HIDUPKATOLIK.COM – Terpilihnya Robert Kardinal Prevost, OSA sebagai Paus ke 267, dan mengenakan nama Leo XIV, mengingatkan kita bahwa memang Gereja dipanggil untuk menghidupi semangat misioner. Betapapun lahir di Chicago, Amerika Serikat 14 September 1955, namun lama menjadi misionaris di Trujillo Peru dan bahkan Uskup di Chiclayo Peru. Beliau anak dari ayah keturunan Itali dan Perancis serta ibu keturunan Spanyol. Semua ini menunjukkan latar belakang dirinya yang begitu beragam dan bahkan bisa dikatakan kosmopolitan. Latar belakang studinya di bidang matematika, filsafat, teologi dan akhirnya menempuh studi doktorat hukum Gereja dengan disertasi tentang peran pemimpin setempat dalam Ordo Santo Augustinus memberi warna dan keluasan wawasan yang dimilikinya.
Demikian juga pengalaman karyanya yang begitu beragam baik dalam bidang pembinaan, pengajar, pastoral maupun kepemimpinan tarekat, malahan pernah menjadi pemimpin umum Ordo Santo Augustinus selama dua periode, menunjukkan pula keluasan pengalaman serta cakupan pemahaman akan beragam persoalan yang dihadapi saat ini. Apalagi kemudian pada 30 Januari 2023, Paus Fransiskus menunjukkan menjadi ketua dikasteri para Uskup, yang bertanggungjawab pula dalam memilih para Uskup, sekaligus presiden komisi kepausan untuk Amerika Latin, dan akhirnya diangkat sebagai kardinal pada 30 September 2024.
Selama Kongregasi Jendral para kardinal menjelang konklaf disuarakan tentang tugas perutusan Gereja dalam pewartaan Injil. Memang evangelisasi mendapat tekanan kuat selama penggembalaan Paus Fransiskus. Baginya, Gereja ada untuk semua, todos, terbuka dan mau menerima semua. Langkah sinodalitas menggambarkan proses tersebut, jangan sampai seorang pun diabaikan atau tidak didengarkan. Semua orang yang dibaptis dipanggil untuk ikut serta mewartakan Injil. Tentu tugas perutusan ini dijalankan dengan tidak mudah, mengingat potensi perpecahan yang melanda, arus perubahan yang berjalan begitu cepat, media komunikasi yang bisa malahan meminggirkan orang dan realitas ketidakadilan, kerusakan lingkungan maupun kemiskinan yang mengancam dunia kehidupan ini.
Setelah wafatnya Paus Fransiskus disuarakan lagi figur Paus yang pastoral, kedekatan dengan umat, masyarakat umum maupun realitas nyata kehidupan. Kesediaan dan kemampuan berdialog dan menjalin relasi dengan berbagai pihak yang berbeda, bahkan bertentangan dibutuhkan. Kesatuan dan sinodalitas tampaknya menjadi topik penting selama pembicaraan sewaktu Kongregasi Jendral para kardinal, yang berlangsung hampir selama 2 minggu itu. Lamanya waktu pembicaraan tidak bisa disangkal mengingat para Kardinal berasal dari berbagai negara yang berbeda-beda, bahkan banyak dari negara-negara yang tidak hanya jumlah umat Katoliknya sedikit namun juga baru pertama kali memiliki kardinal. Dapat dikatakan mereka tidak sungguh mengenal satu sama lain. Keberagaman geografis dan persoalan, demikian juga cakupan permasalahan yang begitu kompleks
Kita perlu pula menempatkan Paus baru kita ini dalam latar belakang spiritualitas yang membentuknya. Santo Augustinus memiliki peran sangat besar dalam kehidupan Gereja, terutama di bidang teologi. Traktaknya tentang Trinitas masih menjadi buku pengajaran yang baku untuk dipelajari oleh mereka yang mendalami misteri Allah Tritunggal. Demikian pula tulisannya tentang De Civita Dei mengajarkan kepada kita bagaimana kita membangun dunia kehidupan berlandaskan iman, harapan dan kasih. Iman mendasar bagi keselamatan, harapan merupakan tanda keberiman itu, sedangkan kasih menjadi pewujudan nyata akan keduanya. Augustinus memberi tekanan kuat akan perjumpaan antara iman dan akal budi: crede, ut intelligas; intellige, ut credas. Namun segala daya penalaran ataupun refleksi iman tetaplah memiliki keterbatasan berhadapan dengan misteri, dia lalu mengatakan si comprehendis non est Deus, kalau kamu sungguh menggenggam (memahami dengan yakin pasti), pastilah itu bukan Allah. Namun Santo Augustinus sangat memberi tekanan akan kasih, kenyataan bahwa Allah adalah kasih (lih 1 Yoh 4:7-21) menjadi landasan dasar refleksi teologisnya.
Kasih tersebut menjadi titik pangkal dalam membangun kesatuan. Semangat kasih menjadi pangkal kesatuan, demikian ditegaskan dalam regula Santo Augustinus. Cara hidup jemaat perdana, dalam hal saling berbagi, sehingga kebersamaan di bangun (lih Kis 4:32-35) menjadi acuan dasarnya. Tidak ada sesuatu yang sepenuhnya privat, dikuasai hanya untuk diri sendiri. Persahabatan dan kasih, itulah pesan dasarnya, sebab memang spiritualitas Augustinus berakar pada hati yang mengasihi. Maka saling berbagi dalam kasih mendapatkan perhatian di dalamnya. Satu jiwa dan satu hati, sehingga segala sesuatu ada bagi kebersamaan.
Dalam landasan spiritualitas Augustinian tersebut, Paus baru memilih untuk mengenakan nama Leo XIV. Kita tahu bahwa Paus terakhir yang mengenakan nama Leo, adalah Leo XIII (1878-1903), dan dikenal sebagai bapa ajaran sosial Gereja, dengan ensikliknya Rerum Novarum, suatu kritik sosial di tengah mulai berkembangnya industrialisasi, yang kemudian muncul dengan kapitalisme. Leo XIII terpilih Paus saat dunia, terutama Eropa sedang mengalami krisis. Dia pribadi yang sederhana, hati yang lembut, namun memiliki ketegasan bagai seorang singa (leo), demikian digambarkan tentang dirinya. Dia mampu membawa Gereja yang terbuka dan tanggap akan situasi zaman yang dihadapi saat itu.
Paus Leo XIV tetap ingin membawa ciri dasar Gereja yang misioner dan sinodal, dekat dengan mereka yang menderita. Kardinal Prevost memang saat menjadi Uskup dikenal memberi pembelaan akan mereka yang menderita, yang cenderung disingkirkan. Dia mengeluhkan apa yang dikatakan Paus Fransiskus sebagai budaya membuang, termasuk janin dalam rahim maupun orangtua yang semakin rentan. Sebagai misionaris di Peru dan pengalaman sebagai pimpinan umum Ordo, tentu dia sangat kenal dan bersentuhan langsung dengan pengalaman penderitaan. Maka dia pun mengajak agar kita membuka telinga pada mereka yang lemah.
Kata pertama yang diucapkan saat diperkenalkan pertama kali sebagai Paus adalah: damai bersamamu. Itulah pesan kehadiran Yesus yang bangkit. Pesan dan kehadiran Yesus tersebut baginya lembut, sederhana dan hangat. Itulah pesan yang membawa kedamaian. Paus Leo XIV memuji pendahulunya, Fransiskus yang tanpa ragu bersuara lantang menggemakan pesan perdamaian dan kasih. Paus baru kemudian menyatakan ingin membangun Gereja yang misioner, membangun jembatan dialog dengan tangan terbuka kepada siapapun, siapa saja yang mendambakan kasih, kehadiran kita, dan kasih. Kalau kita berkaca pada moto uskup yang dipilihnya, “In Illo uno unum”, yang diambil dari homili Santo Augustinus yang menunjukkan bahwa betapapun kita ini banyak namun satu dalam Kristus. Maka kesatuan di dalam Tuhan menjadi landasan penggembalaan Leo XIV, sebagaimana Dia adalah kasih dan membawa kedamaian, dalam dialog dan keterbukaan akan semua.
Tampaknya pula Paus Leo XIV lebih akan mengambil posisi moderat, terlebih terkait berbagai persoalan yang dihadapi Gereja. Pendahulunya Fransiskus memang kadang terlihat berani mengambil sikap progresif, yang bisa memicu perdebatan, pertanyaan dan bahkan kegelisahan, kalau tidak mengatakan pertentangan. Pengalaman sebagai pemimpin umum Ordo dengan pengalaman luas menghadapi keberagaman persoalan dan cara pandang seluruh dunia, menjadi bekal baginya menghadapi berbagai permasalahan. Demikian pula sebagai kepala dikasteri yang menangani para Uskup seluruh dunia, tentu dia mendengar dan menghadapi berbagai sudut pandang serta latar belakang memandang persoalan yang berbeda. Namun menarik kalau melihat tekanannya akan sisi pastoral dalam kriteria pemilihan para Uskup. Dari bagaimana dia menangani persoalan Uskup Tyler Amerika Serikat, Joseph Strickland, yang secara terbuka bertentangan dengan Paus Fransiskus, menampakkan ketegasannya bahwa seorang gembala tidak bisa bertentangan dengan Paus, sub et cum Pietro, di bawah dan bersama Petrus, prinsip dasar penggembalaan Gereja, karena sikap perlawanan bukanlah sikap seorang gembala, seorang pastor.
Gereja yang sinodal, berjalan bersama mengupayakan perdamaian, kasih, kedekatan pada mereka yang menderita. Itulah Gereja yang hendak digembalakan oleh Paus Leo XIV.
Kita bersyukur atas Paus baru, pengganti Petrus. Gereja masih terus berjalan menuju pada kepenuhan keselamatan dalam Kristus, berkat terang bimbingan Roh Kudus dan berkat Bapa, bagi kemuliaan-Nya.
Pastor Dr. T. Krispurwana Cahyadi, SJ (Teolog, Tinggal di Girisonta)