Reformasi Pendidikan

237
Ilustrasi
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM— Isu dan harapan reformasi (pembaruan) pendidikan yang santer berembus pada awal-awal kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, rupanya perlu didesakkan kembali saat ini. Menteri Nadiem Makarim diharapkan membawa angin segar dalam suasana kegiatan ajar-mengajar yang mengekang. Reformasi pendidikan yang diharapkan masyarakat adalah membongkar sampai ke akar-akarnya, mulai dari filosofi, metodologi, evaluasi sampai hasil kegiatan ajar-mengajar. Berita utama halaman 1 Jakarta Post, 13 Agustus yang lalu memakai kata eufemistis allow (membolehkan, mengizinkan)–rasanya lebih tepat dengan force (mengharuskan)—education reform (pembaruan pendidikan). Pandemi mengubah semua secara serentak.

Namun menteri yang relatif berusia muda, yang telah membuktikan keberhasilan dan kepiawaiannya sehingga kredibel,  cerdas dan cepat memahami euforia publik. Dia tidak terbawa tamsil “ganti menteri ganti kurikulum dan kebijakan”. Dia sengaja pilih tidak membongkar praksis pendidikan sampai ke akar-akarnya. Tugas yang dibebankan di pundaknya sangat berat, selain tanggung jawab membawa manusia Indonesia ke masa depan dengan pengetahuan dan keterampilan setara negara-negara maju, juga pemahaman bahwa praksis pendidikan tidak berada dalam ruangan vakum-kosong. Dalam ruang itu berisi kebiasaan, praktik dan manusia-manusia yang sudah mengakar bertahun—tahun, utamanya dengan apa yang sudah berjalan sejak Indonesia merdeka. Praksis pendidikan yang tidak pernah bisa memenuhi harapan masyarakat.

Merujuk reformasi pendidikan sesuai harapan masyarakat di satu pihak dan membawa generasi muda Indonesia ke masa depan di lain pihak, Nadiem sengaja tidak menyentuh filosofi pendidikan yang tak pernah selesai diwacanakan, tidak membongkar kurikulum yang sepanjang sejarah kemerdekaan negara ini membuat menterinya tidak pernah lekang kritik. Reformasi pendidikan dia lakukan dengan melakukan perubahan metodologi dan sarana infrastruktur dalam sistem belajar—dari tatap muka ke online, memberi kelegaan peserta didik, guru dan orangtua dengan penghapusan (sudah dan akan) ujian nasional, memperbaiki sarana infrastruktur dengan bekerja sama kementerian terkait. Merdeka belajar menjadi jargon.

Nadiem menohok tiga butir pokok reformasi (perombakan) pendidikan, selain kurikulum dan guru. Ajar mengajar dan hasilnya merujuk ke PISA. Diintrodusir konsep dan pelaksanaan guru penggerak, sekolah penggerak, dan organisasi penggerak.

Menyampaikan Realitas

Kita dukung program-program itu. Belum saatnya kita katakan gagal atau berhasil ketika program-program sedang digulirkan, melainkan tidak ada salahnya menyampaikan realitas. Keberagaman (kemajemukan) Indonesia tidak sekadar diamini dan disyukuri seperti selama ini, tetapi harus diatasi, bukan dengan menghapuskan keberagaman tetapi memanfaatkannya sebagai kelebihan yang kita miliki.

Tidak mudah memang. Amerika Serikat yang konon berhasil memenangi kondisi keberagaman pun, yang ratusan tahu pengalaman bernegara dan berbangsa, belakangan kewalahan dengan apa yang dialami. Setlah ratusan tahun ada Jhon Bidden, balon presiden AS berdampingan dengan Kamala Harris –pertama balon wapres dari kulit hitam, sebelumnya Barrack Obama sukses sebagai Presiden AS, baru terjadi setelah ratusan tahun. Di saat yang sama, isu rasisme putih vs hitam dihembuskan dan diledakkan di saat ada kesempatan seperti belum lama ini, atau dipakai untuk tujuan politik seperti menggusur Presiden Donald Trumph.

Tidak ada maksud membandingkan keberagaman AS dan keberagama Indonesia sebab masing-masing unik. Contoh AS diangkat, hanya untuk menunjukkan bahwa memenani (dalam arti memanfaatkan) keberagaman itu tidak mudah. Keberagaman kita sampaikan kembali sebab realitas itu dalam kenyataan sering diabaikan. Praksis pendidikan (praktik dan refleksi) selama ini—ditambal dan disulam dengan berbagai kebijakan–mulai dari filosofi hingga praktik di lapangan konkret, tetapi  melupakan faktor keberagaman sebagai payung. Kebijakan seolah-olah membenarkan seloroh birokrasi (mengatur, memerintah, menguasai (cratein) dari belakang meja (biro) di Jakarta, dan faktor keadaan konkret di lapangan kurang diperhatikan.

Padahal dalam hal baca-tulis-hitung (pipa londo) misalnya, terjadi kesenjangan mulai dari yang buta huruf hingga ajar-mengajar secara online. Di berbagai daerah, dengan keharusan tatap muka saja banyak anak ngacir sebab harus membantu orangtua bekerja atau bersekolah belum lagi masuk sekolah sebagai kebutuhan mendesak-pokok, apalagi belajar di rumah. Di berbagai daerah/wilayah termasuk Jakarta, banyak orangtua kesulitan membimbing anaknya belajar di rumah karena faktor teknologi atau kurang menguasai materi ajar. Banyak keluarga muda menjadi repot, walaupun masuk kantor bergiliran.

Meskipun demikian seperti sering disampaikan, WFH membuat orangtua lebih bertanggung jawab sebagai pendidik pertama. Karena program home schooling yang sampai sekarang belum memperoleh pengakuan di masa pandemi semakin dibutuhkan (keluarga menengah ke atas) dan berbagai bentuk bantuan masyarakat dan lembaga keagamaan seperti program “Ayo Sekolah” di Keuskupan Agung Jakarta. Salah kaprah urusan pendidikan itu urusan sekolah (menengah ke atas: mengambil rapor tidak sempat, kontak dengan sekolah ketika ada masalah) dan nomor satu kebutuhan makan baru sesudahnya bersekolah (keluarga menengah ke bawah atau pedalaman), pun pelan-pelan berkurang. Idealnya sekolah adalah kehidupan, belajar sepanjang hayat.

Penghargaan guru, tidak sekadar aspek materi tetapi juga sosial-budaya, terus diperbaiki; walaupun pada waktu yang bersamaan lembaga pendidikannya yang diserahkan ke universitas menimbulkan pro dan kontra. Upaya-upaya itu dihargai. Guru adalah kunci pendidikan, begitu hasi penelitian Komisi Pembaruan Pendidikan tahun 19878. Dengan menghargai profesi guru, dalam arti seluas-luasnya, terangkat harkat sekitar tiga juta pemegang profesi ini. Lewat program organisasi penggerak dengan motor guru penggerak, dalam kenyataan sebenarnya tidak semua guru mau dan mampu menjadi manajer persekolahan. Ahli di bidang ilmu yang diampu, yang diandaikan mampu menggerakkan mutu sesama guru, tidak dengan sendirinya piawai sebagai direktur/manajer. Karena itu mulai terlihat, program ini perlu disesuaikan (diubah), tak semua guru yang baik perlu dijadikan kepala sekolah penggerak.

Acuan Keberhasilan

Dilandasi maksud baik demi masa depan bangsa ini, kita apresiasi Menteri Nadiem yang sengaja tidak  melakukan reformasi pendidikan. Kita dukung reformasi pendidikan dengan mengubah (memperbaiki) butir-butir pokok praksis pendidikan berikut sarana, yakni metodologi—menyangkut perbaikan materi kurikulum secara bertahap—, berbagi tugas dengan orangtua sebagai pendidik pertama, dan perbaikan sarana infrastruktur. Meninggalkan upaya mengangkat profesi guru yang terhenti dengan berbagai uji coba seperti yang sudah lewat. Dan, ke depan dalam menara mutu hasil pendidikan lewat kriteria PISA sebagai acuan, terbentang onak dan duri yang perlu terus disiangi (diperbaiki) dalam perjalanan. Yang ada di depan mata, dalam hal ini praksis pendidikan yang transformatoris (bukan perombakan) bukanlah ruang (praksis) yang vakum. Menyianginya mungkin lebih sulit dibanding menjalankan program-program perbaikan, pun dengan otoritas pemerintah dalam mengendalikan warganya.

Dalam praksis pendidikan, apa yang dilakukan hari ini baru terlihat hasilnya satu dekade kemudian. Andaikan yang ditargetkan adalah modal manusia yang mampu mengatasi tantangan revolusi industri 4.0 dan tahun 2045, kita masih menghadapi rendahnya modal manusia yang dihasilkan dari kegiatan pendidikan. Salah satu hasil kajian Bank Dunia, satu dari sekian survei lainnya, menunjukkan kita masih berada di  peringkat ke-87 dari 157 negara dalam human capital index.

Peraturan pengambilan jarak (distancing space) menjadi pilihan pertama untuk mencegah persebaran corona, WFH, mengenakan masker dan pelindung wajah (face shield) , secara tak langsung membalikkan kebiasaan alami manusia untuk bertemu orang lain. Hakikat sosialitas manusia terpasung oleh keharusan selamat dari sergapan corona.

Dari tataran praktis, anak-anak khsusus yang sebelumnya masuk dalam dalam kelas inklusif dengan sistem daring, dengan pendidikan lebih individual akan bisa berkembang cepat. Begitu juga anak-anak yang memiliki tingkat kepandaian tinggi bisa berkembang lebih cepat. Sejauh orangtua mampu berperan seperti seharusnya, sejauh guru bisa meluangkan waktu dan kecakapannya, sejauh sarana teknologi mendukung, sistem daring adalah sistem ideal kegiatan ajar-mengajar di masa depan. Tentu saja tetap menuntut pertemuan tatap muka.

Dengan catatan-catatan di atas, pembelajaran jarak jauh sebagai sistem daring/online, sebenarnya tidak ideal untuk kondisi normal dan sesuai dengan kondisi keberagamaan Indonesia. Dengan online saat ini  minus malum (yang paling kurang jeleknya) yang dilaksanakan tiba-tiba serentak di masa pandemi saja, potensial memperlebar kesenjangan, apalagi dalam situasi normal. Pemerataan sebagai kebijakan jalan terus, dan tinggal jadi jargon seperti selama ini. Oleh karena itu, penegasan Menteri Nadiem bahwa setelah situasi normal, pembelajaran sistem daring/online bukan satu-satunya cara dalam keberagaman Indonesia. Di zaman normal, sistem itu masih akan dimixed dengan tatap muka, apalagi sekaligus memanfaatkan kemajuan sarana teknologi informasi. Yang dibutuhkan bukan reformasi pendidikan yang frontal (revolutif) tetapi reformasi yang merangkak (creeping reformation). Dan itu yang saat ini dilakukan Mendikbud Nadiem Makarim.

St. Sularto
Peminat Masalah Pendidikan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here