Pisang

260
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tiba-tiba saja jagoanku, Bimo  pengin cepat-cepat pulang dengan muka nggak senang berlama-lama di gereja. Tumben…. baru kali ini dia begitu. Biasanya kamilah yang pulang duluan karena dia tidak mau diajak pulang. Kami memang biasa ikut Misa kedua yang memang banyak anak-anak, sering identik dengan Misa anak. Kalau orangtua ikut pasti tidak nyaman
karena tidak bisa khusuk berdoa. Ada-ada saja ulah anak-anak ini. Ada yang berlari-larian, mungkin karena tinggal di apartemen yang nggak ada tempat berlarian, pelampiasannya di gereja.
Apalagi kalau sudah ketemu teman sekolahnya.

Bimo seperti anak- anak lain teman sebaya dan sesekolah pasti lepas bebas. Sejak diajak untuk ikut PPA dia makin kerasan di gereja. Hari Minggu
merupakan hari yang dinantikan karena dia akan bebas. Romo Anton yang baru ditahbiskan tiga tahun lalu menjadi idolanya. Bimo ini biasa mengintip jadwal Misa maka bisa tahu persis kalau yang mempersembahkan misa itu Romo
Anton.

Gereja menjadi lebih berisi kalau Romo Anton yang mempersembahkan Misa. Ganteng pasti, ini jadi daya tarik siapa saja, terutama anak OMK dan mama muda. Bahkan komunitas adiyuswa pun
ingin disapa Romo Anton.

Romo Anton ini dekat dengan anak-anak, termasuk Bimo anakku. Sebenarnya bukan cuma Bimo tapi banyak anak lain yang menjadi dekat. Romo Anton
dengan persetujuan Romo Gani sebagai Pastor Kepala memberi izin kalau anak-anak ini boleh keluar-masuk pastoran dengan leluasa dan bebas. Tujuannya memperkenalkan apa yang dilakukan
romonya. Ini promosi panggilan juga. Mereka yang mengenal merekalah yang akan menyayangi. Diharapkan nanti ada yang tertarik masuk seminari pada waktunya.

Tidaklah heran kalau Bimo dan teman-temannya ini seperti penghuni tetap pastoran usai Misa. Romo Anton membagi kue atau buah-buahan yang
memang banyak dari persembahan umat. Anak-anak inilah yang menjadi penampung, karena tidak akan mungkin makan semua persembahan umat. Jeruk, pisang, apel itu pasti ada. Anak-anak menjadi riang. Hanya umat yang protes karena persembahan dikhususkan untuk romo tetapi yang makan anak-anak.

Namun, aneh bin ajaib kalau Bimo tiba-tiba tidak mau ke pastoran, tidak mau bersama-sama teman-temannya lagi. Ini pasti ada sesuatu yang mengusik hatinya. Memang Bimo anak yang sensi, seperti ibunya.

Aku merasa semakin aneh ketika kutanya kenapa enggak main ke pastoran dulu, main dengan teman-teman dan Romo Anton. “Enggak,” katanya
datar. Dan dari gesture tubuhnya ada kebencian dengan semua yang ada di pastoran. Ketika Romo Anton mendekat dan menyapa kami, Bimo memilih bersembunyi di belakangku.

“Romo Anton jahat,” gumannya.

“Kenapa,” tanyaku menyelidik.

“Pisang,” katanya. Bimo lalu diam menutup komunikasi. Tinggal akulah yang harus menafsirkan kata “Pisang”. Pisang apa? Pisang mana? Pisang beneran atau kiasan?

Aku harus menyelidiki kenapa bisa demikian bertolak belakang. Dari senang sekali menjadi benci sekali.

Di tengah kegalauanku ada WA masuk dari rekanku Astrit. Isi WA membuat aku bergidik. Membayangkan apa yang dialami Bimo. Diam-diam aku memperhatikan Bimo semua tingkah
lakunya. Apakah bolak balik ke WC? Mengurung diri di kamar? Murung? Nggak mau berkomunikasi dengan orang dewasa? Aku juga periksa pakaian
dalamnya.

Aku jadi keranjingan mencari informasi. Aku berselancar mencari tahu bagaimana bisa terjadi seperti itu. Sampai seorang Paus harus mohon maaf kepada para korban atas apa yang dilakukan oleh para klerus. Aku juga mulai rajin mencari tahu hukum Gereja yang berkaitan dengan itu. Termasuk bagaimana prosedur melaporkan seorang romo jika sampai melakukan tindakan seperti itu.

Buku-buku Protokol Perlindungan Anak aku lahap habis. Bagaimana menyeret mereka yang menjadi predator yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak ini. Aku juga minta pada orangtua dari teman-teman Bimo agar hati-hati, tidak melepas begitu saja kalau keluar-masuk pastoran tanpa orang lain. Tanpa orang dewasa. Kami bertukar informasi lewat WAG. Kami sebagai orangtua korban harus bertindak sesuatu agar tidak lebih banyak korban berjatuhan.

Lewat diskusi di WAG, kami sepakat berbagai peran, siapa yang ketemu para pakar, siapa yang ketemu Romo Gani selaku Pastor Kepala, siapa yang ketemu provisial, bahkan sudah mencari celah bisa ketemu uskup. Kami-kami tidak ingin
yang terjadi di negeri Paman Sam terjadi juga di sini di paroki tercinta ini.

Akulah yang mengambil inisiatif sementara tidak usah ke gereja ini, memilih ke gereja tetangga dulu yang tak tidak begitu jauh dari rumah. Suamiku
dan Tera, kakak Bimo yang lalu protes. Kenapa harus ke gereja sebelah. Hanya aku dan Bimo yang mengepalkan tangan dan bilang yes tapi dalam hati. Aku melihat mata Bimo berbinar senang tidak ketemu Romo Anton dan romo-romo yang mempersembahkan misa di sini.

Sembari nyetir suamiku ngomong, “Sebagai aktivis gereja apa kata orang-orang kalau ketahuan ke gereja sebelah tidak ke gerejanya sendiri. Mendorong umat untuk ke gerejanya sendiri dan
mengecam mereka-mereka yang ke gereja lain , malahan dirinya sendiri ke gereja lain. Mau ditutupi dengan apa muka ini.” Aku pura-pura enggak
mendengar sembari aku besarkan volume radio yang melaporkan kemacetan di sekitar Monas.

Aku memang belum cerita mengenai perubahan yang terjadi pada diri Bimo. Aku cuma takut suamiku akan memberlakukan cara adat untuk
menyelesaikan masalah. Akan jadi viral kalau seorang pastor digebuki oleh umatnya sendiri dan alasannya itu pasti akan mencoreng seluruh umat katolik.

Aku harus hati-hati soal ini. Mencari saat yang tepat untuk ngomong dengan suamiku. Aku pakai cara pura-pura salah kirim ke WAnya. Ternyata umpan pancinganku dimakan.

“Kenapa sih ngurusi soal-soal para klerus yang jauh di sana. Itu sudah diurus kan,” kata suamiku.

“Justru itulah yang harus diwaspadai di sini di negeri ini karena orang-orang di sini tidak seterbuka orang-orang di sana. Orang di sini mengganggap para klerus itu manusia setengah dewa yang tak bisa salah. Dan kalaupun ada kasus
dengan umatnya pasti umatnya itu yang dianggap error. Umatnya yang salah. Umatnya yang “bocor alus” bukan para klerus. Masyarakat kita masih sungkan berkasus dengan para klerus karena bias-bisadirinyalah yang dibully orang sekeuskupan.”

Aku merasa suamiku ada dipihakku untuk melaporkan Romo Anton atas perlakuannya yang melecehkan Bimo dan anak-anak PPA lainnya. Saya sedang mengumpulkan para korban. Supaya
mereka mau bicara. Tujuannya agar tidak merembet ke yang lain. Tidak ada korban lain. Mereka ini dalam masa peka perkembangan hatinya. Kalau sampai di usia sebelum dua belas tahun itu terluka akan terbawa seumur hidup dan ini sangat berbahaya bagi perkembangan selanjutnya.

Setelah rundingan kami bersepakat untuk memulai investigasi dengan menanyai Bimo. Ini yang sulit karena dia cenderung bungkam ketika diajak bicara tentang Romo Anton. Ini menambah
kecurigaan kami. Aku ingat dia paling senang makan pizza. Maka kami ajak makan. Di tengah makan aku sentil soal romo Anton.

“Itu, Ma, gara-gara pisang,” katanya enggan.

“Pisang?”

“Diapain sama Romo Anton? Kamu diam saja, enggak melawan?”

“Bimo-Bimo …..Mama kan sudah bilang kalau ada yang melecehkan kamu, siapa pun itu Bimo lawan, berteriak supaya orang-orang di sekitar tahu dan
menghentikan aksinya. Kamu disuruh apa sama Romo Anton?”

“Bimo jengkel dimarahi Romo Anton.”

“Kok malah Romo Anton yang memarahi kamu harusnya kamu yang marah karena perlakuan Romo Anton,” kataku sewot.

Untunglah kami ada di bagian yang agak tersembunyi hingga nada tinggi suara kami tidak mengganggu yang lain.

“Coba cerita,” kata suamiku sebagai penengah suasana yang panas.

“Itu pa waktu itu kan Bimo sama Reza main di pastoran. Romo Anton kan piara burung itu. Nah romo ngasih pisang ke kami untuk dikasih ke burung. Itu Pa, pisang yang sering mama goreng. Lalu pisang itu kami makan, saya satu dan Reza satu. Romo Anton marah, “Kalau kamu mau pisang itu yang ada di meja makan, itu pisang khusus untuk makan burung!”

“Jadi Romo Anton itu marah karena kamu makan pisang yang harusnya untuk burung tetapi kamu makan?” tanyaku.

“ Iya, Ma…. “ jawab Bimo.

“Terus kamu marah sama Romo Anton?” tanyaku lagi.

Bimo hanya tertunduk dan mengangguk-angguk.

“ Bimo … Bimo…..??!!!?”

Nicolas Widi Wahyono

HIDUP NO.03 2020, 19 Januari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here