HIDUPKATOLIK.COM – Di tengah hiruk-pikuk dunia yang dipenuhi narasi kekuasaan dan dominasi, muncul sosok yang diam namun menyala: Paus Leo XIV. Sosok pemimpin Gereja Katolik ini tidak dikenal lewat pidato bombastis atau gestur politik besar, tetapi lewat kehadiran lembut yang menyentuh hati mereka yang terpinggirkan—terutama di jantung Andes, Peru.
Saat melayani di Peru, tak sedikit yang bertanya-tanya: mengapa daerah pegunungan, lembah Amazon, dan desa-desa terpencil yang dipilih? Jawabannya segera terlihat ketika Paus berjalan tanpa alas kaki memasuki sebuah kapel kecil di Huancavelica, menyapa umat dalam bahasa Quechua, dan berdoa bersama mereka dalam keheningan yang menggetarkan.
Spiritualitas Inkarnatif
L’osservatore Romano (8/5/2025) mengisahkan, bagi masyarakat adat Peru, Paus Leo XIV bukan sekadar pemimpin religius. Ia menjadi hermano del alma – saudara sejiwa. Ia tidak hanya berbicara tentang keadilan, tetapi hadir di tengah mereka yang menderita karena ketimpangan ekonomi, eksploitasi tambang, dan hilangnya identitas budaya. Ia membasuh kaki para petani, makan ubi bersama para ibu desa, dan mendengarkan anak-anak yang kehilangan orang tua karena konflik agraria.
Tak jarang, Paus memilih tinggal di rumah-rumah sederhana, menolak akomodasi mewah yang biasa disiapkan. Ia percaya, hanya dengan menjadi kecil, seseorang dapat sungguh melihat mereka yang dikerdilkan.
Mendorong Inkulturasi dan Pemberdayaan
Vatican News (8/5/2025) mencatat bahwa Paus Leo XIV juga memberikan ruang besar bagi Gereja lokal untuk bertumbuh dengan wajah sendiri. Ia mendukung pelatihan imam lokal, penerjemahan liturgi ke bahasa daerah, dan pendirian pusat kesehatan berbasis komunitas paroki. Dalam salah satu homilinya di Cusco, ia berkata, “Injil bukanlah tamu dari budaya Anda. Ia sudah tinggal di dalamnya sejak Roh Kudus turun di setiap hati.”
Kebijakan dan teladannya mendorong para uskup dan pastor di seluruh Amerika Latin untuk menanggalkan model pelayanan lama yang hirarkis dan menggantinya dengan gaya kepemimpinan yang partisipatif, mendengarkan, dan melibatkan umat akar rumput.
Menjadi Simbol Harapan
Bagi Gereja Peru, kehadiran Paus Leo XIV menjadi momen kebangkitan spiritualitas baru: spiritualitas yang merangkul luka. Di tengah perubahan iklim yang menghancurkan ladang-ladang dan banjir yang memporakporandakan desa, Paus datang sebagai gembala yang menangis bersama domba-dombanya.
Keheningannya justru menggugah, seperti sapaan Kristus kepada Marta: “Satu hal saja yang perlu: duduk dan mendengarkan.” Dan itulah yang dilakukan Paus Leo XIV—duduk, mendengarkan, dan menyembuhkan luka dunia.
Yusti H.Wuarmanuk (dari berbagai sumber)