web page hit counter
Sabtu, 6 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mencermati Fenomena Karakter Anak Berdasarkan Pola Pembiasaan Hidup Rohani dalam Keluarga

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Keluarga adalah ruang pertama di mana seorang anak belajar mengenal Allah, membentuk karakternya, dan mengalami kasih yang meneguhkan. Segala pola pembiasaan hidup rohani dalam keluarga akan menentukan bagaimana anak menampilkan sikap iman dan moral di tengah masyarakat.

Gereja menyebut keluarga sebagai “Ecclesia domestica” atau Gereja rumah tangga, sebab di dalam keluarga; iman dipelihara, doa dihidupi, dan kasih nyata diwujudkan. Dari sana tampak jelas bahwa kehidupan rohani dalam keluarga menjadi fondasi yang tak tergantikan bagi pembentukan karakter anak.

Teladan pertama dapat dilihat dalam Keluarga Kudus Nazaret. Yesus tumbuh dalam keluarga sederhana di mana kerja keras menjadi nafas kehidupan sehari-hari. Santo Yosef sebagai seorang tukang kayu menunjukkan teladan kerja yang jujur, disiplin, dan bertanggung jawab. Maria menghadirkan semangat pelayanan rumah tangga dengan kasih yang penuh pengorbanan.

Dalam lingkungan demikian, Yesus belajar membangun karakter kerja yang tekun, rendah hati, dan setia. Lukas 2:51 menegaskan bahwa Yesus “tinggal bersama-sama mereka dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka.” Karakter kerja yang dibiasakan dalam keluarga ini membentuk Yesus untuk kelak menjadi pribadi yang taat pada kehendak Bapa dan setia pada misi-Nya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa kerja keras yang teratur dan jujur di dalam keluarga membentuk karakter iman yang tangguh pada anak.

Peristiwa hilangnya Yesus di Yerusalem (Luk 2:41-50) memperlihatkan kesetiaan Bunda Maria dalam mendampingi anak. Maria dan Yosef tidak menyerah meski Yesus tidak ada bersama mereka, melainkan kembali mencari dengan hati penuh kegelisahan. Setelah tiga hari, mereka menemukan Yesus di Bait Allah. Kisah ini menjadi model kesetiaan orang tua dalam mendampingi anak-anak. Orang tua yang setia tidak hanya mendampingi anak dalam situasi mudah, tetapi juga dalam kesulitan dan kebingungan.

Baca Juga:  Pesan Paus Leo kepada Para Seniman: ‘Dalam diri orang miskin, Tuhan Terus Berbicara kepada Kita’

Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2221 menegaskan bahwa orang tua memiliki misi untuk “mendidik anak-anak mereka agar dapat menanggapi panggilan Allah.” Dalam terang ini, kesetiaan Maria mencerminkan tugas mendasar orang tua untuk tidak pernah meninggalkan anak, melainkan terus membimbing mereka dalam pertumbuhan iman.

Kesetiaan Maria mencapai puncaknya ketika ia berdiri di kaki salib (Yoh 19:25-27). Pada saat penderitaan itu, Maria tidak meninggalkan Yesus, melainkan tetap hadir dengan seluruh konsentrasi hati keibuannya. Sikap ini menunjukkan sebuah totalitas pendampingan yang tuntas, sebuah kesetiaan yang tidak mengenal syarat.

Maria memberi tipologi pendidikan iman bahwa kesetiaan orang tua tidak berhenti pada keberhasilan anak, melainkan terus menyertai bahkan dalam penderitaan dan kegagalan. KGK 964 menegaskan bahwa Maria “bertekun dalam iman” dan dengan demikian menjadi teladan bagi Gereja. Bagi keluarga-keluarga, kehadiran Maria di kaki salib adalah inspirasi untuk menjadikan konsentrasi hati dan cinta kepada anak sebagai pusat pendidikan rohani dan moral.

Konsili Vatikan II melalui Gravissimum Educationis artikel 3 menegaskan bahwa “orang tua adalah pendidik pertama” dan bahwa keluarga adalah “sekolah pertama dari kebajikan-kebajikan sosial dan rohani.” Pernyataan ini menegaskan peran sentral keluarga sebagai tempat pertama pendidikan iman. Gereja melihat bahwa pembiasaan rohani dalam keluarga menentukan kualitas iman anak-anak di masa depan. Tanpa dasar iman yang kokoh dari keluarga, anak-anak mudah kehilangan arah dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan demikian, setiap keluarga dipanggil untuk menghadirkan kehidupan doa, perayaan iman, dan teladan kasih sebagai kurikulum rohani yang tak tergantikan bagi anak-anak.

Baca Juga:  Ketua Lembaga Biblika Indonesia Pastor Albertus Purnomo, OFM: Dibaptis dengan Roh Kudus dan Api

Fenomena zaman sekarang justru menunjukkan adanya krisis keteladanan iman dalam keluarga. Banyak orang tua tidak lagi menunjukkan teladan untuk masuk gereja, bahkan membiarkan anak-anak mereka tidak hadir dalam perayaan iman. Sikap ini berbahaya, sebab anak-anak cenderung meniru lebih cepat daripada sekadar mendengar nasihat. Yakobus 2:17 menegaskan bahwa “iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati.” Orang tua yang tidak menampakkan iman dalam tindakan, khususnya dalam kehadiran di gereja, sesungguhnya sedang membiarkan iman anak-anak mereka menjadi kering. Hal ini menunjukkan lemahnya kesadaran bahwa iman tidak hanya diucapkan, tetapi harus dihidupi.

Situasi lain yang tidak kalah memprihatinkan ialah anak-anak yang masuk Misa sementara orang tua tidak ikut serta. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ketegangan dalam diri anak yang kehilangan figur panutan iman. Anak-anak memang bisa setia pada Misa, tetapi mereka kehilangan penguatan teladan dari rumah. KGK 2225 menegaskan bahwa keluarga berperan sebagai “tempat di mana iman pertama kali diwartakan kepada anak-anak.” Tanpa partisipasi orang tua, iman anak-anak menjadi rapuh dan tidak mendapat dukungan yang utuh. Fenomena ini harus dikritisi sebagai bentuk kelalaian rohani yang perlu diperbaiki secara serius.

Perayaan Ekaristi sesungguhnya adalah fondasi utama iman yang membuahkan perbuatan baik. Yesus menegaskan dalam Yohanes 6:56, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” Dengan bersatu dengan Tubuh dan Darah Kristus, iman orang berakar dan menghasilkan buah dalam kehidupan sehari-hari. KGK 1324 menegaskan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh kehidupan Kristiani.” Anak-anak yang dibiasakan menghadiri Ekaristi akan tumbuh sebagai pribadi yang menghubungkan iman dengan tindakan nyata dalam hidup.

Baca Juga:  Penyuluh Katolik Berkolaborasi dengan Komunitas Doa Santa Faustina Melaksankan Pembinaan Iman di Rutan Wirogunan

Dogma iman mengajarkan bahwa persekutuan dengan Kristus dalam Ekaristi memiliki daya terobos yang mengubah hidup. Orang yang sungguh beriman akan memperlihatkan perubahan itu dalam perbuatannya. Yesus berkata dalam Matius 7:17, “Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik.” Hidup rohani yang dibangun dari Ekaristi menjelma dalam tindakan kasih sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, pembiasaan anak untuk setia pada Ekaristi berarti menanamkan sumber daya rohani yang akan menghasilkan buah-buah kebajikan sepanjang hidup mereka.

Pandangan akhir yang perlu ditegaskan adalah pentingnya hidup rohani dalam keluarga sebagai fondasi, inspirasi, dan daya terobos bagi iman anak-anak. Hidup doa bersama, kesetiaan pada Ekaristi, dan teladan kasih sehari-hari merupakan warisan yang tak ternilai dari orang tua kepada anak. Apabila keluarga gagal dalam hal ini, anak-anak akan mudah terombang-ambing oleh arus zaman yang penuh godaan.

Sebaliknya, keluarga yang setia menghadirkan pola pembiasaan rohani akan membentuk anak-anak yang kuat dalam iman, teguh dalam moral, dan siap menghadapi dunia dengan terang Kristus. Keluarga yang demikian menjadi saksi nyata bahwa pendidikan iman yang berakar dalam rumah tangga adalah jalan paling kokoh untuk membangun karakter anak yang utuh.

Pastor Yudel Neto, Sekretaris Komkep Keuskupan Atambua, NTT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles