HIDUPKATOLIK.COM – MODERATOR Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia (SGPP KWI), Mgr. Valentinus Saeng, CP menyambut baik pengangkatan Suster Simona Brambilla, MC sebagai Prefek Dikasteri untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan. Ia bahkan menyebutnya sebagai satu terobosan luar biasa. Bagaimana keputusan Paus Fransiskus yang menjadikan biarawati asal Italia tersebut sebagai prefek perempuan pertama di Kuria Romawi memberi angin segar kepada Gereja Lokal? Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Mgr. Valentinus, yang juga Uskup Sanggau:
Apa tanggapan Monsinyur atas pengangkatan Suster Simona sebagai prefek atau ketua satu dikasteri di Vatikan?
Berita baik dari Vatikan dan satu terobosan luar biasa dari Paus Fransiskus. Sebuah sejarah ya untuk perempuan. Di satu sisi, kita mesti mengerti tentang cara kerja di Vatikan. Mungkin selama ini orang berpikir kok selalu laki-laki, kardinal. Memang profesionalitas dan kompetensi sangat ditekankan. Mereka yang bekerja di Vatikan sudah disiapkan sejak awal. Sudah diseleksi, dididik, dan dipilih dari berbagai macam keuskupan di dunia. Orang-orang terbaik. Jadi semacam ada jenjang karier. Jadi selama ini terkesan hanya untuk para imam, uskup, dan kardinal.
Di sisi lain, ini sesuatu yang luar biasa. Menunjukkan bahwa secara umum ada perkembangan yang sangat positif dalam kehidupan menggereja. Bukan hanya para imam, uskup, dan kardinal yang profesional dan kompeten melainkan juga umat secara keseluruhan. Kaum awam, terutama para biarawati. Ini salah satu bentuk apresiasi Paus Fransiskus untuk perkembangan umat Katolik dalam kehidupan menggereja.
Jadi pengangkatan tersebut sangat positif bagi kehidupan menggereja secara umum, terutama Dikasteri untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan. Tapi, jangan lupa, Suster Simona sudah disiapkan karena sebelumnya ia menjadi sekretaris Dikasteri tersebut.
Jadi Paus Fransiskus sudah melakukan terobosan secara perlahan-lahan?
Paus Fransiskus menghargai siapa saja. Yang terbaik dan memiliki hati, kompetensi, dan kepedulian terhadap kehidupan menggereja. Mereka direkrut tanpa memandang jenis kelamin. Ini sesuatu yang – mungkin dalam kacamata orang – sesuatu yang baru. Tapi, kalau kita lihat tradisi Gereja, Gereja selalu membuka ruang sejak para Paus sebelumnya. Selalu ada perempuan, mungkin dari level rendah.
Kalau Paus Fransiskus sudah mengambil (keputusan) ini, beliau sudah menyiapkannya sejak awal. Ini menunjukkan bahwa beliau memiliki satu misi yang sangat penting bagi Gereja, bahwa Gereja melibatkan semua pihak, tanpa ada dominasi. Entah laki-laki maupun perempuan, entah imam maupun biarawati, kalau mereka dapat memberi sumbangan terbaik untuk Gereja, beliau akan gunakan. Ini sesuatu yang sangat positif dan memiliki pesan penting sampai ke lingkup terendah di keuskupan, paroki, dan kring.
Saya rasa ini pesan penting untuk kita dalam rangka pemberdayaan perempuan. Sebuah pesan penting, mari kita semua terlibat tanpa memandang jenis kelamin tapi memiliki kepedulian dan kompetensi. Ketika kita menduduki suatu tempat, kita bukan hanya jadi penonton tapi memberi kontribusi. Ini perkembangan yang sangat positif bagi Gereja Katolik.
Artinya Paus Fransiskus sudah mempersiapkan terlebih dahulu, tidak serta merta mengangkat?
Benar. Seperti yang saya katakan tadi, sistem kerja di Vatikan yang sangat berjenjang tidak terlalu gampang bagi orang-orang yang tidak memiliki persiapan memadai. Selama ini pekerjaan di sebuah dikasteri, apa pun itu, diisi oleh orang-orang yang sejak dari seminari sudah disiapkan untuk memimpin Gereja. Sementara para biarawati lebih disiapkan untuk karya-karya tertentu sesuai spiritualitas ordo atau kongregasinya. Jadi, untuk masuk ke pejabat struktural Gerejawi tidak terlalu gampang bagi orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kepemimpinan Gerejawi.
Oleh karena itu, menurut saya Paus Fransiskus, dengan kebijaksanaannya dan kecerdasannya, tidak langsung memasukkan perempuan begitu saja sehingga menimbulkan kesan negatif. Beliau memasukkan mereka mulai dari jenjang yang rendah sesuai keahlian mereka, lalu masuk ke struktur kerja yang selama ini didominasi laki-laki. Sehingga rasa canggung itu perlahan-lahan hilang, seperti Suster Simona lewat kebersamaannya dengan para pejabat yang ada Dikasteri, yang mayoritas laki-laki.
Kehadiran perempuan di Vatikan meningkat sejak Paus Fransiskus memimpin. Mungkin terkait dengan Praedicate Evangelium. Lantas, seberapa penting peran perempuan dalam kepemimpinan Gereja di semua level?
Konstitusi Apostolik ini harus kita lihat dalam keseluruhan dokumen yang dikeluarkan Paus Fransiskus. Beliau menginginkan agar Gereja keluar dari dirinya sendiri untuk mewartakan Injil, Kabar Sukacita Yesus Kristus yang membawa berkat, kebaikan, pengharapan bagi umat manusia.
Kenyataannya, di banyak tempat, beliau mengritik bahwa kita terlalu terpusat pada institusi, ritual sehingga melupakan hakikat, esensi panggilan kita yaitu mewartakan Injil. Maka beliau menekankan bahwa panggilan untuk mewartakan Injil bukan hanya milik satu kelompok, yaitu kaum berjubah – para imam, uskup, biarawati. Semua harus terlibat. Beliau menggunakan kata praedicate, artinya kalian. Kita semua, umat Katolik, diundang untuk mewartakan Injil.
Artinya, termasuk perempuan. Dari pengalaman beliau sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Argentina, beliau pasti melihat bahwa mereka yang terlibat dan peduli dalam kehidupan menggereja adalah perempuan. Jumlah imam terbatas, maka garda terdepan dalam pewartaan Injil adalah perempuan.
Jadi, masuk akal kalau Paus Fransiskus ingin memberi ruang kepada mereka yang selama ini telah memberikan kontribusi sangat signifikan untuk perkembangan Gereja di seluruh dunia.
Kita bisa lihat di keuskupan-keuskupan, siapa yang menjadi penggerak? Perempuan. Mengapa kita tidak memberi ruang kepada mereka untuk menduduki jabatan-jabatan yang memungkinkan mereka untuk memberi hasil lebih baik? Menurut saya persentase yang meningkat dalam struktur organisasi Gerejawi itu sesuatu yang masuk akal. Ini penghargaan.
Lantas tantangan apa yang mungkin dihadapi perempuan mengingat budaya patriarki masih kuat?
Tantangan terbesar adalah bagaimana kita menyadari hakikat manusia sebagai makhluk yang setara. Di Gereja Katolik, tantangan dari segi teologis tidak ada karena menurut ajaran Gereja Katolik laki-laki dan perempuan diciptakan menurut citra Allah.
Tapi Gereja Katolik tidak berdiri sendiri. Keluarga berada dalam kerangka budaya. Gereja Katolik hidup dari keluarga-keluarga yang menghidupi budaya tertentu. Dengan kata lain, ini juga persoalan pendidikan. Maka persoalan terbesar, kalau kita mengkhawatirkan budaya patriarki berarti ada persoalan kultural yang harus diselesaikan. Tidak bisa diselesaikan oleh Gereja sendiri. Harus diselesaikan oleh pendidikan yang memberi ruang kesetaraan untuk semua jenis kelamin.
Tantangan kedua, profesionalitas dan kompetensi. Semua pihak, termasuk perempuan, harus mampu meyakinkan kepada siapa saja yang selama ini berpandangan negatif terhadap kemampuan mereka. Jangan lupa, kita juga berhadapan dengan cara pandang masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk lemah. Ini dalam semua level, bukan hanya agama. Ini tantangan tersendiri bagi perempuan. Mereka harus bisa menunjukkan bahwa mereka mampu.
Di Gereja Lokal ada biarawati yang menempati posisi di Kuria. Bagaimana peluang seperti ini ke depan?
Harus kita akui bahwa peran perempuan sudah maju. Di lingkup pemerintahan, ada mantan presiden perempuan. Di Gereja Katolik, banyak perempuan menduduki posisi di lingkup paroki dan sebagainya. Di lingkup keuskupan banyak berkaitan dengan kebijakan. Juga ada kerja sama dengan ordo dan kongregasi. Keuskupan berbeda dengan ordo dan kongregasi. Mempekerjakan orang yang berasal dari ordo dan kongregasi perlu negosiasi dengan pimpinan tarekat.
Saya merasa uskup-uskup di Indonesia tidak bersikap antipati terhadap perempuan untuk menduduki jabatan di Kuria. Hanya memang tergantung pada kesiapan dan ketersediaan tenaga serta kerja sama antara uskup dan tarekat, ordo, dan kongregasi. Kalau ada ordo dan kongregasi yang sudah menyiapkan tenaga profesional pasti akan digunakan. Uskup, ketika menentukan seseorang untuk menempati jabatan di Kuria, memiliki pertimbangan tertentu.
Suatu saat kalau tidak ada imam atau jumlah imam terbatas di sebuah keuskupan, bisa saja biarawati menduduki jabatan di Kuria. Kecuali hal-hal yang memang sudah digariskan oleh Hukum Kanonik, karena pedoman kerja kita Hukum Kanonik.
Bagaimana Monsinyur melihat isu gender di Indonesia?
Meskipun kita melangkah maju, masih ada cara berpikir lama. Budaya patriarki masih kuat terutama di lingkup lokal, tingkat kesukuan. Secara nasional, di beberapa tempat, sudah maju. Terutama di kota-kota di mana tingkat pendidikan lebih tinggi.
Sejak saya menjadi moderator SGPP KWI, saya – bersama anggota komisi – bergerak aktif. Selain mengadakan pelatihan, kami juga mengadakan seminar dan pemberdayaan di banyak keuskupan. Kami mendorong SGPP agar menjadi lembaga mandiri di keuskupan supaya mereka bisa bergerak membuat perencanaan tersendiri sebagai suara Gereja.
Di setiap kesempatan saya selalu mengatakan bahwa peran gender artinya peran seseorang berdasarkan jenis kelamin. Kami tidak bergerak di level feminisme, kami bergerak dalam kerangka spiritualitas Gerejawi. Maka, SGPP harus menjadi promotor gerakan pemberdayaan perempuan dan pemberantasan stunting, pencegahan perkawinan anak di bawah umur. Kami harus menjadi rekan kerja pemerintah dalam pemberantasan kemiskinan.
Tahun ini SGPP akan mengadakan Pertemuan Nasional untuk membuat rencana kerja yang lebih tersusun rapi dan berkelanjutan. Siapa pun yang akan menjabat sebagai moderator nanti, saya ingin meletakkan dasar-dasar. Membuat pedoman dan modul serta kerangka acuan. Sehingga ke depan SGPP dapat dilanjutkan dengan cara berkesinambungan, sistematis.
Dengan keterlibatan semakin banyak perempuan dalam kepemimpinan di semua level, Gereja Katolik di Indonesia akan seperti apa ke depan?
Gereja Katolik akan maju. Saya yakin itu. Harus kita akui bahwa yang menghidupkan Gereja Lokal di semua lini – dari pengalaman saya selama tiga tahun menjadi uskup – adalah perempuan. Kadang saya bergurau ketika melakukan kunjungan ke paroki-paroki, surga akan dipenuhi kaum perempuan. Karena mereka bergerak, memiliki kepedulian, bekerja dengan sukarela. Ini membuat stasi, paroki hidup. Jadi bukan hanya laki-laki, perempuan juga. Ruang bagi siapa saja untuk bekerja harus dibuka. Tidak ada jalan mundur, kita sudah melangkah maju.
Katharina Reny Lestari
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 04, Tahun Ke-79, Minggu, 26 Januari 2025