Ketua Lembaga Biblika Indonesia, Romo Albertus Purnomo, OFM: Menjadi Pelayan

343
Romo Albertus Purnomo, OFM
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 5 November 2023 Minggu Biasa XXXI Mal.1:14b-2:2b, 8-10; Mzm.131:1,2,3; 1Tes.2:7b-9, 13; Mat.23:1-12.

ORIGENES dari Aleksandria (185-254 M), seorang guru dan cendekiawan Kristen di periode awal Gereja, mengingatkan para pengajar dan pemimpin gereja untuk menyadari bahwa mereka pada dasarnya adalah “murid” dan “pelayan” yang duduk di bawah kaki Tuhan dan Guru mereka, yaitu Tuhan Yesus Kristus: “Kamu mempunyai satu guru dan kamu semua adalah saudara satu sama lain… Barangsiapa melayani dengan Sabda Ilahi, janganlah ia menganggap dirinya sendiri sebagai guru, karena ia tahu, bahwa ketika ia menjalankannya dengan baik, Kristuslah yang ada di dalam dirinya.

Ia hanya boleh menyebut dirinya pelayan sesuai dengan perintah Kristus, yang mengatakan, “Siapa saja yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan semua orang.” Kata-kata Origenes ini tampaknya terinspirasi oleh perkataan Yesus ketika mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi dalam Injil Matius (23:1-12).

Mengapa Yesus mengecam para pemimpin agama Yahudi tersebut di hadapan para murid-murid-Nya? Tampaknya Dia ingin memperingatkan para murid-Nya akan godaan terbesar para pemimpin agama, yaitu kemunafikan dan obsesi untuk mencari penghormatan untuk dirinya sendiri dan bukan kepada Allah. Dengan predikat “menduduki kursi Musa” para pemimpin agama Yahudi tersebut sebenarnya sudah terhormat dan memiliki otoritas tertinggi dalam mengajar dan memimpin.

Sayangnya, mereka itu munafik. Mereka memaksakan hukum Taurat kepada orang lain, yang statusnya lebih rendah daripadanya, tetapi mereka tidak menerapkannya untuk dirinya sendiri. Mereka mengajarkan Sabda Allah dalam Kitab Suci, tetapi tidak melakukannya. Mereka melakukan berbagai aktivitas keagamaan, seperti memakai pakaian keagamaan yang lengkap, duduk terdepan di rumah Ibadat, tetapi motivasinya bukan untuk menyembah Allah, tetapi supaya kelihatan orang saleh di mata umat sehingga orang menghormatinya.

Intinya, mereka hanya ingin dihormati dengan berkedok gelar keagamaan seperti panggilan “Rabi”, “Pemimpin”, dan “Bapa”. Keinginan untuk dihormati adalah benih dari kesombongan. Dan kesombongan selalu menggoda siapa saja yang ingin menempatkan diri sendiri di atas orang lain dan diakui lebih besar daripada yang lain.

Yesus lantas menawarkan ajaran baru, bahwa para pemimpin, alias yang terbesar di antara yang lain, hendaknya menjadi pelayan. Untuk itu, mereka harus memiliki sikap dan tindakan yang berakar pada kerendahan hati. Butuh perjuangan untuk sampai pada titik ini lantaran kerendahan hati itu adalah musuh dari sikap egois, yang lebih mudah menguasai diri seseorang.

Apa itu kerendahan hati? Kerendahan hati berbeda dengan sikap rendah diri yang berarti memandang diri sendiri buruk dan hina atau lebih rendah (inferior) daripada orang lain. Kerendahan hati yang sejati justru membebaskan kita dari sifat rendah diri sekaligus egois. Rendah diri justru cenderung membuat orang lebih ingin memusatkan perhatian kita pada dirinya sendiri. Rendah diri inilah yang kerap membuat orang terobsesi dengan penghormatan dari orang lain. Mungkin saja, para ahli Taurat dan orang Farisi yang dikritik Yesus mengalami sindrom rendah diri.

Orang yang rendah hati sebaliknya membuat penilaian yang realistis terhadap diri sendiri tanpa berpura-pura untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Ia memandang dirinya tidak lebih kecil atau lebih besar dari yang sebenarnya. Kerendahan hati membebaskan kita untuk menjadi diri kita sendiri sebagaimana Allah memandang kita dan untuk menghindari jatuh ke dalam keputusasaan dan kesombongan. Orang yang rendah hati tidak ingin memakai topeng atau berpura-pura agar terlihat baik di hadapan orang lain.

Sebagai ‘ratu’ dari seluruh keutamaan Kristiani, kerendahan hati memampukan orang untuk melihat dan menilai dengan benar, mengarahkan energi, semangat, dan kehendak untuk memberikan diri kepada sesuatu yang lebih besar, yaitu Allah maupun kebaikan bersama. Kerendahan hati membebaskan kita untuk mengasihi secara penuh dan melayani orang lain dengan sukarela dan tanpa pamrih.

“Kerendahan hati yang sejati justru membebaskan kita dari sifat rendah diri sekaligus egois.”

Majalah HIDUP, Edisi No. 45, Tahun Ke-77, Minggu, 5 Oktober 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here