web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Bisikan yang Membimbing

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – DI kesunyian kantor, aku melangkah dengan hati yang berdebar penuh harap dan juga keraguan: apakah aku benar-benar sanggup menjalani magang ini? Menjalani program magang di bagian Redaksi Majalah HIDUP bukan sekadar menempati posisi sementara di balik meja Redaksi, melainkan menyelami dunia yang penuh warna, di mana setiap kisah kehidupan sehari-hari diubah menjadi narasi yang mampu menggetarkan jiwa. Pengalaman ini membekas dalam ingatanku sebagai sebuah perjalanan transformatif yang membuka cakrawala dan mengubah cara pandangku tentang dunia serta diriku sendiri. Aku bukan sekadar penulis yang haus akan kata-kata, melainkan seorang pelajar kehidupan yang sedang berusaha menyatu dengan denyut nadi dunia jurnalistik yang sesungguhnya, sebuah dunia yang sarat dengan tantangan, kejujuran, dan keberanian.

Waktu yang terus berputar dan hiruk-pikuk Redaksi yang tiada henti, aku bertemu dengan sosok mentor senior—seorang guru berwibawa dan berpengalaman yang menjadi pelita bagiku dalam menapaki jalan penuh liku jurnalistik. Kehadirannya tidak hanya sebagai pengajar teknik menulis, wawancara, dan tata letak berita, tetapi lebih dari itu, sebagai pembimbing yang menuntun jiwa ku memahami makna terdalam dari setiap cerita yang ku tulis. Ia mengajarkanku bahwa jurnalistik sejatinya adalah seni menangkap bagian kehidupan dan menyulamnya menjadi mozaik kalimat yang berbicara pada hati dan pikiran pembaca.

Mentor itu, dengan sabar dan rendah hati, membuka tirai-tirai pengetahuan yang sebelumnya hanya samar-samar kuintip dari buku teori. Di hadapannya aku belajar bahwa jurnalistik lebih dari sekadar menyampaikan fakta, melainkan sebuah karya yang harus hidup. Setiap kalimat yang dirangkai harus memancarkan nyawa dan getaran yang mampu menjangkau relung terdalam pembaca. Kalimat tanpa jiwa tak mampu menyentuh empati atau membangkitkan refleksi.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Hari-hariku dalam magang dipenuhi ragam aktivitas yang menantang. Mulai dari menggali informasi melalui riset mendalam, hingga berdialog dengan narasumber beraneka ragam latar belakang dan kisah yang berbeda. Aku pun belajar menyusun draf artikel pertama, yang kemudian harus melewati proses koreksi dengan sentuhan detail mentor. Kritik dan saran yang mengalir tidak pernah bersifat merendahkan, melainkan membangun; tajam namun penuh pengertian.  Setiap revisi menjadi sesi pembelajaran: ia meluruskan kalimat yang kurang jelas dan selalu menjelaskan, bukan sekadar memperbaiki.

Dalam evaluasi, aku belajar mengingat bahwa menulis berita bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga tentang menyampaikan pesan yang menyentuh hati pembaca. Dengan penuh kesabaran, mentor mengasah ketajaman analisis ku, memperkaya kosakata agar tulisan ku lebih hidup dan bermakna, serta mengajak ku menggali wawasan dari pengalaman pribadi maupun peristiwa terkini. Proses pembelajaran ini bagai sebuah simfoni, di mana ketekunan, kesabaran, dan semangat belajar berpadu dalam harmoni penciptaan karya jurnalistik yang bermutu.

Ketika tulisanku mendapat respons positif dari mentor, hatiku seolah diselimuti oleh cahaya hangat yang lembut, menggugah jiwa dengan kebahagiaan. Hal ini terasa bagaikan peluk hangat yang menyejukkan perjalanan berproses, mengukir keyakinan bahwa jalan yang kutempuh penuh arti dan harapan, serta membuka jendela kepercayaan diri yang selama ini terasa tersembunyi.

Ia membangkitkan semangat untuk terus berkarya dengan jiwa yang lebih terbuka dan mata yang lebih peka terhadap warna-warni kehidupan. Ia adalah sumber inspirasi yang memandu perjalanan jurnalistik ku, menguatkan hati untuk terus melangkah dengan percaya diri, penuh dedikasi, dan keindahan dalam setiap tulisan yang dihasilkan.

Akan tetapi, kehadiran mentor tidak berhenti pada pemberian ilmu teknis semata. Ia lebih jauh menempatkan beban moral di pundakku sebagai  jurnalis profesional, menanamkan nilai-nilai etika yang tinggi. Dalam dunia yang kini dipenuhi oleh disinformasi, berita-berita palsu, dan manipulasi fakta, mentor menegaskan bahwa integritas dan rasa tanggung jawab menjadi kompas moral yang tak boleh hilang dari seorang jurnalis.

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung

Aku diajari bahwa keindahan bahasa harus diimbangi dengan komitmen menjaga kebenaran dan menghormati subjek cerita. Setiap berita yang ditulis harus didasari kejujuran dan rasa hormat, bukan hanya untuk menjaga reputasi individu, tapi juga demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap media.

Salah satu momen yang sangat menggetarkan hatiku adalah ketika aku ditugaskan oleh mentor untuk mengikuti liputan langsung di sebuah desa yang tengah terancam abrasi. Pengalaman turun ke lapangan itu membuka mataku luas-lebar akan makna keberagaman dan ketulusan kisah manusia yang selama ini hanya kupelajari dari balik layar. Dalam kondisi penuh tantangan itu aku belajar bagaimana menyentuh hati narasumber dengan empati yang tulus dan rasa hormat yang mendalam.

Setiap wawancara bukan hanya tentang menggali informasi, tetapi menjadi perjumpaan antar jiwa, sebuah dialog yang menyentuh rasa kemanusiaan. Dari pengalaman itu aku mengerti bahwa jurnalistik sesungguhnya adalah jembatan kemanusiaan, yang mampu membawa suara-suara kecil dan sering terlupakan menjadi nyala api perubahan bagi masyarakat luas.

Seiring berjalannya waktu, aku merasakan perubahan yang signifikan dalam cara pandang dan tulisanku. Dahulu, kata-kataku terasa kaku dan datar, tanpa semangat mengalir; kini aku mampu menulis dengan kelembutan yang menyentuh sekaligus ketegasan yang memberi warna pada setiap kalimat.

Proses belajar bersama mentor telah menanamkan di hatiku pemahaman mendalam bahwa sebuah cerita terbaik bukan hanya menginformasikan, tetapi juga mampu menginspirasi, menggugah kesadaran, dan membuka jendela baru bagi setiap pembaca. Aku pun semakin yakin bahwa menjadi jurnalis bukan hanya profesi, tetapi panggilan hati; menjadi pewarta kemanusiaan yang merajut kata-kata menjadi cermin yang memantulkan dunia sekaligus refleksi diri.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Magang ini memberikan lebih dari sekadar bekal teknik dan ilmu praktis; ia menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri untuk mengeksplorasi diri dan dunia sekitar dengan kacamata kritis, namun tetap diliputi kasih dan empati. Aku sangat berterima kasih atas bimbingan mentor yang tak henti-hentinya membagi ilmu dan semangat, menjadi sumber inspirasi yang hidup dalam perjalanan panjangku menapaki dunia jurnalistik.

Di ujung proses magang ini, aku tidak hanya membawa pulang tulisan dan pengalaman, melainkan juga sebuah pemahaman mendalam bahwa di balik setiap berita yang lahir, terdapat kehidupan yang perlu dirawat dengan kejujuran dan keindahan kata.

Ini bukan sekadar akhir dari sebuah program magang, melainkan awal dari langkah panjangku meniti dunia jurnalistik yang penuh tantangan. Dunia yang menuntut kesungguhan dan keberanian untuk selalu mencari kebenaran. Aku menyadari bahwa di manapun aku melangkah nanti, jejak-jejak pembelajaran bersama mentor ini akan terus membimbing dan menguatkanku menjadi jurnalis yang bukan hanya profesional, tetapi juga manusiawi.

Sebuah perjalanan yang penuh warna dan makna, menciptakan cerita yang bukan hanya dibaca, tetapi juga dikenang dan dirasakan hingga ke relung jiwa. Inilah makna sejati dari kisah magangku di Majalah HIDUP, tempat di mana aku belajar menulis dengan hati, mendengar dengan jiwa, dan hidup dalam setiap kata.

Bernadeth Amorita Manulyu (Mahasiswi Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles