Camille Desveaux dan Guilemette de Nortbecourt : 5000 Kilometer Mencari Allah

168
Guillemette dan Camille bersama seorang istri kepala desa Kocahidir, Turki.
[Pastor Emanuel Kadang]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Duo gadis ini berani menanggalkan segalanya demi mencari wajah Allah. Mereka melangkah dari Paris menuju Yerusalem; berjalan kaki selama tujuh bulan sejauh 5000 kilometer.

Petualangan dimulai dari Paris, Perancis. Perjalanan ini sudah ada di benak Camille Desveaux sejak berusia 14 tahun. Itu mimpinya, yang tertutup rapat di dalam laci; tak pernah ia bicarakan kepada siapapun. Tiga tahun lalu, ia baru membuka laci mimpinya dan membicarakan dengan orangtuanya. Memang tak perlu waktu banyak untuk meyakinkan orangtuanya, namun butuh waktu untuk memulai mimpi itu.

Sampai ketika Camille kuliah. Ia bersua Guilemette de Nortbecourt. Mereka berkarib. Tapi Camille masih menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan “proyek mimpinya” kepada Guilemette. Saat mereka lulus kuliah dan memilih tinggal di apartemen yang sama, Camille membuka rencana petualangan itu.

Gayung bersambut. “Pada saat yang sama, saya juga mencari yang absolut, saya haus akan Allah,” ujar Guilemette. Mereka pun merajut mimpi yang sama. Gagasan peziarahan dengan berjalan kaki disampaikan kepada seorang imam, Pastor Louis Hervé Guiny. Mereka tak ragu dengan gagasan itu. Camille dan Guilemette pun membuat rencana selama sepekan.

Dari Paris
Senin, 10 September 2018, pukul 08.00 pagi waktu setempat. Mereka meminta beberapa pastor merayakan Ekaristi untuk mengawali peziarahan mereka. Orangtua, tiga saudara perempuan Camille dan empat dari sepuluh saudara lelaki Guillemette hadir dalam Misa. Usai Misa, mereka mulai melangkahkan kaki pertama disaksikan keluarga dengan mata berkaca-kaca penuh rasa khawatir.

Empat hari pertama, Camille dan Guilemette belum menemukan masalah yang berarti. Mereka belum jauh dari Paris. Mereka kadang berhenti sejenak di rumah teman atau kenalan mereka.

Petualangan sesungguhnya baru mereka rasakan pada hari kelima. Mereka mulai berkelana di negeri entah berantah. Mereka tak tahu akan membaringkan badan di manakala hari beranjak malam. Apalagi tak ada satu koin pun di saku mereka. “Itu memang pilihan kami,” kata Guillemette, “Kami ingin menanggalkan segala sesuatu, dan menyerahkan diri kepada kehendak Allah, karena Dialah yang membuat perjalanan ini terjadi.”

Mengemis
Ini masih hari kelima. Untuk pertama kalinya, mereka harus “mengemis”, memohon keramahtamahan orang. Beberapa kali mereka mengetuk pintu rumah. Beberapa kali pula mereka ditolak. Namun, mereka tak menyerah. Ketuklah, maka kau akan dibukakan pintu. Itulah tekad mereka untuk terus berusaha sampai dibukakan pintu kemurahan.

Dalam perjalanan ini, Camille menemukan banyak perjumpaan. “Saya terkejut dengan kebaikan yang luar biasa dari orang-orang yang kami jumpai. Kadang kebaikan itu tersembunyi dalam lubuk hati yang dalam, dan hanya perlu diketuk agar menemukan jalan keluar,” katanya seperti dilansir vaticannews.va, awal Juni lalu.

Seperti peziarahan derita Yesus menuju Golgota, Camille dan Guilemette bersua dengan perempuan bernama Veronica yang membukakan pintu rumahnya. Malam itu, mereka pun bisa berbaring dengan nyenyak. Besok paginya, mereka sarapan dan bercengkerama dengan Veronica.

Malam berikutnya, setelah melintasi Swiss, Pegunungan Alpen di Italia, Slovenia, dan Kroasia, mereka tiba di Bosnia Herzegovina. Di sana, Camille dan Guilemette disambut Pierre, seorang Serbia berusia 80 tahun yang tak bisa berbahasa asing. Untunglah, putrinya Slavica tahu beberapa kata bahasa Inggris. Pierre pun setuju menjamu dan memberi tempat istirahat bagi Camille dan Guilemette. “Ketika bangun keesokan harinya, kami melihat Pierre tidur di sofa. Ternyata kami tidur di tempat tidurnya. Saya sungguh tak tahu, apakah saya bisa melakukan hal yang sama,” ujar Camille.

Peziarahan mereka terus berlanjut hingga di kawasan Balkan. Musim dingin membuat badan mereka menggigil. Namun, kemolekan panorama mengantar mereka untuk sujud syukur atas karunia Allah ini.

Bersua Perbedaan
Dengan ransel seberat sepuluh kilogram, mereka terus berjalan memasuki kawasan Turki. Suasana berbeda mulai mereka rasakan. Mereka tak khawatir dengan keselamatan mereka. Tapi, tatapan mata para lelaki seolah berbicara lain. “Mungkin mereka mengira kami ini pelacur yang sedang mencari tumpangan. Maka, kami mulai berhenti tersenyum dengan semua orang,” kisah Guillemette.

Turki memang memberikan tantangan bagi peziarahan mereka. Tapi di situ pula mereka menjumpai kebaikan yang dibalut dalam suasana perbedaan. Mereka disambut dengan penuh keramahtamahan di desa-desa yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Setiap kali bersua orang yang memberi kemurahan, daftar nomor kontak di smartphone mereka bertambah. Camille dan Guilemette sengaja hanya membawa satu smartphone untuk mengirim pesan kepada keluarga mereka. Kini, smartphone itu bagaikan utas yang mengikat tali persaudaraan mereka dengan orang-orang yang pernah memberi kemurahan hati kepada mereka. Di smartphone itu pula tersimpan ratusan foto kenangan peziarahan mereka.

Di Tanah Suci
Sebelum memulai peziarahan, Camille dan Guilemette sadar tak akan bisa melewati kawasan Suriah, lantaran dilanda perang. Mereka pun mesti menghentikan langkah kaki, dan beralih menumpang pesawat terbang. Semua tiket sudah mereka persiapkan.

Mereka mendarat di Tel Aviv; mendekati Yerusalem. Sudah tujuh bulan berlalu, dan tujuan mereka ada di depan mata. Camille dan Guilemette memutuskan melanjutkan berjalan kaki dari selatan. Mereka mencapai desa kelahiran Sang Penebus, Betlehem.

Camille dan Guilemette mendaki Bukit Zaitun. Mereka ingin segera menatap Yerusalem yang belum pernah mereka lihat. Mereka menggapai puncak Zaitun dan memandang Yerusalem yang telah mereka nantikan selama peziarahan ini.

“Akhirnya!” Camille dan Guilemette berteriak tatkala menatap Yerusalem. Mereka mulai turun menuju Yerusalem, tapi berhenti sejenak di Taman Getsemani. Lantas, mereka menyusuri Kota Tua, menyeberangi Suk, mendaki Via Dolorosa menuju Makam Suci, dan meninggalkan Gerbang Herodes. Akhirnya, mereka bisa meletakkan ransel mereka di Biblical School. Seorang imam Dominikan menyambut mereka dengan antusias.

Sabtu, 13 April 2019, mereka berhasil menggapai mimpi. Mereka telah berjalan sekitar 5000 kilometer. Sekarang waktunya mereka beristirahat.

Berjalan Lagi
Selama sepuluh hari, Camille dan Guilemette berada di Tanah Suci. Mereka amat bahagia. Wajah mereka selalu menebarkan sukacita.

Mereka telah berani menanggalkan segala untuk menjumpai wajah Allah yang hadir dalam aneka rupa selama peziarahan dari Paris sampai Yerusalem. Camille berani meninggalkan pekerjaannya demi peziarahan ini. Pun Guillemette yang rela melepaskan pekerjaan sebagai seorang perawat orang-orang berkebutuhan khusus.

Lantas, setelah peziarahan ini, apa yang akan mereka lakukan? “Allah selalu punya rencana,” jawab mereka singkat. “Saya sering berpikir ingin kembali ke Pierre, orang Serbia berusia 80 tahun yang memberi kami tempat tidurnya,” kata Camille.

Apakah kalian akan melakukan peziarahan lagi?

“Tentu saja!” jawab Camille sembari tersenyum.

“Ya… Kami akan melakukan bersama lagi,” timpal Guillemette penuh keyakinan.

Y. Prayogo

HIDUP NO.28 2019, 14 Juli 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here