi yang berdasarkan pada hati nurani. Seperti semasa dia hidup dan menderita bersama warga di Kali Code (1980-1986), Waduk Kedungombo (1986-1994), di Grigak Gunung Kidul, dan aksi lainnya. Dalam buku, karya kasih dan kabar gembira tersiarkan. Dan rupanya, hal inilah yang dominan dalam bukunya, entah itu seri pendidikan, novel, arsitektur maupun catatan politik. Mungkin, bagi penikmat karya Romo Mangun dapat menyebut buku-bukunya selalulah sastra, bisa sastra-arsitektur, sastra-politik, sastra-pendidikan, atau sastra-religiositas.

Buku-buku yang ditulis Romo Mangun diantaranya, novel “Balada Becak” (1985), novel “Balada Dara-dara Mendut” (1993), novel “Burung-Burung Rantau” (1992), novel “Burung-Burung Manyar” (1981), “Di bawah Bayang-Bayang Adikuasa” (1987), novel “Durga Umayi” (1985), “Esei-esei Orang Republik” (1987), buku arsitektur “Física Bangunan” (1980), “Gereja Diaspora” (1999), “Gerundelan Orang Republik” (1995), novel “Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa” (1983), “Impian dari Yogyakarta” (2003), “Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta” (2000), “Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan” (1999), “Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia” (1999), “Menjadi generasi pasca-Indonesia” (1999), “Menuju Indonesia Serba Baru” (1998), “Menuju Republik Indonesia Serikat” (1998), “Merintis RI Yang Manusiawi” (1999), “Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein” (1999), novel “Pohon-Pohon Sesawi” (1999), “Puntung-Puntung Roro Mendut” (1978), “Ragawidya” (1986), novel “Romo Rahadi” (1981, terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya), novel trilogi “Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri” (1983-1987), kumpulan cerpen “Rumah Bambu” (2000), kumpulan esai “Sastra dan Religiositas” (1982), “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” (1999), “Soeharto dalam Cerpen Indonesia” (2001), “Tentara dan Kaum Bersenjata” (1999), buku arsitektur “Wastu Citra” (1988). Buku-buku itu belum termasuk buku-buku tentang Romo Mangun yang ditulis oleh orang lain. Juga, tidak termasuk buku-buku yang mengkritik pemikiran Romo Mangun.

Dalam bukunya, kedekatan Romo Mangun terhadap masyarakat miskin tidak dapat dipungkiri. Buku Romo Mangun adalah karya humanisme, maka tidak mungkin bila nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam hati nurani tidak menjadi sumber inspirasinya. Ketulusan hati Romo Mangun untuk terlibat aktif membangun peradaban yang lebih humanis di tengah masyarakat miskin amat nyata. Romo Mangun mengubah keyakinan wacana paradigmatik dalam Konsili Vatican II yang mengatakan “preferential option for the poor” menjadi “preferential option with the poor”. Jelaslah, masyarakat miskin bukanlah obyek pembangunan, melainkan subyek kehidupan yang membutuhkan harga diri.

Pun halnya, soal solidaritas dan persaudaraan sejati, tidak dapat dihindarkan ketika kita berbincang tentang Romo Mangun. Persaudaraannya dengan Gus Dur, Ibu Gedong Bagoes Oka dan tokoh-tokoh agama lainnya menjadi miniatur Indonesia yang ingin kita tuju. Bahkan, kepergiannya dari dunia ini di pelukan Kang Sobary adalah titik final yang mencerminkan apa yang dia cari dan perjuangkan seumur hidupnya.

Buku-buku Romo Mangun masih relevan hingga sekarang ini. Bahkan mungkin, kesederhanaan dan kejujuran dalam tulisan-tulisan Romo Mangun justru mengembalikan masyarakat pelajar pada arah pembelajaran yang sebenarnya. Erwinthon P Napitupulu, kolektor dan pengarsip karya-karya arsitektur Romo Mangun, dalam simposium membedah sosok Romo Mangun di Bandung, 3 Mei 2003, mengatakan, buku arsitektur Romo Mangun menjernihkan pembelajar arsitek bahwa bangunan yang bagus tidak harus berbahan impor. Sebaliknya, bangunan yang bagus adalah yang terbuka bagi semua kalangan, baik itu umat beragama lain, masyarakat miskin atau kaya.

Romo Mangun tidak pernah membatasi diri hanya karena dia seorang Pastor Katolik. Dia justru mempraktikkan religiusitas dengan berkurban dan menjadi suci di lapangan, di kekumuhan, dan di lumpur-lumpur. Romo Mangun menghayati keimanan dalam bahasa sehari-hari yang lintas agama, lintas suku, dan betul-betul universal untuk kemanusiaan. Fungsi kenabian dipraktikkan dalam masyarakat dan tidak dalam lingkup yang sempit. Buku-bukunya banyak mencerminkan soal itu. Betapa pesan Bapa Suci “berbicara dari hati” amat nyata dalam hidup dan karya Romo Mangun.

Dewa Gde Satrya, Dosen School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

1 COMMENT

  1. Berbicara dari Hati Melalui Buku – itulah semangat yang terus dikobarkan Romo Mangun hingga akhir hayat; semoga makin banyak pribadi-pribadi yang mencintai ‘buku’ dan menjadikannya cermin perjalanan hidupnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here