Bercermin pada Romo Mangun

56
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – MOMEN peringatan 25 tahun wafat Romo Y. B. Mangunwijaya atau Romo Mangun merupakan kesempatan yang baik untuk menghadirkan kembali semangat yang diusung almarhum semasa hidupnya. Lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929 sebagai sulung dari 12 bersaudara dari pasutri Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdaniah, Romo Mangun adalah salah satu tokoh sekaligus rohaniwan Katolik yang tak tergantikan dari panggung nasional bahkan internasional. Ia seorang pribadi multidimensi. Ia dikenal luas sebagai seorang teolog modern, arsitek, sastrawan-budayawan, pemikir politik dan pendidikan, pegiat sosial, lingkungan hidup, dan lain-lain.

Sebagai seorang teolog (baca: rohaniwan), baginya religiositas jauh lebih esensial-substansial daripada keberagamaan yang terpaku pada formalitas-ritual. Religiositas melampaui sekat-sekat agama-agama. Religiositas menempatkan manusia sebagai makhluk/ciptaan Allah yang bermartabat dan harus diperjuangkan untuk memperoleh keadilan sebagaimana mestinya, terlepas dari apapun agamanya (termasuk yang tidak/belum beragama). Perspektif teologi harus membebaskan manusia dari segala bentuk keterkungkungan.

Karyanya di bidang sosial tak terbilang luasnya. Mulai dari mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang tinggal di bantaran Kali Code di Yoygkarta, korban-korban pembangunan Waduk Kedungombo, hingga menyuarakan tindakan ketidakadilan yang mencekik kaum tertindas, terpinggirkan, termajinalkan pada masa Orde Baru, pendampingan bagi masyarakat di Grikak Gunungkidul, keadilan bagi  rakyat Timor-Timor (masa sebelum referendum), mengartikulasikan pembebasan bagi kaum terpenjara (tapol) oleh rezim berkuasa dan lain-lain.

Pandangan kritis (baca: kenabian) Romo Mangun tak hanya menyangkut hal-hal di luar Gereja Katolik. Ke dalam Gereja sendiri, ia mengemukakan pandangan-padangan yang tak kalah pedas dan menukik juga. Gus Dur (KH Adburahman Wahid) berkata: “Inti dari pandangan-pandangan Romo Mangun, saya rasa adalah bahwa tindakan-tindakannya ditentukan oleh hati nurani dan oleh sikap kejiwaannya. Romo Mangun tampil secara utuh sebagai seorang yang menentang feodalisme, termasuk di dalamnya feodalisme Gereja. Posisinya sama dengan saya, yang sebagai seorang Islam menentang ‘feodalisme Masjid’. Jadi penentangan terhadap feodalisme mestilah dimulai dari penentangan terhadap feodalisme agama itu sendiri.”

Masih Gus Dur, ‘dengan membawakan agama dalam bentuknya yang formal, kita bisa terjebak kepada kerumitan-kerumitan dan kompleksitas yang sangat tinggi. Dan, inilah yang oleh Romo Mangun coba ditembus. Karena memang sangat sulit menjadi orang beragama, padahal menjadi orang yang baik secara konsisten saja berarti menjadi orang beragama yang baik. Sikap seperti inilah yang bagi saya sangat mengesankan dari Romo Mangun: suatu teologi yang paling konkret dari Romo Mangun.” Gus Dur memang salah satu teman dekat, punya kesamaan pandangan dalam banyak hal dengan Romo Mangun semasa hidupnya. Keduanya, bersama tokoh lain, runtang-rantung memperjuangkan banyak hal.

Sekali lagi, momen 25 tahun ini menjadi kesempatan yang sangat tepat untuk melihat gagasan, pemikiran, perbuatan-perbuatan konkret Romo Mangun dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, kesetaraan, kemanusiaan dan lain-lain di masa ini. Romo Mangun tak bisa diam berhadapan dengan pelbagai bentuk ketidakadilan yang mengancam kemanusiaan. Semangat inilah yang perlu dikobarkan oleh semua kalangan saat ini.

Majalah HIDUP, Edisi No. 07, Tahun Ke-78, Minggu, 18 Februari 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here