Bapa Suci Ikuti Jejak St Fransiskus Assisi, 800 Tahun Kemudian

1056
Santo Fransiskus dari Asisi bertemu dengan Sultan al-Malik al-K'mall. [Dok.Père Daniel Nourissat, Maroko]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.comGereja Katolik di Maroko telah mencatat bahwa lawatan simbolik Paus Fransiskus pada 30-31 Maret 2019 telah menandai peringatan 800 tahun perjumpaan antara Santo Fransiskus dan Sultan Al-Malik al-Kamil.

Kunjungan Paus Fransiskus di Maroko bertepatan dengan peringatan 800 tahun pertemuan antara Santo Fransiskus dari Assisi dan Sultan Al-Malik al-Kamil yang memprakarsai keinginan untuk berdialog dan membangun hubungan yang harmonis antara pemeluk agama Katolik dan Islam.

Simbol lain yang dapat digambarkan dalam situasi Gereja di Maroko, berkaitan dengan kunjungan Paus Fransiskus tersebut adalah bahwa peristiwa itu bertepatan dengan tahun Yubileum 800 tahun kehadiran Fransiskan di Maroko (1219-2019).

Atas undangan Raja Maroko, Mohammed VI dan Uskup Agung Rabat Cristóbal López Romero, SDB dan Uskup Agung Tangier Santiago Agrelo Martínez, Paus berada di Rabat untuk kunjungan akhir pekan (Minggu, 31/3/2019).

Baca: https://www.hidupkatolik.com/2019/04/02/34608/paus-fransiskus-di-maroko-gereja-tumbuh-karena-kesaksian-bukan-proselitisme/

Santo Fransiskus dari Asisi bertemu dengan Sultan Al-Malik al-Kamil
Delapan ratus tahun yang lalu, Santo Fransiskus dari Assisi dan rekannya, Illuminatus, yang konon dapat berbicara dengan beberapa orang Arab, pergi menjumpai Sultan Muslim al-Malik al-Kamil yang juga menjabat sebagai Sultan di wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir.

Sultan al-Malik al-Kamil adalah seorang Muslim yang taat, yang bisa saja membunuh Santo Fransiskus dari Assisi karena berusaha untuk mempengaruhi masuk agama lain (mualaf). Tetapi Sang sultan menyelamatkan hidup Santo Fransiskus.

Tidak diketahui secara pasti apa yang dibicarakan oleh Santo Fransiskus dan Sultan al-Malik al-Kamil saat itu, namun para ahli sejarah mengungkapkan bahwa Fransiskus telah membawa pulang seorang pria yang telah mengalami perubahan, dan ia juga begitu terkesan akan pengalaman perjumpaan dengan Sang Sultan.

Baca juga: https://www.hidupkatolik.com/2019/03/26/34284/menyusun-langkah-dialog/

Gereja Katolik di Maroko Memiliki Sejarah Panjang dan Kuno
Dalam sebuah sesi pengarahan media tentang kunjungan Paus Fransiskus ke Rabat, Maroko; Pere Daniel Nourissat dari Keuskupan Agung Rabat mengatakan bahwa kehadiran agama Kristen di Afrika Utara kembali lagi pada masa akhir abad kedua.

Ditemukan jejak-jejak kuno agama Kristen, sebelum kedatangan agama Islam di tempat-tempat seperti Tangier dan lainnya. Pasca terbentuknya Islam di Maghreb, juga terdapat komunitas-komunitas Kristen berskala kecil yang bertahan hingga abad ketiga belas di beberapa daerah, meskipun hierarki gereja lambat laun juga dirasakan mulai menghilang pada masa itu.

Pada tahun 1219, semasa hidup Santo Fransiskus dari Assisi, para Fransiskan pertama memasuki Kerajaan Maroko, atas permintaan Sultan Marrakech, untuk memastikan para tawanannya akan terus memiliki kebebasan beribadah.

Selanjutnya di tahun 1225, Takhta Suci ditunjuk untuk wilayah-wilayah di bawah kekuasaan seorang Uskup Dominikan bernama Almohad. Dari abad ke-14 hingga abad ke-17, misionaris Spanyol terus melakukan kegiatan kerasulan mereka di antara para tawanan Kristen.

1955: 200 Gereja Kristen Bertumbuh di Maroko
Seiring pesatnya pertumbuhan Gereja Katolik, pada tahun 1923 Paus Pius XI membentuk dua Vikariat Apostolik: satu di Rabat, untuk zona Protektorat Prancis, dan satu lagi di Tangier, untuk zona Protektorat Spanyol dan zona internasional Tangier.

Residen Jenderal Hubert Lyautey, administrator kolonial berpangkat jenderal di Angkatan Darat Perancis memastikan bahwa Gereja menghormati status “protektorat” Kerajaan Maroko dan tidak berusaha untuk menjadikan umat (beragama) Islam menjadi Kristen. Perlu diketahui pula bahwa pada tahun 1955, terdapat 200 Gereja Kristen untuk 500.000 warga Eropa yang tinggal di negara Kerajaan Maroko.

Paus Santo Yohanes Paulus II bertemu 80.000 Pemuda Maroko
Di era 1960-an dan 1970-an, ada inisiatif kuat tentang dialog antar-agama. Semua langkah inisiatif ini mencapai puncaknya dalam peristiwa bersejarah bagi Gereja di Maroko dan dialog Islam-Kristen ketika Paus Santo Yohanes Paulus II mengunjungi Casablanca pada 19 Agustus 1985.

Dalam kesempatan itu, Paus St Yohanes Paulus II mengadakan pertemuan yang tak terlupakan, di Casablanca, dimana sekitar 80.000 pemuda Maroko berkumpul di Stadion Mohammed V.

Namun demikian, dalam rentang 1975-1990 kita juga menyaksikan perpindahan besar-besaran umat Kristen dari Maroko, serta dengan kepergian banyak jemaat beragama dan penutupan Gereja-gereja, dimana beberapa di antaranya ada yang dihancurkan atau dijual. Banyak pula yang sebagian besar diserahkan kepada Negara.

Keuskupan dan otoritas Maroko memastikan bahwa Gereja dan institusi ini menjadi ruang budaya atau berkumpulnya komunitas. Terdapat 12 sekolah asrama untuk anak-anak Katolik, yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Maroko yang mengikuti sistem sekolah di Kerajaan Maroko.

Sejarah Protestan
Gereja Protestan memiliki sejarahnya tersendiri di Maroko semenjak didirikan pada tahun 1874 di Essaouira / Mogador. Selanjutnya di pertengahan abad ke-19, selain komunitas Anglikan yang mulai berdiri, juga ada pembangunan pemakaman non-Muslim (sekitar tahun 1850) serta pendirian Gereja Saint John (1906) di Casablanca yang masih ada hingga saat ini.

Pada tahun 1913 juga mulai terbentuk komunitas Protestan Prancis yang pertama di Casablanca.

Status Gereja Katolik di Maroko
Raja Hassan II (1984) pada masa itu mengingat semangat pengertian dan persaudaraan yang selalu menjadi karakteristik hubungan antara umat Kristen dan Muslim di Maroko, dan turut memberi status pada Gereja Katolik Maroko.

Melalui suatu ketentuan “Royal Dahir” (kekuatan legislatif) memungkinkan Gereja Katolik untuk menjalankan misi spiritualnya secara umum dan bebas.

Meskipun jumlah Umat Katolik tercatat hanya sekitar 33.000 warga, Gereja Katolik di Maroko, sampai pada hari ini sangat aktif, mencakup semakin banyak orang Kristen yang sebagian besar berasal dari negara-negara sub-Sahara di Afrika.

 

Sumber: vaticannews.va/Paul Samasumo dari Rabat, Morocco (diunggah 31/3/2019)
Penerjemah: Antonius Bilandoro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here