Menangkap Makna Pekan Suci dalam Inkulturasi

55
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – DALAM foto di halaman ini tampak para pemain Lurung Kamulyan ini mengenakan pakaian daerah Jawa. Maria diperankan Sabina Tisa, mengenakan kebaya berwarna biru dengan kerudung putih. Warna biru identik dengan warna Bunda Maria. Sementara para murid — tiga orang — mengenakan pakaian daerah pria, yang terdiri atas kain dan surjan bermotif. Mereka juga mengenakan tutup kepala yang disebut iket. Mereka tampil dalam pentas di halaman Gereja Santa Maria Assumpta Gamping Yogyakarta, pada perayaan Jumat Agung tahun 2023.

Lurung Kemulyaan adalah salah satu karya sendratari yang ditampilkan di Paroki Gamping, Keuskupan Agung Semarang, untuk lebih mendekatkan umat mengenangkan kembali Jalan Salib. Harapannya, umat dapat dengan lebih mudah menangkap esensi makna dari perayaan agung tersebut. Dan, apa yang dilakukan di Gamping tak lain dari salah satu potret dari pelbagai “atraksi” yang kurang lebih sama dapat kita lihat di paroki/stasi di Indonesia. Jamak ditemukan pada Minggu Palma ‘Yesus’ diarak dalam pelbagai bentuk budaya lokal. Pada Kamis Putih, ‘Yesus’ membasuh kaki murid-murid dari pelbagai kalangan (tidak lagi hanya laki-laki). Pada Jumat Agung, orang muda menyuguhkan drama penyaliban. Pada Hari Raya Paskah, khususnya Paskah untuk anak-anak, dibuat games yang lebih menyapa anak-anak.

Pertanyaan yang kerap muncul, sejauh mana “atraksi” dan “improvisasi” tersebut diizinkan dalam Liturgi Gereja? Apakah dramaturgi atau sendratari pada Jumat Agung misalnya, tidak menimbulkan rasa ngeri di kalangan umat, terutama anak-anak? Artinya, aspek kekerasan (baca: penyiksaan) dipertontonkan di depan publik? Dimensi apa yang perlu diperhatikan secara ketat  dalam Liturgi tersebut sehingga makna dari momen-momen puncak misteri iman dapat tersampaikan dengan baik? Sejauh mana aspek budaya lokal dapat diakomodasi dalam praktik Liturgi? Sekali lagi, tujuannya adalah agar momentum Pekan Suci dirayakan dengan sungguh-sungguh menyentuh dan menyajikan misteri iman Katolik. Harapannya, membawa pertobatan atau kebangkitan iman umat.

Memang, inkulturasi Liturgi dalam Gereja Katolik di Indonesia telah menjadi tema yang dinamis dibicarakan dari masa ke masa. Dalam lagu-lagu Gereja, Komisi Liturgi bekerja sama dengan PUSKAT terus melakukan lokakarya di pelbagai tempat (keuskupan) untuk memperkaya khasanah musik/lagu liturgi. Tidak bisa dihindari bahwa ada tegangan dalam proses ini. Proses bagaimana membumikan iman Katolik yang dibawa para misionaris dahulu tumbuh subur di tengah umat Indonesia yang beragam budaya dan tradisi.

Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika muncul diskusi, bahkan perdebatan serius, bagaimana mengakarkan Liturgi dalam budaya setempat dengan tetap mempertahankan esensi dari pesan yang ingin disampaikan kepada umat. Maka, di situ, perlu pemahaman teologis (baca: Kristologis) yang mumpuni agar semua upaya “atraksi” dan “improvisasi” tadi tetap pada koridor Liturgi.

Majalah HIDUP, Edisi No.12, Tahun Ke-78, Minggu, 24 Maret 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here