Dia Eyangku

218
4.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com NAMAKU Febriani Wulandari. Aku diberikan nama demikian sebab aku lahir pada bulan Februari, dan nama Wulan itu diambil karena ketika aku lahir, mukaku bulat seperti bulan. Sangat gembil pipiku ketika diriku masih bayi.

Aku sering ditimang-timang dan digendong oleh seseorang yang sangat berperan penting dalam hidupku. Aku sudah dijadikan boneka Jepang olehnya. Karena dia pulalah, aku melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum.

Mari aku ceritakan tentang sosok itu. Dia adalah eyang kakungku. Eyangku ini keturunan darah biru. Di dirinya mengalir darah seorang pendekar Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, eyangku ini dikenal lelaki pemberani.

Jagoan berkelahi, tidak memliki urat malu. Semangatnya ialah semangat merah-putih. Siapa yang berani merecoki keluarganya, haruslah menghadapi tubuhnya dulu. Aku kagum sekali padanya. Postur tubuhnya yang tegap, dengan tinggi 175 cm, dan pandangan lurus ke depan. Eyang selalu membantu orang-orang yang berkesulitan.

Pernah suatu kali ia sebagai Pak RT, orang-orang memberikan uang padanya. Lalu eyangku berkata, “Untuk apa uang ini?”
“Ini, Pak, buat bikin KTP.”
“Eh, kamu itu hidupnya udah susah, udah sana pergi, saya minta formulirnya saja, uangnya ambil!”

Besoknya berduyun-duyun orang membawa durian, beras, dan lain-lain pada eyangku sebagai ucapan terima kasih karena eyangku sangat baik. Ketua-ketua RT sebelumnya jika ada urusan surat, KTP, KK, dan lainnya harus memberi uang, tidak bagi eyangku.

Itu sama saja korupsi. Nah, untuk imbalan balas budi seperti durian, beras, dan lain-lain, itu pun eyangku diam-diam mengembalikan dan membagikannya ke seluruh warga.
Satu hal lagi yang masih membuatku kagum padanya. Dia pernah menjadi wasit badminton. Kegigihannya yang mengantar dirinya menjadi wasit kepada posisi itu.

Pertama-tama, eyangku berpikir bagaimana caranya bisa ke GBK tiap hari tanpa bayar. Ia sangat menyukai olahraga bulu tangkis. Lalu secara mendadak, ia mendaftarkan dirinya untuk menjadi hakim garis. Lalu lama-kelamaan ia menjadi wasit di kancah nasional.

PON, Uber Cup, dan lain-lain semuanya diembat olehnya. Aku hanya geleng-geleng kepala tidak percaya sampai aku sendiri menemukan kartu tanda pengenalnya di tiap ajang olimpiade itu, ia masih menyimpannya dengan rapi dalam satu dompet.

Sama seperti aku… aku pun jika mengikuti sebuah acara kepanitiaan, kartu tanda pengenalku aku simpan dalam sebuah kotak. Apakah ini hanya sebuah kebetulan atau persamaan sifat keturunan?

***

Pada suatu ketika, saat itu aku masih duduk di bangku TK, aku menemani eyang kakungku itu pergi ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Ketika masuk ke dalam ruang operasi, aku menyaksikan jari kaki pria itu diamputasi.

Aku masih ingat bagaimana ia mengatakan ini dengan lembut kepadaku, “Eyang, gak apa-apa kok, gak sakit,”
Dia yang kutahu saat itu terkena kutu air, tetapi ternyata aku salah. Ketika mulai besar aku menyadari bahwa eyangku itu menderita penyakit diabetes.

Namun, eyang tidak pernah mengeluh merasakan sakit. Keluargaku merahasiakan ini padaku. Tiap setahun sekali aku pergi menemuinya ke Yogya. Eyangku sudah dari seminggu sebelumnya selalu menunggu kedatanganku di depan teras. Padahal aku baru datang ke Yogya minggu depan.

Ia pun juga menyuruh eyang putriku untuk memasak sop kesukaanku, dan eyang uti ku bilang “Keburu basi!” Hahaha. Lucu sekali.
Kebiasaan yang dilakukan aku dengan eyang kakungku antara lain memberi makanan ikan lele dan ayam, keliling sawah, dan hal lain-lainnya aku lakukan dengan eyangku. Tiap kali aku ke Yogya, aku selalu membawakannya sapo tahu dan ikan jambal roti, makanan
kesukaannya.

Pernah suatu kali aku menghilang di gereja di Yogya. Eyangku dan Bapakku mencariku di mana-mana. Tetapi ketika menemukanku, eyangku hanya berdiri dan tersenyum. Ia tidak memarahiku dan tidak mengucapkan satu patah kata pun.

Ada juga kejadian lain aku pernah terjatuh di kolam ikan waktu itu di sebuah restoran, lalu tubuhku basah semua dan eyangku justru tertawa. Dari situ aku diantar oleh Bapakku pergi ke suatu pasar untuk membeli baju.

Satu pesan yang selalu kuingat darinya adalah, “Nduk… Rambutmu jangan dipotong, ya…”
Dari 3 saudara sepupuku akulah satu-satunya yang berambut panjang. Eyang suka sekali mengelus-ngelus rambutku. Ketika mulai memasuki masa Pra-Paskah tahun 2007, eyangku menginap di rumah.

Aku pergi bermain dengan Sekolah Mingguku ke Ragunan, dan pulang dari situ, aku menyesal untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Aku ingat, ketika itu hari Kamis. Setelah pulang sekolah, aku dikejutkan oleh Bapakku yang tiba-tiba sudah di rumah. “Eyang meninggal Nduk,” ujarnya lirih.

Aku yang saat itu duduk di bangku kelas 3 SD, merasakan kehilangan yang begitu besar. Sesampainya di rumah Omku, aku melihat eyang tertidur didalam peti dengan mengulum bibir dan tangan terlipat. Tenang sekali.

Aku masih tidak percaya bahwa orang didepanku kini telah tiada. Begitu cepat hilang dari duniaku. Sepupu-sepupuku datang menghadiri. Bahkan hampir ribuan orang berdatangan ke rumah Omku untuk berbela sungkawa.

Tak ada isakan tangis lagi keluar dariku. Sampai di hari pemakaman sambil melempar tanah, justru aku yang melihat Bapakku mengeluarkan air matanya dengan memegang foto Eyang kakung. Tidak ada yang menemani kala liburan datang. Tidak lagi tiap tahun pergi ke Yogya.

Untuk itu, liburan kemarin aku kembali ke Yogya, hanya sekadar untuk mengisi waktu luangku dan memutar kembali masa-masa itu. Bernostalgia.

Terkadang, aku merasakan kesendirian ada bersamaku. Aku iri melihat anak-anak kecil yang sedang bermain dengan eyang mereka. Tetapi aku berani bertaruh, keberadaan Eyang selalu di sisiku. Aku belajar banyak hal dari eyangku. Ia memang orang yang keras, tetapi berhati baik.

Ia menuntunku, membukakan mataku pada dunia, bahwa masih banyak orang yang membutuhkan pertolongan untuk kembali ke jalan yang benar. Karena itu, aku menjalankan misinya. Aku percaya kini Eyangku sudah bahagia bersama Dia di Surga.

Bahkan aku seringkali bermimpi bahwa Eyangku tidak menggunakan kursi roda lagi. Ia bebas dari derita sakitnya. Ah Eyang… Rinduku padamu tak lekang oleh waktu…

 

Bernadetta Utomo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here