web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Keutamaan Moral Politisi

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – SITUASI perpolitikan di negeri ini semakin memanas dengan maraknya demonstrasi di berbagai daerah maupun di Jakarta. Diawali dengan daerah Pati, yang menolak kebijakan Sudewo menaikkan PBB-P2 sebesar 250 persen. Berlanjut di bulan Agustus 2025 dengan skala lebih luas.  Ada dua gelombang demonstrasi terjadi yakni demonstrasi pada Senin, 25 Agustus 2025 dan pada Jumat, 29 Agustus 2025. Gelombang yang paling besar adalah yang terakhir ini, karena hampir terjadi secara merata di berbagai daerah.

Sumbu pemicu demonstrasi adalah kebijakan publik yang dirasakan tidak adil antara kesejahteraan anggota dewan dan kehidupan rakyat dengan kenaikan tunjangan anggota dewan yang fantastik dan adanya korban meninggal, yakni Affian Kurniawan, pengendara ojek online pada demonstrasi 25 Agustus 2025 yang menjadi pemicu terjadinya demonstrasi 29 Agustus 2025 secara serentak  di berbagai daerah di tanggal dan hari yang sama.

Fenomena buruk

Mencermati situasi demikian, menurut hemat penulis, minimal ada dua hal yang terungkap di sana terkait dengan sikap dan perilaku elite politik. Pertama, nihilnya keutamaan rasional elite politik. Aristoteles dalam The Nicomachean Ethics (2020) menyatakan bahwa salah satu wujud hidup yang bermutu adalah hidupnya keutamaan rasional dan keutamaan moral dalam diri seseorang. Dua keutamaan ini mengejawantah dalam pelibatan pertimbangan dalam berperilaku termasuk berkomunikasi.

De facto apa yang dikatakan oleh Aristoteles justru kontras dengan perilaku elit politik. Yang menonjol adalah arogansi mereka, yakni perilaku sombong, congkak, dan angkuh yang muncul dari perasaan superioritas diri, yaitu merasa lebih baik, lebih berharga, dan lebih penting daripada orang lain di ruang publik. Mereka merasa pendapatnya lebih unggul, dan merendahkan orang lain, sehingga membuat orang di sekitarnya tidak nyaman dan dapat merusak hubungan sosial.

Jika ditelusuri dengan teliti dan cermat, pemicu demonstrasi itu tidak terlepas dari munculnya sikap elite politik yang tidak bersahabat demikian. Tuduhan seorang anggota dewan bernama Ahmad Syahroni, yang menyebutkan upaya masyarakat yang memperjuangkan pembubaran DPR sebagai ketololan adalah bukti nyata sikap arogan itu, ditambah lagi sikap anggota dewan yang lain, Deddy Sitorus, yang tidak menerima bahwa gajinya sebagai anggota dewan diperbandingkan dengan pendapatan rakyat jelata, bahkan menganggap perbandingan itu sebagai hal yang tidak logis dan menyesatkan logika berpikir yang sebenarnya, sebagaimana dikatakannya dalam salah satu acara televisi. Semua ini merupakan tanda sikap arogan elite politik, yang melukai hati rakyat.

Kedua, hampanya kepedulian elite politik terhadap realitas kehidupan rakyat. Sebagaimana diketahui publik bahwa anggota dewan mendapatkan kenaikan dalam berbagai tunjangan setiap bulannya, yang dianggap berbagai kalangan sangat fantastis. Kenaikan ini mengusik rasa keadilan masyarakat karena melawan nalar sehat dan situasi nyata masyarakat. Artinya, kebijakan tentang kenaikan berbagai tunjangan anggota dewan kontras dengan situasi nyata rakyat, sekaligus menjadi tanda matinya rasa kepedulian anggota dewan terhadap situasi rakyat.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

Tidak bisa dimungkiri bahwa kondisi perekonomian rakyat memprihatinkan.  Di kala situasi sulit demikian elite politik di pusat justru  mengeluarkan kebijakan yang memberatkan rakyat seperti kenaikan pajak, sementara mereka yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat justru menaikkan tunjangannya, yang tidak lain juga menjadi beban rakyat.

Dengan menggunakan teori korelasi antara kehidupan nyata rakyat dan kebijakan kenaikan tunjangan anggota dewan yang fantastik,  sah saja  logika sederhana rakyat bangkit: koq rakyat dibebani demi mewujudkan kesejahteraan anggota dewan. Rakyat sudah dalam kesulitan, dibuat semakin sengsara dengan kenaikan pajak, sebaliknya wakil rakyat menguras rakyat, bukan memikirkan kesejahteraan mereka. Logis bahwa eksistensi anggota dewan dipertanyakan oleh rakyat. Atas dasar inilah usulan untuk pembubaran lembaga legislatif itu muncul. Dan ini tentu  bukan sebuah “ketololan global” seperti dituduhkan oleh Ahmad Syahroni itu, melainkan sebuah tanda kecerdasan rakyat jelata. Karena itulah benar dikatakan Salsa Erwins Hutagalung, label “ketololan” itu seyogianya dialamatkan kepada yang memberi tuduhan itu.

Berbagai Ekses

Perilaku buruk elite politik memiliki dampak negatif yang tidak sedikit baik secara material maupun immaterial.  Dalam hal material, kita menyaksikan adanya perusakan sejumlah sarana dan prasarana publik di berbagai daerah, termasuk terbakarnya gedung dewan perwakilan daerah di Makassar, dan sejumlah kendaraan dinas baik roda dua dan roda empat ketika demontrasi berlangsung. Di Jakarta sejumlah halte bis dan polisi  mengalami kehancuran. Yang paling disayangkan adalah korban immaterial berupa korban jiwa dan penderitaan psikisi bagi masyarakat. Di Makassar ada dua korban yang meninggal akibat demonstrasi 29 Agustus 2025, sedangkan di Jakarta satu korban jiwa. Situasi demikian juga telah membuat masyarakat was-was akan masa depan negeri ini, jangan sampai terjadi peristiwa 98.

Selain sisi material dan immaterial,  ekses yang lain adalah timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap elite politik. Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995) sudah mengingatkan bahwa kepercayaan pada seseorang atau kelompok ketika kualitas itu hadir dan nampak di dalam mereka. Ketika kualitas itu tidak ada di dalam diri mereka, maka yang timbul adalah ketidakpercayaan. Dan dalam kehidupan bersama kepercayaan itu adalah modal sosial yang paling tinggi, yang disebut Fukuyama dengan social capital.

Filsuf hebat lain dari Jerman bernama Immanuel Kant sebelumnya sudah mengingatkan apa yang dikatakan oleh Fukuyama. Bahkan Kant lebih terang-terangan  mengatakan bahwa ketidakpercayaan rakyat pada elite politik akan muncul ketika elite politik tidak mempedulikan kehidupan masyarakat melalui kebijakan-kebijakannya yang memuat ketidakadilan. Ia mengatakan bahwa rakyat tidak memiliki kewajiban moral untuk menuruti kebijakan penguasa yang tidak adil demikian, sebaliknya justru berkewajiban moral untuk melawan hukum yang bertentangan dengan keadilan.

Sikap Penting

Baca Juga:  Hari Studi Struktural 2025: Penguatan Supervisi Formal dan Informal untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan

Menapaki usia menuju Indonesia emas, kita sangat berharap bahwa situasi politik yang panas dengan demonstrasi yang berekses material dan immaterial demikian terus tidak berkelanjutan, sebab kalau terus terjadi,  maka ancamannya adalah stabilitas ekonomi yang imbasnya tidak sedikit bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.

Dalam kaitan dengan itu pertanyaan yang relevan diangkat adalah sikap apa yang perlu diperlihatkan oleh para elite elite politik ke depan? Menjawab pertanyaan ini minimal tiga hal. Pertama, para elite politik harus memiliki keutamaan moral. Seperti sudah disinggung di atas, salah satu sikap yang membuat orang bermutu menurut Aristoteles adalah hidup dalam keutamaan moral. Sikap ini terungkap dalam kerendahan hati untuk menerima kritik atau masukan dan lebih-lebih melakukan sesuatu atas masukan-masukan yang didapatkan.

Dalam konteks elite politik, ini berarti para pengambil kebijakan di republik ini harus memiliki sikap berani dan berbesar hati untuk menerima masukan-masukan dari masyarakat, dan lebih-lebih menjalankannya secara cepat. Mereka tidak perlu merasa kehilangan muka mengubah kebijakannya yang melukai rasa keadilan masyarakat. Sebaliknya, kesediaan untuk menerima aspirasi masyarakat justru menunjukkan pengakuan bahwa dirinya  memang benar-benar memperhatikan rakyat. Dengan bahasa lain dapat dikatakan, para elite politik perlu memperlihatkan sikap empati kepada masyarakat. Ini berarti apa? Pengambil kebijakan harus membatalkan semua kebijakan yang mengusik rasa keadilan di masyarakat dan yang membebani masyarakat seperti kenaikan tunjangan anggota dewan dan kenaikan pajak. Tidak ada cara lain selain membatalkan semua itu.

Keberanian untuk mengubah kebijakannya yang memberatkan rakyat justru akan mampu mengembalikan kepercayaan rakyat bagi elite politik seperti dikatakan oleh Francis Fukuyama dan Immanuel Kant. Sekali lagi kepercayaan adalah modal sosial yang paling berharga dalam hidup bersama. Matinya kepercayaan justru menjadi tanda matinya kehidupan sosial. Dan ini tentu tidak kita inginkan bersama. Jika itu terjadi berarti sia-sialah perjuangan para pendiri bangsa ini.

Kedua, para elite politik perlu menunjukkan bahasa etis dalam berkomunikasi  di ruang publik. Seperti penulis sudah pernah tuliskan di laman ini dalam artikel “Mengendus Bahasa Etis Politisi” bahwa elite politik bukanlah orang sembanrangan, melainkan mereka adalah orang terhormat dan berwibawa. Keterhormatan dan kewibawaan itu harulsah mereka tunjukkan ketika berbicara di ruang publik.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Dalam kaitan dengan itu, para elite politik perlu menyadari dengan sungguh-sungguh ungkapan dari pemikir bernama Martin Heidegger dalam bukunya Time and Being (1978) yang menyatakan bahwa “language is the house of human being”. Maknanya adalah bahwa bahasa mencerminkan kualitas kepribadian elite politik. Karena itu diksi-diksi yang digunakan oleh elite politik seharusnya afirmatif, bukan negatif, yang merendahkan rakyat seperti diperlihatkan oleh Ahmad Syahroni itu.

Karena selain keutamaan moral dalam bentuk kerendahan hati dan sikap bijak, para elite politik perlu juga menunjukkan keutamaan rasional dalam berbicara. Keutamaan rasional itu dalam pemahaman Aristoteteles sebagaimana diperlihatkan dalam The Nicomachean Ethics (2020) adalah bahwa seseorang selalu menyertakan akal budinya secara maksimal dalam seluruh gerak hidupnya, termasuk dalam berkomunikasi. Karena itu pula seseorang tidak menggunakan kata-kata yang melukai hati orang lain, melainkan justru membangkitkan semangat dan jiwa positif. Ia penuh hati-hati dan selektif dalam penggunaan diksi saat berbicara.

Ketiga, menunjukkan sikap kepedulian terhadap situasi rakyat. Carol Gilligan, seorang feminis dalam In A Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (1996) menunjukkan secara jelas bahwa kepedulian merupakan nilai yang sangat mendasar dalam relasi manusia. Dan sikap ini sesungguhnya  melekat dalam diri manusia. Sikap ini sesungguhnya sangat mendasar dalam mewujudkan keadilan sosial. Sikap ini tertuju pada pengalaman nyata seseorang. Etika kepedulian ini justru membuat orang memiliki empati pada orang lain, seperti seorang ibu begitu peduli pada anak-anaknya. Ia mengerti dengan baik situasi dan kebutuhan anak-anaknya.

Apa yang digagaskan oleh Carol Gilligan menurut hemat penulis adalah sikap yang sangat mendasar dihidupi oleh elite politik, lebih-lebih anggota dewan, karena toh eksistensi sebagai anggota dewan justru merepresentasikan eksistensi rakyat. Artinya, anggota dewan justru ada demi memperjuangkan kehidupan rakyatnya, bukan memperjuangkan kepentingannya.

Dalam konteks pemikiran demikian, tidak salah jika elite politik meniru pola hidup Mahatma Gandhi,  dengan hadir dalam kesederhanaan dan sangat dekat dengan rakyatnya sebagai ungkapan sikap empatiknya yang paling mendalam. Ini justru menjadi perwujudan keutamaan moral seperti dikatakan oleh Aristoteles, yakni  sikap rendah hati, sikap ugahari, hidup sederhana, dan keberanian untuk berpihak pada rakyat.

Di tengah situasi ekonomi rakyat yang sulit akhir-akhir ini, rakyat  sangat mendambakan elite politik yang memiliki keutamaan moral dengan sikap cerdas dalam berkomunikasi dengan pilihan kata yang afirmatif, dan empatik terhadap kehidupan rakyat, bukan arogan, apalagi apatis dan antipati terhadap rakyat.

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles