SOULMATE

445
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM BAGAIMANA pandangan Gereja terhadap konsep “soulmate” (belahan jiwa)?

Acintya Litani, Jakarta

Acintya yang baik, istilah soulmate tentu popular menjelang hari-hari Valentine. Biasanya soulmate diartikan seseorang yang akan menjadi pasangan ideal dan harmonis. Pertemuan dengannya terjadi secara kosmik, bagaikan ada kontak batin, sehingga cocok, rukun, tanpa pertengkaran dan sehati sejiwa dalam segala hal. Itulah pengertian umum soulmate: belahan jiwa yang sudah “ditakdirkan” dari sono-nya, untuk menjadi pendamping hidup yang sejati.

Dalam dunia yang penuh keterpecahan ini, soulmate makin dirindukan. Orang bilang, semakin tidak gampang hidup berkeluarga. Pertengkaran dan perceraian menjadi terlalu umum. Bahkan, pasangan yang nampak ideal bagaikan Romeo dan Juliette pun tidak luput. Jadi, kerinduan akan soulmate menjadi semacam utopia. Adakah sungguh-sungguh soulmate itu?

Asal-usul istilah soulmate se­sung­guhnya beragam. Ada yang menghubungkannya dengan kepercayaan akan inkarnasi jiwa. Di sini, sosok soulmate dipercaya sudah hidup di masa lalu, namun kemudian terpisah dalam perjalanan. Dalam pengembaraan inkarnasi, jiwa terus membawa karakternya, sampai menemukan pasangannya kembali. Konsep ini memahami, bahwa jiwa bisa melewati berbagai periode kehidupan dan batasan wilayah. Jiwa merindu untuk bertemu dengan kekasihnya, yang akan membawanya hidup berbahagia selama-lamanya.

Latar belakang lebih kuat lagi datang dari dunia esoteric, new age, yang mengagungkan keharmonisan dan pencapaian ke­sempurnaan diri secara otonom. Menurut pandangan ini, secara spiritual sebelum lahir kita mempunyai pasangan spiritual, belahan jiwa, setengah jiwa kita yang terpisah. Karena merupakan belahan jiwa, secara spiritual seorang terarah padanya. Tetapi “spiritual” di sini jangan dimengerti sama dengan dalam tradisi kekristenan. Seringkali, spiritual dihubungkan dengan pengaruh kosmik atau zodiac, yang menentukan cocok tidaknya pasangan.

Soulmate akan membuat seseorang lengkap, utuh dan mencapai misi yang “tertanam” dalam dirinya. Misi itu tidak dapat dipenuhi sendirian. Ia membutuhkan pasangannya, yang membuatnya melampaui dirinya, dan menggenapi misi itu. Soulmate bersifat spiritual, tak terlihat secara kasat mata, tetapi dalam kejernihan batin orang menemukannya, dalam tanda-tanda kecocokan satu sama lain.

Gereja tidak sependapat dengan konsep soulmate dengan latar belakang itu. Pertama, kita tidak percaya takdir dan konsep lingkaran inkarnasi. Hidup kita hanya sekali dan kita semua dipanggil kepada kehidupan kekal. Setelah mati, kita tidak kembali dalam lingkaran kehidupan berulang.

Kedua, Tuhan tidak menciptakan kita dalam kondisi setengah penuh saja. Sehingga untuk menjadi sempurna, kita harus mencari belahan jiwa tadi, yang ditetapkan bagi kita. Kalau kita dipanggil pada kepe­nuhan, kepenuhan kita tidak terbatas pada ciptaan ini saja dan penga­ruh-pengaruhnya, tetapi ke­pe­nuhan terjadi berkat rahmat Tuhan, sebagai anugerah yang di­sambut dengan bebas. Itulah sebabnya Tuhan menciptakan kita sebagai citra Allah, dengan akal budi dan kehendak bebas, yang memungkinkan kita memilih dan mencintai pilihan itu dengan segala konsekuensinya.

Jadi, adakah pasangan yang serasi itu dalam pandangan Gereja Katolik? Pasangan serasi seperti konsep belahan jiwa, apalagi yang hanya satu dan ditakdirkan dari sononya, tidak ada. Sebaliknya, pasangan yang sejati adalah buah pilihan sadar dan bertanggungjawab, yang dicintai dengan sepenuh hati dan dengan bantuan rahmat Tuhan.

Pasangan sejati bukan hasil takdir, melainkan anugerah rahmat Allah yang adalah sumber cinta dan buah pilihan bebas manusia. Dalam pilihan itu termasuk juga panggilan untuk terus belajar saling mencintai, untuk meninggalkan diri dan untuk memberikan diri dengan setia.

HIDUP No.07 2020, 16 Februari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here