GERUNDELAN ORANG REPUBLIK, GERUNDELAN ORANG KATOLIK?

221
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Gerundelan itu kata Jawa. Artinya menggerutu. Orang Jakarta bilang ngedumel. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) menambah nuansa kata menggerundel itu, yaitu : bersungut-sungut berkepanjangan karena niatnya tidak tercapai.

Romo Y.B. Mangunwijaya, akrab disapa Romo Mangun, pernah meluncurkan buku yang diberi judul “Gerundelan Orang Republik”. Buku itu merupakan kumpulan esai Romo Mangun yang pernah dimuat di berbagai media massa, seperti harian Kompas, Indonesia Raya, Suara Karya, Jawa Pos, Majalah Mingguan Tempo, dari tahun 1972 sampai tahun 1995.

Seperti Romo Mangun, sekarang ini banyak orang lagi menggerundel. Lebih dari itu, banyak yang sungguh marah, sedih, kecewa, geram, jengkel, galau, merasa kecolongan, tidak mengerti kenapa ini mesti terjadi. Tokoh sebesar dan setegar Goenawan Mohamad saja, sampai berlinang air mata menahan kepedihan itu. Banyak yang ngedumel. Tak terbilang lagi yang menggerundel. Mereka kecewa berat. Amat sangat kecewa. “Lebih kecewa dibanding ketika diputus pacar”, kata para netizen. Maklum, sang idola lagi memperagakan “jurus dewa mabuk” yang membuat keliyengan. Maklum, sang junjungan lagi bikin kejutan yang tak masuk akal, yang melawan nalar, yang tak bisa dimengerti, menerabas kepatutan, yang bikin patah hati.

Sebulan terakhir ini, gerundelan itu begitu deras melukai. Medsos kita dipenuhi opini dan narasi yang hilir mudik silih berganti. Mana yang asli sudah tak ketahuan lagi. Maklum sudah diforward berkali-kali. Makin menyedihkan, pengamat dan pakar survey Yunarto Wijaya sampai ngumpet, pamit tiarap tak bisa lagi hadir di media.

Apa saja isi gerundelan itu ? Menurut Megawati Soekarnoputri, akhir-akhir ini manipulasi hukum kembali terjadi. Itu semua akibat praktik kekuasaan yang telah mengabaikan kebenaran hakiki, yang tak lagi melakukan politik atas dasar nurani.

Ada sinyal kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilawan dalam gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998, sekarang ini sudah berada di depan mata. Instrumen demokrasi konstitusional diakali, agar nafsu politik bisa dieksekusi. Romo Franz Magnis-Suseno, SJ “merangkum” gerundelan orang-orang sekarang ini: kemiskinan bertambah, penguasa tanpa malu membangun dinasti politik keluarga, pengadilan yang tidak independen, hingga korupsi yang merajalela.

Pastor Franz Magnis-Suseno, SJ, Guru Besar Emeritus SFT Driyarkara

Mencermati carut marut menjelang Pemilu ini, saya jadi ingat pandangan Romo Mangun tentang politik. Menurut Romo Mangun, ada dua jenis politik. Pertama adalah politik kekuasaan yang tentunya bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Sementara yang kedua adalah politik moral, yakni politik demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak. Politik moral disebut sebagai politik yang otentik dibandingkan politik kekuasaan yang sering salah kaprah dan dianggap masyarakat sebagai politik yang kotor. Romo Mangun menambahkan bahwa setiap hari setiap manusia selalu berpolitik. Bukan tanpa sebab karena politik secara etimologis berasal dari kata polis dan thoikos yang memiliki arti sebagai masyarakat yang berpikir.

Gerundelan orang-orang Republik – dan juga orang Katolik – akhir-akhir ini terjadi karena kita menyaksikan kembali pertarungan antara politik moral dan politik kekuasaan. Ketika politik kekuasaan tampil dengan wajahnya yang garang, maka kata etika (bukan etiket), etis, melanggar moral, nrabas tatanan moral, moralitas, hati nurani dan sebutan-sebutan seputar itu jadi marak disebut di mana-mana dan oleh siapapun. Dalam pertarungan semacam itu, kaum moralis selalu mengedepankan nilai, moral, konstitusi, penegakan hukum.

Kaum moralis menjaga kekuasaan bekerja berdasarkan konstitusi, berdasarkan hukum, berdasarkan kepatutan, kepantasan, dan etika keindonesiaan. Sementara politik kekuasaan berkutat pada hasrat berkuasa selama-lamanya. Kekuasaan untuk kekuasaan. Dan segala cara akan dipakai untuk mempertahankan kekuasaan sepanjang dia bisa, sebagaimana pernah didalilkan Machiavelli, filsuf Itali abad ke-15. “Perang” antara politik moral dengan politik kekuasaan seakan-akan menjadi pertempuran abadi. Seperti Pandawa lawan Astina. Politik moral dan politik kekuasaan, jangan-jangan memang ditakdirkan tak pernah bisa bertemu.

Romo Y.B. Mangunwijaya bersama anak-anak Kali Code, Yogyakarta. (Foto. Dok HIDUP)

Politik moral inilah yang sejatinya dihidupi oleh Romo Mangun sebagai penggerak perjuangannya di tengah mereka yang terpinggirkan oleh sistem. Barangkali penghayatan politik ini didapat dari Sutan Sjahrir yang menjadi idolanya. Maka, tak bisa dipungkiri bahwa aksinya yang bersinggungan pertama kali dengan pemerintah terjadi pada tahun 1966. Bersama dengan 21 pastor lain di DIY, Romo Mangun tahun 1966 itu pernah melakukan protes terhadap pembangunan yang tidak memihak rakyat kecil. Dengan protes yang melibatkan rekan-rekan imam Keuskupan Agung Semarang itu, Romo Mangun ingin mempraktikkan panggilan politik moral, yaitu upaya nyata membela kepentingan dan kesejahteraan orang banyak terutama mereka yang terpinggirkan.

Keberpihakan Romo Mangun pada mereka yang terpinggirkan juga dilakukan dalam kurun waktu 1980-1986. Romo Mangun hadir, datang, dan tinggal di tengah warga Kali Code yang hendak digusur. Ia bahkan sempat mengancam akan melakukan mogok makan, kalau sampai orang-orang miskin di Kali Code itu digusur. Pada tahun 1987 di Grigak, Gunung Kidul, bersama penduduk setempat Romo Mangun melakukan macam-macam upaya untuk membuat penampungan air bersih. Pada tahun 1986-1994, Romo Mangun turut mendampingi para warga korban pembangunan waduk Kedung Ombo di Boyolali Jawa Tengah.

Emopat hari menjelang Pemilu, tepatnya pada hari Sabtu 10 Februari 2024, kita akan memperingati tepat 25 tahun Romo Mangun dipanggil Tuhan. Sejarah telah dan akan terus mencatat kebesaran seorang Mangunwijaya. Ia manusia dengan seribu julukan : arsitek, budayawan, sastrawan, penulis, novelis, pastor desa, guru, pendidik, pendekar Kali Code, pembela orang kecil, malaikat, sang burung manyar, nabi zaman ini, pastor Katolik, katekis besar, tempat anak-anak yang tergusur mengadu.

Karena hidup dan karya Romo Mangun begitu hebat, maka Romo Mangun diakui bangsa Indonesia sebagai guru bangsa, guru kemanusiaan, dan guru hidup. Ini julukan dan pengakuan yang bukan main dan bukan main-main. Julukan yang diberikan kepadanya, sudah cukup untuk menyusun sebuah doa litani. Julukan yang tak mungkin ditandingi.

Kiranya, menjelang haul 25 tahun wafat Romo Mangun ini, kita diingatkan oleh guru bangsa, guru kemanusiaan dan guru hidup ini untuk tidak perlu berlama-lama terlena dalam gerundelan. Mari, segeralah bertindak.

Itu yang kita teladani dari Romo Mangun. Sama seperti ketika sehabis kerusuhan Mei 98, Romo Mangun mengajak umat Katolik yang ketakutan setelah banyak yang menjadi korban penjarahan dan perkosaan, untuk bilang tidak pada ketakutan dan mengatakan muak pada kekerasan. Seakan seperti Yesus berkotbah di bukit, Romo Mangun mengajak umat untuk bertemu di Istora Senayan pada 6 September 1998, berdoa bagi para korban dan berdiri tegak melawan kekerasan rejim waktu itu.

Dalam memperjuangkan politik moral bukannya politik kekuasaan, Romo Mangun suka sekali mengajak orang-orang muda. Saya pernah mendengar sendiri dari mulutnya, menjelang peristiwa Kudatuli tahun 1996, Romo Mangun mengatakan salut dan senang dengan anak-anak muda yang mendirikan PRD (Partai Rakyat Demokratik). Jaman itu, mendirikan partai yang tegas-tegas beroposisi dengan pemerintahan pak Harto, adalah keberanian yang sungguh luar biasa. PRD punya nyali. Oleh Romo Mangun, buku “Gerundelan Orang Republik” pun didedikasikan terutama bagi generasi muda. Romo Mangun ingin mengungkapkan simpati dan kepercayaan kepada orang-orang muda Indonesia.

Dari pelbagai tulisannya dalam buku “Gerundelan Orang Republik” itu, Romo Mangun mengajak kita untuk mempertanyakan kembali esensi kemerdekaan yang terdalam, yaitu arti ‘merdeka’ bagi rakyat. Sudah saatnya semua komponen bangsa yang berkehendak baik untuk bergandeng tangan, agar Pemilu mendatang menjadi momentum mendapatkan pemimpin terbaik, yang bisa menginspirasi dan memberi arti kemerdekaan itu.

Sesudah empet menyaksikan drakor dan gerundelan rakyat akhir-akhir ini, dalam pidato politiknya Megawati menyerukan: “Jangan lupa terus kawal demokrasi berdasarkan nurani. Jangan takut untuk bersuara. Jangan takut untuk berpendapat, selama segala sesuatunya tetap berakar pada kehendak hati rakyat”. Seruan ini, pernah dijalani Romo Mangun dengan sangat baik.

Menjelang Pemilu, suasana makin panas. Politik kekuasaan sedang mengeluarkan tajinya. Intrik-intrik menjijikkan sedang dipertontonkan. Tahun 1998, di awal reformasi dulu, Romo Mangun dengan lantang menyerukan pada umat Katolik agar jangan takut menegakkan politik moral. “Kita mesti pro Kerajaan Allah. Bukan pro penguasa yang menindas.

Orang Katolik jangan pernah kongkalikong dengan Pilatus dan Herodes”. Seruan Romo Mangun 25 tahun lalu, rasanya masih menggema dan harus terus digemakan sekarang ini. Semoga pula nota pastoral KWI tentang Pemilu 2024 yang sedang kita tunggu, menyerukan hal yang sama dan menegaskan seruan Romo Mangun ini.

Kalau kita tidak segera menyingsingkan lengan baju menegakkan politik moral dan politik kemaslahatan bagi banyak orang ini, kita pasti cuma akan halu nyinyir dan cengeng. Kita sangat mengerti “suasana kebatinan” begitu banyak orang yang sekarang ini merasa ditinggalkan pemimpin yang sempat membuai mimpi kita.

Kita sangat mengerti saudara kita Pak Rudy dari Solo dan teman-temannya ramai-ramai menyanyikan lagunya Didi Kempot “Suket Teki”. Tapi mosok kita terus-terusan mengulang refrein kegalauan dan gerundelan lagu itu:Jebulé janjimu, jebulé sumpahmu, ra biso digugu. Wong salah ora gelem ngaku salah. Suwé-suwé sopo wongé sing betah. Mripatku uwis ngerti sak nyatané. Kowé sèlak golèk menangmu dhéwé. Tak tandur pari jebul thukulé malah suket teki .. Cukuplah!

Mari kita bangkit dan tegak berlari lagi.

A. Kunarwoko, pengamat sosial, tinggal di Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here