Kita Di Utus Sampai Mati

296
Ita Sembiring, Kontributor/Pekerja Seni (dok. Pribadi)
4.6/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.COM– JANGAN  paksa aku untuk paham..

Tolong pahami saja saat aku berusaha memahami..

Kusut kan…?

Dan ini hanya bisa diurai

Bila sudah saling memahami

Bukan saat dipaksakan

Ada percakapan menggelitik dalam obrolan ringan dengan sekelompok generasi milenial. Aku bertanya pada bagian mana dalam perayaan Ekaristi paling jadi perhatian?  Kalimat yang mengalir sempat bikin tercekat.

Ini beberapa jawaban:

“Pas doa umat selesai dibacakan, lalu Pastor bilang kita hening sejenak menyampaikan    doa pribadi kita masing masing….! Senang sekali diberi kesempatan meminta…”  

“Saat salam damai karena bisa lirik-lirik siapa tahu salaman sama yang cakep.”

“Selagi komuni dan kita sudah selesai, jadi bisa ngelihatin gaya dan penampilan umat lagi berjalan ke depan. Sambil sekalian cari cari teman juga, ikut misa atau nggak.”

 “Ketika  mengucapkan kalimat: Jangan memperhitungkan dosa kami…. Itu rasanya plong banget. Asik banget tuh.. dosa kita nggak diperhitungkan….”

“……..”

“……..”

Jangan sedih….! Ini realita yang harus kita pahami. Jadi teringat putraku yang sekarang menuju usia 17. Sejak masih menyusu di gendongan sudah dibawa mengikuti Ekaristi. Berharap agar tertanam akar kuat sejak belia meski baru melalui rasa dan batin, belum soal pemahaman. Menginjak usia 4 tahun saat  sudah duduk sendiri bersisian denganku, wajahnya selalu berseri bagai tersentak dari sebuah kengantukan saat mendengar Pastor mengatakan: “…….. pergilah kita di utus….”

“Mama… di utus…! Di utus mama…,” serunya riang meski terbata, mengingatkan misa sudah selesai. Che Sorpresa….! Ow..ow..ow… anakku sedari tadi hanya menantikan kalimat ini dan itu membuatnya bahagia. Sampai suatu peristiwa misa di lain waktu, selagi  kotbah Pastor berucap: “ …….jadi.. kita tidak boleh menolak undangan Tuhan.. sebab kita di utus…..!”

Putraku terlonjak, kepalanya yang tadi bersandar di bahuku langsung tegak seraya berseru lebih riang dari biasa: “Mama… di utus…! Di utus…mama…!”

Serentak aku menahan tawa demi melihatnya bergegas berdiri menarik tanganku. Kupeluk dia sambil membisiki bahwa itu tadi belum di utus sebagai tanda akhir misa dan kembali ke rumah. Entah apa yang dia rasakan aku tak bertanya lebih lanjut. Mungkin tadi dia juga heran kenapa hari ini saat yang dinantikan seperti biasa datang lebih cepat dan kegirangannya berganda. Peristiwa ini membuatku tergerak untuk lebih memberi pemahaman dari pada sekedar menjalankan kewajiban sebagai umat. (bahkan kadang memaksa)

Lalu, urusan paham dan memahami ini memang jadi pekerjaan rumah yang tidak ringan hingga kini. Dalam Rosario lingkungan senin malam lalu, lagi-lagi aku sempat terhenyak atas pernyataan salah satu peserta. Meski tanpa pertemuan tatap mata, hanya saling melihat layar  zoom, pertemuan lingkungan St. Agustinus ‘anak’ dari paroki Santa Monika Serpong di mana aku bernaung tetap seru dan meriah.

Usai mendaraskan doa, salah satu ibu mengemukakan kalau putri kecilnya tidak mau mendoakan Salam Maria. Padahal sepanjang Rosario doa Salam Maria merupakan yang terus menerus didaraskan dari awal hingga akhir. Selidik punya selidik, ternyata keengganan bocah itu  karena ada kalimat di akhir:  ……… sekarang dan pada waktu kami mati. Kata mati  memberi kesan gamang sebagai anak kecil. “Kenapa harus sampai Mati?” tanyanya.

Dua jenis kalimat pendek dari jarak waktu yang berbeda: Kita di Utus dan Sampai Mati, telah membuka sudut hati ini sebagai orangtua untuk mengubah pendekatan dalam mengimani sebuah kepercayaan. Apalagi dengan tujuan baik demi mengokohkan akar pada anak sejak dini. Memberi pemahaman dan menyajikan hasil nyata dari semua kewajiban yang kita jalani itu lebih penting daripada memaksa mereka paham.

Sebagaimana hangatnya teladan Santo Carlo Acutis dari kelompok Milenial dimana selalu menjalani Ekaristi selaras dengan perbuatan baik dalam pemahaman sempurna. Tidak sekedar paham tapi menjelma dalam kehidupan sehari hari. Kewajiban sebagai umat Katolik memang harus dijalankan.Bukan karena paksaan atau sekedar memenuhi kewajiban agar sudah beragama. Tapi karena paham dan harus bisa memahami saat orang lain sedang berusaha paham.

Permisiiii ..

Ini hanya sebuah kesadaran yang baru muncul

Beragama bukan sekedar beribadah dan berdoa

Meski pemahamanku pun masih dangkal

Tapi tetap berusaha memahami segala perkara

Kita sudah di utus, sekarang dan pada waktu kami mati  

(Salam Cinta: Ita Sembiring)

1 COMMENT

  1. Kesaksian yang nyata. Sangat menarik. Sukses bu Ita Sembiring dalam perjuangan hidup. Semoga kita semakin hari semakin menghayati iman kita sebagai pengikut Kristus.
    Salam.
    Johanna Kemal

Leave a Reply to Johanna Kemal Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here