HIDUPKATOLIK.COM – Bagi Gereja Katolik Jerman, dapat dikatakan bahwa masa kepemimpinan Paus Fransiskus merupakan masa-masa sulit. Tentu saja bukan tanpa sebab. Pada awal kepemimpinannya, Gereja Katolik Jerman mengira akan dapat sejalan dengan kepemimpinan Fransiskus. Namun begitu terjadi sinode, hunbungan antara Paus Fransiskus dan Gereja Katolik Jerman menjadi semakin sulit.
Paus Fransiskus merasa asing dengan Gereja Katolik di Jerman. Namun, melalui reformasi-reformasinya, ia memberikan lebih banyak kebebasan kepada Gereja tersebut. Hubungan antara keduanya pun berlangsung dengan rumit.
Sebagai penerus Paus Benediktus XVI yang berasal dari Jerman, pria Argentina ini mengambil arah yang berbeda, lebih terbuka. Banyak umat Katolik di Jerman melihat hal ini sebagai pembukaan gereja yang telah lama mereka dambakan, yaitu lebih sedikit keterikatan pada tradisi, lebih fleksibel secara dogmatis dan lebih banyak partisipasi dari akar rumput gereja.
Namun, ketika para uskup dan awam Jerman memulai Sinode dengan merujuk pada arah baru ini dan mendorong reformasi internal gereja, Fransiskus justru menahan laju mereka dan mengecewakan banyak pihak. Ia tidak mengizinkan pentahbisan perempuan sebagai imam dan tetap mempertahankan larangan menikah bagi para imam. Secara tidak langsung, ia memperingatkan Konferensi Uskup Jerman agar tidak menjadikan proyek reformasi mereka sebagai dasar untuk membentuk gereja Protestan kedua.
Di Jerman, Ia Merasa Tidak Nyaman
Ambivalensi dalam hubungannya dengan Jerman sudah tampak sejak Jorge Mario Bergoglio menghabiskan beberapa bulan pada tahun 1986 di Sekolah Tinggi Jesuit Sankt Georgen di Frankfurt. Di sana ia melakukan studi pendahuluan untuk disertasi doktoral yang direncanakannya tentang teolog Jerman-Italia, Romano Guardini (1885–1968). Namun, Bergoglio merasa tidak nyaman di Jerman. Proyek tersebut pun tidak pernah diselesaikan. Ia tidak berhasil menyesuaikan diri dengan bahasa Jerman maupun dengan cara Jerman dalam berteologi. Namun demikian, ada satu lukisan Jerman yang sangat menyentuh hatinya: gambar Bunda Maria sebagai “Pengurai Simpul”, yang terdapat di Gereja Ziarah St. Peter am Perlach di Augsburg. Gambaran Maria sebagai pengurai simpul (baca: kekusutan dunia) ini kemudian dipopulerkannya di kawasan kumuh Buenos Aires dan berbagai wilayah di Amerika Latin.
Sebagai Paus, Fransiskus telah mengunjungi banyak negara, namun tidak pernah Jerman. Banyak spekulasi muncul mengenai alasannya. Hal ini menimbulkan kekecewaan, namun hubungan itu tidak pernah benar-benar terputus.
Fransiskus Selalu Mendampingi Kami secara Kritis
“Fransiskus selalu mendampingi kami secara kritis,” ujar Ketua Konferensi Wali Gereja Jerman, Georg Bätzing, pada hari Senin (21/4) kepada Kantor Berita Katolik Jerman. “Ia sangat memperhatikan apa yang menjadi isu di Jerman, bagaimana kami sebagai gereja ingin membentuk masa depan.” Uskup Bätzing menambahkan, “Saya selalu melihat diskusi kami sebagai perjuangan yang adil. Satu pihak menyampaikan posisinya, kami menyampaikan milik kami. Dan Paus membiarkan kami berjalan. Itu yang terpenting.”
Bahwa Paus hanya mengkritik para reformis Jerman namun tidak menghentikan mereka, menjadi bahan kecaman dari para kritikus konservatif. Beberapa Kardinal Kuria, serta beberapa uskup di Bayern dan Kardinal di Köln, berharap ia bertindak lebih tegas. Hingga kini masih menjadi misteri mengapa ia tidak menghadiri percakapan teologis besar antara para Kardinal Kuria Roma dan Uskup Jerman pada 18 November 2022 di Roma – padahal ia sudah menyatakan akan datang. Mungkin saat itu ia harus mengambil sikap, sesuatu yang dihindarinya sesuai dengan tradisi Jesuit.
Sebagian besar teolog dan pemuka Katolik Jerman di abad ke-21 tidak mencerminkan gambaran idealnya tentang “umat Allah yang kudus dan beriman”, yang ia pandang sebagai subjek sejati gereja. Orang Jerman, katanya suatu kali dalam konferensi pers menanggapi pertanyaan dari Kantor Berita Katolik Jerman, telah melupakan iman leluhur mereka. Kritis dan fokus pada pencapaian diri, lebih setia pada rasionalisme Kant daripada impian luhur Hölderlin, begitulah pandangannya. Menurutnya, mereka sedang berada di jalur metodologis yang keliru menuju reformasi, meskipun ia mengakui bahwa reformasi pada dasarnya memang dibutuhkan.
Bene Xavier dari Wina, Austria