Paroki St Bartolomeus Taman Galaxi : Peka pada Lingkungan Sekitar

1401
Tampak depan gedung gereja Paroki Santo Bartholomeus Taman Galaxi, Bekasi.
[Dok. Karina Chrisyantia]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Menetap di kawasan yang intoleransinya cukup kuat, Paroki Taman Galaxi tetap menjaga kerukunan antaragama.

Kawasan Galaxi Bekasi paling hidup ketika warna lembayung menghiasi langit. Pada sore hari, banyak pedagang kaki lima yang mulai menata barang dagangannya di gerobak bahkan di pinggiran jalan. Umumnya, mereka berdagang makanan dan minuman untuk menemani masyarakat melewati malam. Benar, kawasan ini terkenal ramai dengan kulinernya di malam hari.

Sembari menyiapkan barang dagangannya, mereka disuguhkan puji-pujian dan khotbah yang berasal dari pelantang suara Gereja Santo Bartolomeus (Sanbarto) yang akrab disebut Paroki Taman Galaxi. “Pelantang suara di gereja memang kencang agar ada umat yang sedang Misa dan duduk diluar bisa tetap mendengar,” ujar Pastor Kepala Paroki Taman Galaxi, Thomas Bani SVD. Walaupun demikian, tampak masyarakat sekitar tidak terganggu dengan suara-suara yang dihasilkan oleh pelantang suara paroki. “Jika untuk Misa harian dan Sabtu-Minggu, puji Tuhan belum ada yang mengeluh, tidak ada yang terganggu kalau masih sore begini,” ungkap Pastor Thomas.

Sebagaimana kondisi akhir-akhir ini dengan menurunnya toleransi pada masyarakat, Pastor Thomas sungguh bersyukur Gereja Sanbarto tetap berdiri dengan kondisi yang cukup kondusif. Hal ini dikarenakan lokasi gereja ada di daerah pengembang. “Gereja dibangun bersamaan pembangunan perumahan yang ada di sini, jadi perhatian pembangunan gereja saat itu luput dari penglihatan masyarakat setempat, maka pembangunan cukup lancar, ” imbuh Pastor Thomas.

Tercatat Gereja Santo Bartolomeus resmi berdiri pada 20 September 1995. Menurut Pastor Alexius Dato L SVD, pastor yang saat itu menjabat sebagai pastor kepala, Paroki Taman Galaxi lahir tanpa banyak persoalan. Sama seperti kondisi ketika seorang ibu melahirkan anaknya. Kesusahan hanya sementara saat melahirkan tetapi yang akan berkepanjangan saat memeliharanya.

Sadar akan hal tersebut, Pastor Thomas menghimbau umat tidak hanya memelihara dan memperhatikan lingkungan gereja saja, tetapi juga lingkungan sekitar. Hidup bersama adalah sifat yang tidak bisa dihilangkan oleh manusia. Maka dari menyapa mereka yang non Katolik menjadi salah satu hal wajib yang harus dilakukan umat.

“Kami kerap kali mengadakan halal bi halal, kemudian untuk perayaan Idul Adha nanti kami juga berpartisipasi menyumbang hewan kurban. Kami juga diundang untuk menyaksikan pemotongan hewan kurban,” jelas Pastor Thomas.

Tidak hanya itu, Pastor Thomas mengatakan ada beberapa umat yang menjadi tokoh masyarakat seperti menjadi ketua RT/RW juga OMK yang bersedia menjadi tenaga pengajar gratis yang mengajarkan beberapa anak di kampung sekitar. Jika ada tetangga mereka sakit, biasanya Pastor Thomas ikut menjenguk.

Seiring berjalannya waktu, sudah 24 tahun Paroki Taman Galaxi berproses menjadi paroki yang ramah bagi sekitarnya. Namun sempat suatu kali, ungkap pastor Thomas, tiga tahun lalu Gereja Sanbarto mendapat peringatan dari masyarakat setempat karena telalu ramai saat mengadakan acara tutup tahun. “Saat itu memang kami menggunakan terompet, jadi berisik,”akunya.

Keesokannya, Pastor Thomas didatangi oleh ketua RT setempat yang meminta untuk tidak terlalu bising dan menganggu warga. Demi menjaga ketenangan itu pula, Pastor Thomas membuat kebijakan untuk tidak membunyikan lonceng yang terletak di samping gedung gereja saat Perayaan Ekaristi Paskah dan Natal di malam hari. “Kami menyesuaikan diri tidak hanya untuk umat di gereja tetapi umat yang di luar gereja. Inilah cara kami untuk hidup bersama,” ujarnya.

Karina Chrisyantia

HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here