HIDUPKATOLIK.COM – DALAM akta masa kepausannya, yang ditulis dalam bahasa Latin, kemudian diletakkan dalam gulungan kertas yang tersegel, dinyatakan bahwa Fransiskus menjalankan tugas penggembalaannya atas Gereja universal selama 12 tahun, 1 bulan dan 8 hari. Tentu masa tersebut dihitung sejak terpilih tanggal 13 Maret 2013, walaupun baru dikukuhkan di Hari Raya Santo Yosef, 19 Maret 2013, hingga wafatnya. Paus wafat di usia 88 tahun, 4 bulan dan 4 hari, dari 17 Desember 1936 hingga 21 April 2025.

Selama 12 tahun menjadi Paus, Fransiskus telah melakukan banyak perjalanan kunjungan apostolik. Menarik kalau mengingat bahwa dia memberi perhatian khusus kepada wilayah kawasan pinggiran atau tempat yang ditandai dengan adanya persoalan-persoalan sosial, misalnya pengungsi, konflik, kemiskinan dan ketidakadilan, serta daerah yang terdampak kerusakan lingkungan, kekerasan, kemiskinan ataupun luka sejarah akibat penyalahgunaan kekuasaan maupun cara bertindak pelayan Gereja yang menodai kepercayaan serta martabat panggilan yang diembannya. Kunjungan pertama yang dibuatnya adalah ke Lampedusa, tempat penampungan pengungsi di Italia Selatan, kunjungannya terakhir ke Belgia dan Luxemburg. Namun dia berkunjung pula ke daerah konflik, Afrika Selatan dan Irak.
Sebagaimana disinggung oleh Kardinal Giovanni Baptista Re, dekan dewan kardinal, dalam homili misa requiem Fransiskus, Paus tidak pernah ragu mengundang perhatian pada nasib dan kondisi pengungsi dan migran. Dia mengatakan bahwa mereka meninggalkan daerah asalnya karena adanya konflik, bahkan perang, ataupun kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam yang berlebihan. Namun sayangnya, negara-negara yang menikmati keuntungan atau memicu persoalan itu semua menuntut negara lain, yang miskin, menerima pengungsi tersebut, dan tidak mau menanggung konsekuensi dari kerusakan yang telah dibuatnya.

Gaza mendapat perhatian khusus, bahkan di saat terbaring di rumah sakit, Paus beberapa kali menelpon pastor paroki Gaza. Baginya apa yang terjadi di Gaza bukan lagi perang namun pembantaian. Membalas serangan pun harus tetap terukur dan terbatas, maka tidak bisa lalu mengorbankan mereka yang tidak bersalah, terlebih anak-anak dan mereka yang lemah. Setidaknya empat kali, pemerintah Israel menyatakan keberatan atas pernyataan dan pembelaan Paus pada Palestina. Malahan diberitakan, kementerian Luar Negeri Isral memerintahkan kedutaan-kedutaan besar Israel di berbagai negara untuk menghapus ucapan dukacita atas wafatnya Paus yang sudah terpasang di media sosial mereka.
Kita pun mendengar dia mengatakan bahwa perang terjadi karena memang perang itu dibuat. Malahan tidak jarang, negara-negara yang suka mengatakan mau mengupayakan perdamaian, nyatanya adalah negara yang ikut menyebabkan perang, demi keuntungan dari perdagangan senjata. Pernah memang, Vatikan mengungkapkan penelitian kalau dewasa ini anggaran belanja persenjataan cenderung meningkat. Kultur kekerasan tidak saja dipelihara namun berkembang. Ancaman akan pecahnya perang dunia III, baginya bukan sesuatu yang mustahil, kalau mengingat situasi perpecahan dan pertikaian yang terjadi dewasa ini. Bagi Paus semua itu tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya “budaya membuang”, suatu sikap yang lahir dari keinginan untuk lebih mengutakan kepentingan serta keuntungan diri atau kelompok sendiri. Mereka yang di luar diri atau kelompoknya, dan bahkan yang berbeda dengannya, bisa disingkirkan dan dibuang, karena dianggap sebagai penghambat dan bahkan musuh.
Tata sosial, ekonomi dan politik dunia saat ini memang dijalankan demi kepentingan sempit. Seakan pudar keinginan untuk mengupayakan kesejahteraan bersama, kepentingan umum. Malahan Paus sempat menyebut, demokrasi sedang mengalami krisis. Kita bisa melihat itu kalau kita menyimak apa yang ditulisnya dalam ensiklik Fraterlli Tutti, tentang persaudaraan sejati, maupun dokumen tentang persoalan lingkungan di rumah kita bersama ini, seperti dalam Laudato Sí, Laudate Deum maupun Querida Amazonia. Berulangkali Fransiskus membicarakan itu, akan tetapi tanggapan, apalagi kolaborasi untuk mengupayakan dunia kehidupan yang lebih baik, tidak berkembang dan meluas. Tidak mungkin orang selamat sendiri, maka kerjasama dan keterbukaan satu akan yang lain menjadi syarat mutlak bagi perkembangan sejati.

Ketika Paus Fransiskus wafat tidak sedikit orang, bahkan para tokoh politik dan pelaku ekonomi, mengakui seruan moral dan peran profetis darinya. Mereka yang tidak senantiasa sepakat dengan pandangan maupun sikapnya, ikut pula mengakui peran moral dari Paus, dan Gereja Katolik, yang dipimpinnya. Memang Paus tidak ragu mengungkapkan kegelisahan dan keprihatinannya akan situasi dunia. Hal tersebut terasa pula ketika dia berbicara tentang perkembangan teknologi kecerdasan buatan. Dia mengatakan itu pun secara langsung kepada pemimpin politik dan industriawan maupun pelaku bisnis dunia. Pribadi manusia haruslah yang menjadi titik pangkal pilihan sikap maupun kebijakan, jangan sampai ada yang terabaikan dari segala pertimbangan maupun keputusan sosial, ekonomi dan politik. Jangan sampai martabat dalam diri setiap pribadi manusia dikurbankan demi kemajuan segelintir orang atau demi perkembangan ilmu serta teknologi. Manusia lebih dari sekedar angka statistik.
Membangun jembatan, bukan mendirikan tembok pembatas, berulangkali Paus menyerukan ini. Perjumpaan dan dialog sering disuarakannya, bahkan diupayakannya. Deklarasi Abu Dhabi merupakan salah satu tonggak penting dalam upaya perjumpaan serta dialog tersebut. Kardinal Re menyebutkan langkah dan upaya tersebut, yang tidak saja melibatkan umat Muslim namun juga banyak pihak dari agama maupun kepercayaan lain. Dia saat misa menjelang jenasah Fransiskus dimakamkan, menyebutkan bagaimana Paus berulangkali mengadakan pertemuan, doa bersama bahkan menandatangani deklarasi bersama, yang melibatkan semua orang yang berkehendak baik dari kalangan maupun latar belakang mana pun juga.
Nama seakan menggambarkan program maupun ciri penggembalaan. Pilihan nama tersebut tidak bisa disangkal dipengaruhi oleh teladan, kesaksian maupun ajaran Fransiskus Asissi. Nama adalah pesan. Paus mengatakan bahwa Fransiskus Assisi adalah pribadi yang memeluk hidup miskin, memperjuangkan perdamaian, dan pribadi yang mencintai serta melindungi alam ciptaan. Nyatanya kita semua tidak memiliki relasi yang baik dengan alam ciptaan, demikian ungkapnya. Saya membayangkan sebuah Gereja yang miskin, Gereja bagi kaum miskin, Paus mengatakan itu. Memang baginya, di mana kerusakan lingkungan maupun konflik bahkan perang, kurban terutama adalah kaum miskin. Dari sini kita bisa melihat nama Fransiskus bukan sekedar sebagai nama, namun memuat pesan tetapi juga program. Pesan dan program yang termut di dalamnya adalah memandang dunia dan kehidupan dari kacamata serta sudut kehidupan orang miskin.
Paus: Gembala
Tidak sedikit orang yang memberi penggambaran bahwa Fransiskus menggembalakan Gereja bagaikan seorang pastor paroki. Memang pada dasarnya dia adalah pastor, gembala. Paus adalah seorang gembala bagi Gereja universal, maka memberi perhatian akan Gereja semesta dan pergolakan dunia. Pengalaman 21 tahun dalam pelayanan pastoral di Buenos Aires membentuk dirinya. Seorang imam pada dasarnya adalah gembala, demikian dia berulangkali menegaskan. Ada 68 negara yang telah dikunjunginya. Selama 12 tahun menjabat dia telah mengangkat 163 kardinal – 133 kardinal elektor dan 30 yang tidak punya hak memilih, dari 73 negara. Menarik bahwa dari antara mereka ada 23 kardinal dari negara yang praktis selama ini tidak pernah memiliki kardinal. Wajah Gereja dunia dihadirkan lewat pengangkat kardinal tersebut, selain lewat pilihan negara-negara yang dikunjunginya.

Gereja kawasan pinggiran memang mendapatkan perhatian khusus dari Paus. Perubahan datang dari pinggiran, bukan dari pusat, demikian diyakininya. Maka mereka yang miskin, tersingkir, kurban ketidakadilan dan kerusakan lingkungan, malahan kaum lansia serta anak-anak dan kaum muda yang biasa kurang didengarkan dan diperhatikan disapanya. Malahan selama perjalanan sinodalitas, dia meminta agar mereka yang biasanya cenderung kurang didengarkan diberi tempat khusus untuk menyatakan pandangan serta keterlibatannya. Janganlah mereka itu hanya dipandang pelengkap saja dalam perjalanan hidup menggereja.
Fransiskus sudah mengundangkan 5 kali sinode Uskup, yang berbicara tentang kaum muda, keluarga (sampai 2 kali sinode), sinode khusus kawasan Amazon, dan tentu saja dua kali sinode tentang sinodalitas, Sinode tentang sinodalitas ini tidak terbatas hanya pada para Uskup, bahkan mengundang pula imam, religius dan bahkan awam, dengan hak suara pula pada pertemuan sinode tersebut. Ada dokumen paska sinode yang dihasilkannya: Evangelii Gaudium, Amoris Laetitia, Christus Vivit dan Querida Amazonia.
Ada berbagai dokumen kepausan yang lain. Pertama adalah ensiklik yang lebih berupa pengajaran Paus akan suatu hal tertentu. Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Lumen Fidei, Laudato Si, Fratelli Tutti dan yang terakhir Dilexit Nos. Ada juga seruan apostolik yang bukan buah dari sinode seperti Gaudete et Exsultate, Laudate Deum, serta C’est La Confiance. Paus juga mengeluarkan konstitusi apostolis, antara lain Vultum Dei Querere, Veritatis Gaudium, Episcopalis Communio, dan Praedicate Evangelium. Ada pula bulla penetapan tahun Yubileum 2025, Misericordiae Vultus dan Spes non Confundit, untuk yubileum 2025. Selain itu semua ada surat apostolik seperti Desiderio Desideravi, Totum Amoris, Traditiones Custodes, Patris Corde, Scripturae Sacrae Affectus, Antiquum Ministerium, Aperuit Illis, Admirabile Signum, Vos Estis Lux Mundi, dan banyak lain lagi, antara lain terkait dengan berbagai penyesuaian dalam hukum maupun katekismus.
Dokumen pengajaran Paus dikatakan Kardinal Re dalam homilinya sebagai pengajaran yang sangat kaya, suatu kesaksian akan ciri dan bentuk yang sederhana, bijaksana, dilandaskan pada keterbukaan misioner, keberanian apostolik serta belaskasihan, tanpa terperangkap dalam tendensi keberpusatan diri dan kerohanian duniawi dalam tubuh Gereja. Dokumen pertama adalah Lumen Fidei (2013), yang ditulis bersama Paus Benediktus XVI, sedangkan dokumen terakhir adalah Dilexit Nos (2024), tentang hati kudus Yesus. Dokumen terakhir ini disebut mengandung rangkuman dan inti dari pengajaran sekaligus penggembaan Fransiskus. Kalau kita menyimak dari keseluruhan dokumen pengajarannya bisa kita simpulkan, penggembalaan Paus Fransiskus diawali dengan iman dan menuntun pula muaranya, yaitu hati Yesus. Memang iman kita bersumber pada hati-Nya yang tertikam dengan tombak, dan mengalirkan sumber keselamatan kasih. Fransiskus dengan demikian membawa kita berpangkal pada iman untuk dapat menghidupi kasih
Akhir Perjalanan
Paus Fransiskus telah mengakhiri perjalanannya. Memang dalam biografinya, dia mengatakan hanya mengayunkan satu langkah kaki, akan tetapi ayunan langkah itu adalah langkah raksasa, yang warisan dan pengaruhnya melampaui batas tubuh Gereja. Dia adalah tokoh dunia, maka kepergiannya adalah juga suatu kehilangan bagi dunia, demikian dikatakan sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres. Banyak pemimpin dunia menyuarakan pandangan senada. Tentu banyak orang miskin, kurban perang, penggiat lingkungan dan dialog agama, dan tentu saja umat Katolik yang merasa sangat kehilangan.
Memang ada sementara orang yang tidak setuju, bahkan tidak suka dengannya, pun dari kalangan Katolik. Dia dipandang terlalu terbuka dan progresif. Namun kalau mengingat kesaksian dekan dewan kardinal, Giovanni Baptista Re, warisan besar Fransiskus adalah membangun Gereja yang terbuka bagi semua, dalam kepekaan pastoral serta kelapangan hati untuk merangkul siapa saja. Jangan ada yang tertinggal atau tersingkir dalam tubuh Gereja. Paus tidak menghendaki Gereja yang tertutup atau tinggal dalam cakang sempit, entah karena terlalu mau berpegang pada masa lalu, bentuk tertentu atau cakupan perjumpaan dan pergaulan yang sempit. Dalam wajah Gereja yang seperti itu, yang ada adalah ideologi, kebekuan dan bukan iman. Gereja bukan kapal yang berlabuh, namun berlayar mengarungi lautan. Fransiskus adalah gembala umat, Paus bagi umat manusia.
Saat pemakamannya, Vatikan dipenuhi dengan para remaja, sebenarnya mereka datang untuk Yubileum kaum remaja, bersamaan dengan rencana kanonisasi Carlo Acutis. Namun kehadiran kaum muda ini menunjukkan betapa perlu adanya jembatan perjumpaan dan dialog lintas generasi. Baik yang muda maupun yang tua dan sakit janganlah disingkirkan, dianggap kurang berguna, ataupun penghambat.
Sudah beberapa saat Paus sakit, bahkan cukup lama dirawat di rumah sakit. Malahan kemudian ada ungkapan magisterium of fragility, kepemimpian penggembalaan Gereja di tengah kerapuhan. Paus Fransiskus sendiri menggambarkan bahwa selama dirawat dia mendapatkan kesempatan untuk mengalami kesabaran Tuhan. Kesabaran yang penuh percaya, yang berlabuhkan pada kasih Allah yang tak pernah gagal, baginya sungguh dibutuhkan dalam hidup kita, terlebih saat kita sedang mengalami situasi yang sulit serta menyakitkan. Dia mengajak kita meniti jalan harapan dengan dan dalam kesabaran. Harapan dan kesabaran saling terkait erat. Memang di tengah zaman yang maunya serba cepat ini, kesabaran telah menjadi sesuatu yang langka. Padahal kesabaran merupakan sesuatu yang dibutuhkan di tengah ketekunan dan kepercayaan kita akan pemenuhan janji-janji Allah. Itulah yang mencari cara bertindak dalam perjalanan kita meniti kehidupan.

Ada kondisi yang dikatakan berada dalam situasi “sede impedida” (tahta terhalang), saat Paus terhalang atau terhambat untuk menjalankan peran atau fungsi kepemimpinan serta penggembalaannya. Namun saat sakit Fransiskus tidak berada dalam kondisi tersebut. Dia masih menjalankan tugas penggembalaan, bertemu orang dan menandatangani dokumen, walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Bahkan hingga di saat akhir, Fransiskus masih hadir. Kehadiran yang paling menggetarkan ingatan adalah saat dia memberi berkat Urbi et Orbi, hari minggu Paskah, 20 April 2025, dan kemudian mengelilingi lapangan Santo Petrus. Dia tidak menutupi kerapuhannya. Sama seperti saat menyusuri lapangan Santo Petrus, Roma, di masa pandemi, 27 Maret 2020. Dia berjalan sendiri, gerimis dan gelap, di tengah kenyataan dunia yang rapuh dan takut, berkat Urbi et Orbi juga diberikannya. Sehari setelah Paskah, 20 April 2025, Paus Fransiskus menghadap Tuhan, bergegas mencari Tuhan seperti pengalaman Maria Magdalena dan para murid di hari kebangkitan Tuhan.
Dia telah menuliskan testamen pada 29 Juni 2022, termasuk menyatakan di mana dia dimakamkan. Malahan padaa tanggal 7 Februari 2025, sekitar satu minggu sebelum masuk rumah sakit, di dalamnya dia menuliskan kematian bukan kehilangan segalanya, namun mendapatkan sesuatu yang berharga. Beberapa hari sebelum wafat, di hari kamis putih masih sempat mengunjungi penjara, berterimakasih kepada para dokter dan staf medis yang sempat merawatnya. Malahan di saat akhir, masih sempat melambaikan tangan berterimakasih kepada perawat pribadinya, Massimiliano Strappetti, sebagaimana dia juga berterimakasih kepadanya karena telah ditemani berkelilingi di lapangan Santo Petrus.
Paus Fransiskus meminta dimakamkan dalam upacara yang sederhana, layaknya pemimpin negara, dan jenasahnya ditelakkan di Basilika Santa Maria Maggiore, bukan di basilika Santo Petrus, Vatikan, tempat sebagian terbesar Paus dimakamkan. Paus memiliki devosi besar pada Maria, terlebih berdoa di depan ikon Maria sebagai Salus Populi Romani. Pertama dia mengunjunginya sehari setelah terpilih, 14 Maret 2013. Sedangkan kunjungan terakhirnya, pada 12 April 2025, sebelum memasuki pekan suci. Selama 12 tahun menjabat Paus, Fransiskus tercatat telah 126 kali berkunjung kepada Bunda di Maria Maggiore. Dia setiap kali ke sana, seperti pulang ke rumah ibu. Pada 26 April, Paus pun menetap di rumah ibu di sana. Sudah ada tujuh Paus yang dimakamkan di sana, termasuk Nicholas IV, Paus Fransiskan pertama dan Pius V, Paus dominikan pertama, dan kini Fransiskus, Paus Yesuit pertama.
Kalau sebelumnya, dia selalu minta didoakan, kini dia mendokan Gereja dan kita semua. Kini Paus Fransiskus telah mengakhiri perjalanannya dan mendoakan kita. Kini kita menanti gembala baru. Namun kita tidak menantikan dan mencari pengganti Fransiskus, kita menantikan pengganti Petrus, pewaris tahta Petrus. Paus boleh berlalu, akan tetapi batu karang Gereja tetap kokoh, sehingga alam maut pun tidak akan menguasainya (lih Mat 16:18).
Pastor Dr. T. Krispurwana Cahyadi, SJ (Teolog, tinggal di Girisonta)
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 18, Tahun Ke-79, Minggu, 4 Mei 2025