Anak Bertanya Soal Perceraian Orangtua

297
[Orami.co.id]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin yang baik. Saya adalah seorang ibu yang terpaksa bercerai dengan suami sekitar empat bulan lalu. Sebelumnya, kami hidup dalam ketidakcocokan selama sembilan tahun. Selama ini kami tak secara terbuka mengatakan adanya konflik di antara kami kepada anak kami yang berusia delapan tahun. Bagaimana saya harus menjelaskan jika anak saya bertanya mengapa orangtuanya bercerai? Terima kasih.

Ratna, Madiun.

Ibu Ratna yang baik, terima kasih atas pertanyaan Ibu mengenai pendidikan anak. Masalah yang Ibu alami dalam keluarga adalah sebuah tragedi yang tidak diinginkan dan merupakan situasi yang tak ideal, dan memang sulit untuk dijelaskan, khususnya kepada anak-anak.

Ajaran Gereja mengajarkan, perkawinan antara orang-orang Katolik bersifat kekal dan tak dapat diceraikan, kecuali oleh kematian. Ini adalah ajaran formal dan tak tergoyahkan. Ajaran ini harus dijelaskan seperti itu, meskipun ada masalah dalam pelaksanaannya di “lapangan”.

Ajaran mengenai kesatuan tetap dalam perkawinan Katolik harus disampaikan kepada siapa pun meskipun belum terlaksana. Pendidikan iman haruslah menyampaikan hal-hal ideal dan benar kepada generasi muda agar mereka juga belajar mengejarnya pada masa depan.

Ibu Ratna yang baik, penjelasan ideal ini memang suatu perjuangan tersendiri, khususnya ketika kita mengalami kebalikannya. Kita ingin memberikan pendidikan yang baik, tapi pada waktu yang sama menghadapi kenyataan yang sulit dan berlawanan dengan yang ideal itu. Dalam situasi ini, pendidikan iman dan sikap bijaksana harus berjalan bersama.

Jangan mulai dengan pembohongan, tapi bersikaplah bijaksana untuk menyampaikan kenyataan kepada anak-anak yang belum siap memahaminya. Ini menjadi tips mendidik anak kecil dalam situasi yang sulit. Mengatakan perpisahan tak harus dengan menjelaskan perceraian; mengatakan sebab secara gamblang; atau bahkan mengajak anak untuk membenci dan mempersalahkan orangtuanya itu.

Hal lain, mengenai bahasa yang kita gunakan. Barangkali kita dapat menggunakan kata-kata yang formal agar nuansa edukasi atau pendidikan terjamin dalam proses pemberian informasi itu. Menggunakan kata “perpisahan” atau “tragedi” memang tak mudah ditangkap oleh anak di bawah sepuluh tahun, tapi kata itu kita maksudkan agar tak menutupi masalah dan juga mengurangi luka batin anak karena kata-kata yang terlalu emosional dan “kasar”.

Hal yang masih perlu dipikirkan adalah bagaimana mengurangi akibat perceraian atau perpisahan itu bagi anak-anak agar tak bersalah. Jika mungkin, anak-anak masih boleh bertemu dengan orangtua yang terpisah sehingga perpisahan tak menambah pengalaman emosi yang negatif terhadap hidupnya. Jika memang tak mungkin atau membahayakan, maka diusahakan suatu pendekatan yang halus sesuai usianya.

Ambillah waktu bersama, ajaklah bicara serius tapi santai tentang perpisahan Anda. Katakanlah bahwa sebenarnya Tuhan mengharapkan perkawinan itu haruslah tak terpisahkan, tetapi Bapak dan Ibu terpaksa tak hidup dalam satu rumah lagi karena hidup bersama masih sangat sulit saat ini, sehingga Bapak dan Ibu perlu belajar untuk semakin mencintai satu sama lain.

Jawaban ini memang tak memadai saat ini. Namun, suatu saat sesuai usia, kita bisa semakin menjelaskan kenyataan kepada anak kita. Bagaimanapun, saya tetap berharap Ibu dan Bapak mempertimbangkan lagi keputusan untuk berpisah, karena bagaimanapun anak-anak menjadi korban dari erpisahan itu.

Alexander Erwin Santoso MSF

HIDUP NO.16 2019, 21 April 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here