web page hit counter
Sabtu, 2 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Pangkal Pinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Hidup Berkeluarga sebagai Rencana Allah

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 6 Oktober 2024. Minggu Biasa XXVII. Kej.2:18-24; Mzm.128:1-2,3,4-6; Ibr.2:9-11; Mrk.10:2-16 (Mrk.10:2-12)

BACAAN Pertama (Kej. 2: 18-24) dan Injil hari ini (Mrk. 10: 2-16) memiliki kaitan tema yang erat satu sama lain. Keduanya mengajak kita untuk merenungkan hal yang amat penting, yaitu tentang rencana Allah bagi laki-laki dan perempuan, tentang keluarga.

“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2: 24). Dalam Injil, Yesus menegaskan kembali rencana awal Allah tersebut: “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” (Mrk. 10: 6-8).

Persekutuan Kasih

Merenungkan teks-teks tersebut, Paus Fransiskus pernah menyampaikan butir-butir refleksi berharga sebagai berikut (bdk. Amoris Laetitia):

Pertama, bahwa relasi suami dan istri, keluarga adalah sesuatu yang ‘kudus’, yang merupakan bagian dari rencana Allah Tritunggal. Paus Fransiskus mengatakan, bahwa “dalam pandangan Kristiani tentang Trinitas, Allah dikontemplasikan sebagai Bapa, Putera, dan Roh kasih. Allah Tritunggal merupakan persekutuan kasih dan keluarga adalah cerminannya yang hidup.

Santo Yohanes Paulus II menjelaskan hal itu ketika ia berkata, ‘Allah kita dalam misteri-Nya yang terdalam tidaklah sendiri, tetapi merupakan sebuah keluarga, karena di dalam diri-Nya sendiri terdapat sifat kebapakan, keputraan, dan hakikat keluarga, yaitu cinta kasih.

Baca Juga:  Pernas III Gerakan Laudato Si' Indonesia: Bangun Komunitas Basis Ekologis

Cinta kasih itu di dalam keluarga ilahi, adalah Roh Kudus. Oleh karena itu, keluarga bukannya tidak terhubung dengan hakikat ilahi” (AL 11). Santo Paulus juga melukiskan relasi antara suami dan istri sebagai gambaran dari misteri persatuan Kristus dan Gereja. “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef. 5: 32).

Kedua, hal yang menjadi perhatian Paus Fransiskus adalah corak relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam Kitab Kejadian dikisahkan tentang laki-laki, yang sangat ingin mencari ‘penolong yang sepadan baginya’ (bdk. Kej. 2: 18, 20), yang mampu mengusir kesendiriannya yang menggelisahkannya dan yang tidak dapat ditenangkan oleh kedekatan dengan binatang-binatang dan seluruh ciptaan lain. Istilah asli yang dipakai “menunjukkan kepada kita hubungan langsung, tatap muka, saling berhadapan – mata ke mata – dalam dialog diam, karena di dalam kasih, kesunyian berbicara lebih nyaring daripada kata-kata. Ini adalah perjumpaan dengan sebuah wajah, dengan seorang ‘engkau’ yang mencerminkan kasih Allah sendiri dan adalah ‘milik yang unggul, seorang penolong yang serasi untuknya dan tiang penyangga’ bagi seorang laki-laki, seperti dikatakan orang bijak dalam Kitab Suci (Sir. 36:24)” (AL 12).

Dalam pernikahan, relasi antara laki-laki dan perempuan mencapai tingkat yang lebih dalam. Baik kitab Kejadian maupun Injil Markus menegaskan, bahwa laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (bdk. Kej. 2:24; Mrk. 10: 6-8). “Kata ‘bersatu’atau ‘melekat’ dalam bahasa Ibrani asli memperlihatkan keserasian yang mendalam, kelekatan fisik dan batin, sampai pada taraf di mana kata itu dipakai untuk menggambarkan kesatuan dengan Allah: ‘Jiwaku melekat kepada-Mu’ (Mzm. 63:8).

Baca Juga:  Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus: Meletakkan Pondasi yang Kuat

Jadi persatuan perkawinan tidak hanya membangkitkan dimensi seksual atau pun badaniah, tapi juga pemberian diri sukarela dalam kasih. Akibat dari kesatuan ini adalah bahwa mereka berdua ‘menjadi satu daging’, secara fisik dan dalam kesatuan hati dan hidup mereka, dan akhirnya, dalam diri seorang anak, yang akan membawa serta dalam dirinya, baik secara genetik maupun spiritual, dua ‘daging’ tersebut” (AL 13).

Peran Penting Anak

Seperti sering diungkapkan dalam berbagai kesempatan, dalam Seruan Apostolik Amoris Laetitia Paus Fransiskus juga mengingatkan akan peran penting anak-anak. “Di dalam rumah di mana suami dan istri duduk di sekeliling meja, anak-anak mendampingi mereka ‘seperti tunas pohon zaitun’ (Mzm. 128:3), yakni penuh dengan energi dan vitalitas. Jika orang tua adalah bagaikan landasan rumah, anak-anak bagaikan ‘batu hidup’ dari keluarga tersebut” (AL 14).

Lebih jauh lagi, bacaan Injil hari ini berkisah tentang Yesus yang menampilkan anak-anak sebagai guru bagi orang dewasa, “karena kepercayaan dan spontanitas mereka yang sederhana terhadap orang lain” (AL18). “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Mrk. 10: 15).

Baca Juga:  GEREJA DI MUSIM DINGIN

Renungan menarik tentang hal ini kita temukan dalam homili Paus Fransiskus di Timor Leste baru-baru ini (10/9/2024). “Allah menjadi seorang anak, tidak hanya untuk membuat kita kagum …, tetapi juga untuk membuka bagi kita kasih Bapa, sedemikian rupa sehingga kita dapat membiarkan diri dibentuk oleh-Nya, agar Ia dapat menyembuhkan luka-luka kita … Lebih jauh lagi … memberi ruang bagi mereka yang kecil, anak-anak, menerima dan merawat mereka, menjadikan diri kita sendiri ‘kecil’ di hadapan Allah serta di hadapan satu sama lain adalah sikap-sikap yang membuat kita terbuka bagi tindakan Allah.

Dengan menjadi seperti anak-anak, kita mengijinkan Allah bertindak dalam diri kita. Maria memahami hal ini, sehingga ia memilih untuk tetap kecil dalam seluruh hidupnya, …, melayani, berdoa, memberi tempat bagi Yesus, kendati untuk itu ia harus banyak berkurban.

Saudara-saudari sekalian, marilah kita tidak takut membuat diri kecil di hadapan Allah dan di hadapan satu sama lain. Jangan takut kehilangan hidup, memberikan waktu kita, merevisi jadwal dan menyederhanakan rencana kita bila diperlukan, tidak untuk mengurangi kualitasnya melainkan justru untuk menjadikannya lebih indah melalui pemberian diri kita dan penerimaan oleh orang lain.

Paus Fransiskus berujar, “Allah menjadi seorang anak, tidak hanya untuk membuat kita kagum …, tetapi juga untuk membuka bagi kita kasih Bapa…”

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 40, Tahun Ke-78, Minggu, 6 Oktober 2024

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles