REUNI TERAKHIR

173
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – “RIA, jangan lupa datang ke reuni ya,” pesan Erni Wulandari, kawan karibku, mengingatkan melalui teks WhatsApp.

“Siaaap, Er,” balasku sembari membubuhi emoticon smiley.

Lekas kucontreng momen bermakna itu di agenda. Undangan reuni bersama teman-teman semasa SMA senantiasa memijarkan semangatku. Ada energi baru yang kuserap setiap kali berjumpa dengan kawan-kawan lama. Alhasil, aku selalu berupaya datang.

Toh aktivitasku sekarang telah surut seiring usia yang melaju tak terkendali. Seakan aku ingin melunasi hutang masa silam karena selalu dicegat seabrek aktivitas. Pekerjaan menjadi kambing hitam alasan tidak bisa berhimpun bersama mereka.

Kini, bagiku, persahabatan tidak lagi bisa terdepak oleh kesibukan apa pun. Jalinan kekariban bukan sekadar kenangan lawas yang terbengkalai di serambi memori. Setiap waktu, kunanti momen reuni tiba.

“Apa kabar?” sapaku dengan senyum merekah kepada teman-teman di lokasi reuni. Kami pun saling sapa satu sama lain setelah sekian waktu tak jumpa akibat terkendala pandemi. Keakraban terasa pekat.

“Apa kesibukanmu sekarang, Ria?” tanya Anneke dengan bibir tipis melengkung.

“Pengangguran banyak acara nih,” candaku sembari nyengir.

Selalu ada penggalan kisah yang bisa kami bagikan; entah tentang diri sendiri, keluarga, atau membuka bersama lembar-lembar kenangan lampau.

Tatkala derai tawa kami tengah menghambur lepas, sosok tak terduga itu muncul.  Eri… ya Eri….  Mantan cowok-ku itu datang setelah sekian lama kabar tentang dirinya senyap. Kehadirannya bagai membius kami sesaat. Kami sempat saling lempar pandang sementara mulut kami mendadak erat terkatup.

Eri terlihat canggung. Lantas, ia menghampiri kami satu per satu diiringi sapa basa-basi.

“Ke mana saja kamu selama ini, Er?” sapa Johan, yang tak pernah absen datang setiap kali reuni digelar.

“Tidak ada yang mengabari saya kalau ada reuni,” kilahnya.

Seraya menghela napas dalam, aku berupaya menata perasaan tatkala Eri mendekat ke arahku. Kegembiraan reuni yang kudapati siang ini mendadak luruh.  Tak terbayangkan, aku bertemu lagi dengan sosok yang pernah sekian waktu mengisi hati. Sosok ini pula yang kemudian menuangkan secawan empedu ke dalam hidupku.

Ketika Eri menyapaku, kudapati banyak ekor mata menguntit gerak-gerik kami. Raut lelaki itu sejenak menegang.

“Apa kabar, Ria. Wah, sudah berapa belas tahun ya kita tidak berjumpa?” tanya Eri berupaya mencairkan kebekuan.

“Sudah tidak ingat tuh,” balasku acuh tak acuh.

Aku mencoba tak peduli. Kuredam gelisah yang menyelinap. Lalu, tatapan kami beradu sesaat. Kudapati mendung di matanya. Meski ia berupaya menyembunyikannya dengan senyum, sepasang mata itu tak kuasa berdusta… betapa lengang. Bahasa tubuhnya pun tak mampu menyimpan apa yang ada di kedalaman hatinya.

Reuni kali ini sungguh berbeda….

***

Cinta kerap hadir tak disangka. Panah asmara itu melesat dan menancap di hatiku pada saat perhelatan ulang tahun Roy, teman di kelas 12.

“Kamu ayu dan anggun,” puji Eri sembari tersenyum. Kubalas senyuman menawan itu dengan kikuk, salah tingkah.  Ternyata, senyum itu terbawa selepas pesta hingga mengawani lelapku. Sejak itu, cinta kami bertaut melintasi masa remaja yang sarat gelora. Aku kerap melepas gelepar rasa ini kepada Erni karena tak tahan menanggung sendiri.

“Beruntung sekali, kamu bisa mendapat Eri,” kata  Erni.  Ia tampak antusias setiap kali aku bertutur tentang Eri.

“Dia penuh perhatian,” ungkapku.

Seakan tiada keindahan lain di muka bumi selain cinta. Janji-janji bertaburan, memulasi relasi kami. Kalimat-kalimat indah terpilin dari mulutnya. Tak pernah terpikirkan bahwa apa pun yang ada di dunia ini fana, tidak tetap, dan bakal berubah. Aku terlalu belia untuk memahaminya.  Anggur asmara itu begitu memabukkan hingga benakku kebas tak sanggup menakar nalar.

Kemudian semua rasa ini berkeping menjadi puing. Ada perempuan yang tega merampas cinta Eri.  Kisah itu menyisakan sengkarut lara meski aku berupaya setengah mati menghapus jejaknya. Gejolak dan kemelut saling berpagut  hingga selanjutnya aku memilih untuk melajang. Mimpi-mimpi indahku tentang perkawinan raib, tak pernah ingin kugapai lagi.

Aku tak pernah punya hati yang luas membentang untuk menghadapi realitas getir ini. Aku terlanjur mencintai lelaki itu dengan kelimpahan… dan kemudian aku jera.

***

Senja belum menyembul namun mentari telah tergelincir di ufuk barat. Langit tampak kemerahan dengan bercak-bercak awan putih. Aku dicengkeram kesibukan menulis tatkala Erni kembali meneleponku. Dengan enggan, aku menyambar ponselku yang menangkring di sisi komputer jinjing. Sesungguhnya, aku tidak ingin diusik karena serangkaian ide tengah wara-wiri di benakku. Namun, entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan tak enak menyeruak di hati.

“Ria, aku baru dengar kabar bahwa Eri tewas,” ujar Erni dengan suara lemah.

“Apaaaa…?” pekikku. Aku terhenyak bercampur tak percaya.

“Jasadnya ditemukan sudah membusuk di sebuah rumah kosong di kawasan Tangerang. Sepertinya sudah beberapa hari ia meninggal,”  lanjut Erni dengan kalimat yang masih tercekat.

“Kamu dengar dari mana?” cecarku.

“Dari seorang teman,” ucapnya diiringi desah panjang.

Semangatku menulis seketika padam. Ide yang telah menempel di kepalaku berceceran. Baru sepekan lalu, kami berjumpa…  Eri tampak sehat. Tubuhnya masih gagah. Ia terlihat lebih muda dari usianya. Keriput belum mengganggu penampilannya. Rupanya, itu reuni terakhir baginya.

Selang beberapa hari setelah reuni, Eri menghubungi aku lewat WhatsApp. Tentu saja tak kugubris. “Mau apa dia?” gugatku memeram geram.

“Ooo… barangkali dia punya firasat tidak enak yang ingin disampaikan waktu itu,” kataku menerka.

Batinku tergeragap setiap mengenang lelaki itu. Batas antara cinta dan benci sebegitu tipis. Asmara yang semula menggebu berujung pada pengkhianatan. Lantas, rasa benci beranak-pinak di hatiku. Kini, saatnya kutebas rasa itu.

Tanpa berpikir dua kali, lekas kusambangi rumah duka. Ada beberapa teman semasa SMA juga melayat. Meski jenazah Eri telah berada di dalam peti, aroma anyir masih menguar samar. Bermacam-macam dupa dan wewangian dihembuskan di sekitarnya.

Tiba-tiba, ada semburat syukur di hati, aku masih sempat memberi penghormatan yang penghabisan kepada Eri. Bagaimanapun, ia pernah memahat makna pada masa beliaku. Ia telah menorehkan manisnya cinta dalam keseharianku  yang datar. Namun, seiring kepergiannya, aku telah mengubur segala kenangan itu. Ketiadaannya tak lagi merisaukan hati.

“Selamat jalan, Er. Beristirahatlah dalam damai Tuhan,” desisku di dalam hati seraya membendung emosi. Tak pernah terpikir bahwa ia bakal menyongsong ajalnya secara tak wajar.

Pada hari kesepuluh kepergian Eri, aku dijerat peranjat mendengar berita di layar kaca. Polisi membeberkan bahwa  Eri tewas dibunuh! Bukti-buktinya telah  memadai.

“Ya ampun… dalang pembunuhan itu Erni Wulandari! Ternyata, bisnis mereka berbuntut maut,” ratapku diberondong sesal.  Tubuhku lunglai bagai kehilangan belulang.

Oleh Maria Etty

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here