web page hit counter
Jumat, 16 Mei 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Dua Fransiskus: Pembaruan dari Dalam

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – ADA duka yang merambat ke hati jutaan orang di seluruh dunia saat kabar wafatnya Paus Fransiskus tersebar pada 21 April 2025. Di balik kesedihan itu, terselip rasa syukur atas jejak seorang pemimpin yang setia mencintai dan melayani. Ia membangun Gereja bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai sahabat umat. Sampai akhir hidupnya, Paus Fransiskus memegang panggilannya — mencintai tanpa syarat, merangkul semua, dan memimpin dengan kelembutan. Ia pergi bukan sekadar sebagai tokoh besar, tapi sebagai murid sederhana yang setia membarui dari dalam. Seperti Fransiskus dari Assisi, ia memilih jalan sunyi: memperbaiki “rumah Tuhan” dari dalam Gereja yang ia cintai.

Satu Napas Pembaruan

Saat Jorge Mario Bergoglio menjadi Paus pada 2013 dan memilih nama Fransiskus, itu bukan sekadar pilihan nama. Ada makna dalam yang menjadi isyarat arah langkah Gereja. Nama itu ia petik dari Fransiskus dari Assisi, santo abad ke-13 yang dikenal karena kesederhanaannya, cintanya pada kaum papa, dan keberanian hidup apa adanya. Fransiskus dari Assisi hidup saat Gereja terjebak dalam kemewahan. Suara salib San Damiano memanggilnya: “Perbaikilah rumah-Ku.” Ia sadar yang rusak adalah semangat Gereja. Maka ia hidup sederhana, dekat dengan penderita, dan setia mewartakan Injil sebagai awam biasa.

Baca Juga:  SISWA TARAKANITA PEDULI SAMPAH DI HUT KE-218 KAJ

Delapan abad kemudian, seorang kardinal dari Buenos Aires, di tengah krisis Gereja, memilih nama yang sama: Fransiskus. Ia menjawab zaman dengan kesederhanaan: tinggal di Domus Santa Marta, menolak kemewahan, dan mengenakan jubah putih serta salib besi. Setiap gestur kecilnya mencerminkan cinta, bukan pencitraan. Ia menggambarkan Gereja sebagai “rumah sakit di medan perang” — tempat menyembuhkan, bukan menghakimi.

Panggilan yang Sama

Benang merah kisah dua Fransiskus adalah cinta pada kaum kecil dan yang terpinggirkan. Fransiskus dari Assisi tinggal bersama orang miskin; Fransiskus dari Roma menyebut dirinya pelayan “Gereja yang miskin untuk orang miskin.” Bagi mereka, kemiskinan bukan hanya soal materi, tapi keberpihakan—siapa yang disapa dan dibela.

Keduanya juga dikenal karena relasi spiritual yang mendalam dengan alam semesta. Fransiskus dari Assisi memanggil matahari, bulan, angin, air, api, dan tanah sebagai saudara dan saudari, bukan sekadar unsur alam, melainkan bagian dari keluarga ciptaan. Dalam Kidung Makhluk, ia memuji Tuhan melalui keindahan dan kesucian alam, mengajarkan bahwa seluruh semesta adalah kitab pujian. Delapan abad kemudian, Paus Fransiskus meneruskan warisan ini lewat Ensiklik Laudato Si’, yang menyerukan pertobatan ekologis global. Ia mengajak umat manusia untuk merawat bumi sebagai “rumah bersama” yang rapuh, menentang eksploitasi berlebihan, dan membangun etika cinta terhadap ciptaan sebagai bagian iman yang utuh.

Baca Juga:  LP3KD Sumsel Parsiapkan Pesparani dengan ToT

Di hadapan institusi Gereja yang besar, baik Fransiskus dari Assisi maupun Fransiskus dari Roma memilih jalan yang sama: pembaruan dari dalam. Mereka tidak membakar jembatan, tidak meninggalkan perahu. Mereka bertahan di dalam, dan justru dari dalam, mereka bekerja memperbaikinya. Paus Fransiskus tidak mengubah doktrin, tetapi menegaskan kembali mimpi Konsili Vatikan II — Gereja sebagai umat Allah, yang berjalan bersama dalam sinodalitas, dalam semangat kebersamaan.

Lebih dari itu, keduanya membuka ruang yang lebih luas bagi keterlibatan perempuan dan umat awam dalam hidup beriman. Di balik semua itu, dalam cara mereka berbicara, terlihat satu hal yang sama: kelembutan hati. Paus Fransiskus memimpin bukan hanya dengan logika, tetapi juga dengan apa yang disebut Max Scheler sebagai “nalar emosional” — kecerdasan hati yang mampu menyentuh, bukan sekadar mengajar.

Baca Juga:  Pentahbisan Uskup Timika: Perpaduan Iman dan Budaya dalam Prosesi Sakral

 Dua Jiwa, Satu Jalan

Dua Fransiskus. Dua zaman. Tapi satu jiwa yang menyala dalam semangat yang sama: mencintai tanpa syarat, membarui tanpa gaduh, dan berjalan bersama yang lemah tanpa pamrih. Di dunia yang semakin bising dan terpecah, mereka menunjukkan bahwa kekudusan bukan soal megahnya panggung, tapi keberanian untuk tetap lembut dan setia di jalan sunyi. Kini, keduanya telah pulang, menyatu dalam cahaya kekekalan. Tapi jejak mereka tinggal – mengajarkan kita bahwa “memperbaiki rumah Tuhan” dimulai dari hati, dan hanya bisa dikerjakan oleh mereka yang mencinta, dengan diam-diam, habis-habisan tanpa syarat.

Keduanya membuka ruang yang lebih luas bagi keterlibatan perempuan dan umat awam dalam hidup beriman.

Mateus Batubara, Biarawan Ordo Fratru Minorum (OFM)

 Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 19, Tahun Ke-79, Minggu, 11 Mei 2025

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles