web page hit counter
Jumat, 16 Mei 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Fransiskus dari Roma dan Fransiskus dari Assisi; Akankah Ada Paus Fransiskus II?

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN 2013, tidak lama setelah Kardinal Mario Jorge Bergoglio menjadi Paus dan memilih nama Fransiskus, Leonardo Boff, teolog Brasil, menulis buku Francis of Rome and Francis of Assisi: A New Springtime for the Church. Sub-judul itu menarik: Musim Semi baru bagi gereja. Apanya yang baru? Boff melukiskan apa yang sudah ada pada kedua tokoh dari zaman berbeda ini (abad ke-13, abad ke-20-21), sekaligus meneropong terobosan baru di masa depan. Kepakaran Boff dalam fransiskanologi, tidak usah diragukan. Seluruh teologinya diwarnai insight dasar Fransiskan.

Tahun 1979, terbit bukunya yang penting dalam teologi Fransiskan: Francis of Assisi. Model of An Emancipated Man (Orbis Books). Abad ke-21, Boff menulis buku tentang kedua Francis ini. Yang satu Francis of Assisi (Fransiskus dari Asisi) dan yang lain Francis of Rome (Fransiskus dari Roma). Apa yang diperbandingkan Boff di antara kedua tokoh itu? Ada tiga hal. Dua mendeskripsikan apa yang sudah ada. Satu mengantisipasi gerakan rohani di masa depan yang sudah dirintis Paus Yohanes Paulus II dengan Assisi-Movement tahun 1986.

Perhatian dan Cinta

Pertama, perhatian dan kecintaan akan bumi, akan ciptaan, dan segala makhluk. Melalui puisi kosmiknya yang terkenal itu, Kidung Saudara Matahari (Canticle of the Brother Sun, Canticum Solis), Fransiskus memperlakukan alam sebagai saudara dan saudari; bumi adalah ibu, ibu bumi. Intuisi ini, kata Eloi Leclerq, dikukuhkan Eric Doyle, adalah sebuah intuisi kosmik manusia. Dalam puisi kosmis Gita Sang Surya (sebutan lain untuk puisi yang sama) semua disebut dan diperlakukan sebagai saudara dan saudari.

Paus Fransiskus merangkul seorang migran selama kunjungan apostolik ke Malta

Tahun 2015, Fransiskus dari Roma (Paus) menerbitkan Ensiklik, Laudato Si. Ilham dasarnya, ditimba dari puisi kosmik Franskus dari Asisi. Melalui ensiklik ini, Fransiskus dari Roma menyerukan gerakan pertobatan ekologis sebagai conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi pemulihan harapan ekologis manusia. Judul Laudato Si itu diambil dari dua kata pertama puisi kosmik Fransiskus dari Asisi. Fransiskus dari Roma mendasarkan seruan dan gerakan etis-ekologisnya atas dasar insight ekologis Fransiskus Asisi.

Baca Juga:  Prediabetes: Bukan Sekadar Angka Gula yang Naik

Melalui Laudato Si, Fransikus dari Roma (Paus) memperjuangkan eko-teologi, agar bumi ini, bisa menjadi rumah tinggal bersama yang nyaman dan aman, sebagaimana diwartakan para eko-teolog seperti Thomas Berry (The Sacred Universe) maupun Stephen B. Sharper dan Hilary Cunningham (The Green Bible) itu, segala sesuatu harus serba green: God must be green. Ensiklik Laudato Si adalah salah satu The New Springtime for the Church itu yang dikatakan Boff.

Kaum Miskin dan Lemah

Kedua, cinta dan perhatian pada orang miskin, lemah dan tersingkir. Tentang hal ini saya mau lukiskan seperti ini. Dalam Film-nya, Brother Sun and Sister Moon (1972) yang fenomenal itu, Sutradara Italia, Franco Zeffirelli, mengawalinya dengan deskripsi yang sangat kuat tentang perjumpaan tragis-dramatis antara Fransiskus muda dan “kaum buruh” (budak, pekerja) yang kondisinya sangat buruk. Hal itu terjadi saat Fransiskus secara tidak sengaja menemukan jalan turun ke ruang-bawah tanah yang gelap dan pengap dan tidak sehat, tempat produksi kain-kain lenan dagangan bapanya.

Di sana di ruang bawah tanah yang kumuh dan sumpek itu, Fransiskus melihat wajah sangat nyata dari derita dan kepedihan kaum papa. Saat itulah ia sadar bahwa harta kekayaan ayahnya, Pietro Bernadone, ternyata “ditumpuk” di atas sengsara dan air mata kaum buruh di bawah tanah itu. Itulah yang kemudian mendorong dan menggerakkan Fransiskus muda, di hadapan Uskup Asisi, Guido, meninggalkan kekayaan bapanya dan memilih hidup miskin menurut injil (vita evangelica et vita apostolica). Ia berubah total.

Paus Fransiskus menyapa seorang migran muda selama kunjungannya ke Kamp Pengungsi Mytilene pada tahun 2021.

Akan halnya Fransiskus dari Roma, ia juga sejak masa mudanya sudah memilih untuk berpihak pada kaum miskin, lemah dan tersingkir. Dengan menimba ilham dari pemikiran Teologi Rakyat yang digagas oleh Lucio Gera dkk., yang secara metodologis berbeda dengan teologi pembebasan. Dengan bekal pemikiran Teologi of the People itu, Fransiskus dari Roma, sejak muda sudah memperjuangkan pemberdayaan (empowerment) orang-orang miskin dan kaum terpinggirkan. Karena itu, ia menekankan prinsip preferential option WITH (CUM) the poor (beda dengan option FOR (PRO) the poor dari teologi pembebasan).

Baca Juga:  LP3KD Sumsel Parsiapkan Pesparani dengan ToT

Tetapi menurut saya, kedua kata ini tidak usah dipertentangkan, sebab with (cum) ataupun for (pro) itu sama-sama dimaksudkan sebagai jalan untuk berjuang demi membela kaum lemah dan miskin. Yang satu memakai prinsip pemberdayaan yang mengandaikan ada “sesuatu” dalam diri orang miskin. Yang lain, lebih bersandar pada gagasan anawim (kaum miskin) Yahweh, yang harapannya hanya Tuhan, dan karena itu lebih bercorak biblis. Untuk mereka ini hanya for (pro) yang perlu sebagai modal awal. Barulah kemudian hal itu bisa dilanjutkan dengan with (cum) dan dengan itu mereka pun dilibatkan dalam proses penyadaran dan pembebasan itu.

Dialog AntarAgama

Ketiga, proses penerawangan masa depan, dan hal itu terkait dengan praksis dialog agama-agama. Saat buku Boff terbit tahun 2013, mungkin belum terpikirkan tentang Abu-Dhabi Movement itu. Tetapi, sebagai “Fransiskan” Boff tahu pasti bahwa Fransiskus Asisi menaruh perhatian besar pada hubungan dan dialog agama-agama khususnya dengan Islam. Paus Fransiskus (Fransiskus dari Roma), tahu dan sadar akan hal itu.

Tahun 2019, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Ashar Kairo (Mesir) menandatangani Perjanjian Abu-Dhabi, yang menandai dialog antara Kristiani dan Islam, kendati segala perbedaan dan sejarah yang menyakitkan dan memilukan. Tahun 2019 itu dipilih untuk mengenang (anamnesis) dan mengulang (mimesis) apa yang dulu dibuat Fransiskus dari Asisi tahun 1219, dalam Perang Salib IV.

Fransiskus ikut dalam Perang itu. Tetapi bukan untuk memerangi orang Islam, melainkan untuk mewartakan damai Injili: Berbahagialah yang membawa damai sebab mereka akan disebut anak-anak Allah (Mat 5:9). Fransiskus mewartakan damai itu kepada pasukan salib, tetapi gagal. Lalu ia menyeberang ke kubu musuh, suatu tindakan nekat.

Baca Juga:  Pentahbisan Uskup Timika: Perpaduan Iman dan Budaya dalam Prosesi Sakral
Paus Fransiskus pada saat penandatangan prasasti Terowongon Silaturahim di Kompleks Masjid Istiqlal. (Foto: Indonesia Papal Visit Committee)

Tentang hal ini ada banyak catatan historis, misalnya dari Jacques da Vitry, Ernoult (kronikus Perang Salib), dan catatan penyair Henri d’Avranches. Semua ini berasal dari luar Ordo. Dari ordo ada Thomas Celano, Bonaventura. Ada juga sumber Arab yang mencatat hal itu, yaitu Ibn-Al-Zayyat, yang mengutip kesaksian tasawuf di Istana Malik al-Kamil, Fakr-El-Din-Farzi.

Apa hasil aksi-gila Fransiskus ini? Bukan tobatnya orang Islam ataupun Sultan. Melainkan sebuah proses penyingkapan kesadaran (disclosure) agung: di tengah perang-senjata ada juga perang-wacana, hate-speech, saling menjelekkan antara Islam dan Kristen. Yang muncul ialah gambaran jelek, bukan imago Dei melainkan imago diaboli. Tetapi berkat aksi Fransiskus, akhirnya pihak Islam tahu bahwa ada orang Kristiani yang baik. Sebaliknya: melihat apa yang dialami Fransiskus di tengah kaum muslim, orang Kristen tahu bahwa ada orang Islam yang baik dan tulus hati.

Proses penyingkapan ini membawa pertobatan baru, nova conversio, dalam rupa cara baru melihat, menilai, dan memahami orang lain. Bahwa orang lain itu baik. Mereka bukan serigala, bukan anjing atau buaya (yang berlaku bukan homo homini canis, atau homo homini lupus, atau homo homini crocodilus, melainkan homo homini socius). Paus Fransikus mau mengulang momen perjumpaan itu sekarang ini dalam perjanjian Abu-Dhabi. Benar kata P.Giulio Basetti-Sani, OFM, Islamolog kondang Fransiskan bahwa “amor dat novos oculos”, cinta mengubah cara pandang kita.

 Abad ke-21, Boff menulis buku tentang kedua Francis ini. Yang satu Francis of Assisi (Fransiskus dari Asisi) dan yang lain Francis of Rome (Fransiskus dari Roma).

Dr. Fransiskus Borgias, Dosen Teologi pada Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles