Faktor Penentu dalam Kebijakan Politik

90
Adrianus Meliala, Guru Besar UI dan Ketua Umum LP3KN
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – DI BULAN November lalu tak ada berita dunia yang lebih menarik dari Pilres Amerika Serikat. Kita semua sudah tahu hasilnya, yakni Joe Biden mengalahkan Donald Trump. Dan, setelah keluar dari Gedung Putih akhir Januari 2021 mendatang, dunia tidak akan lagi mendengar celotehan Trump. Mengherankan, memang, melihat dunia tidak menganggap serius, malah seperti terhibur, melihat gaya presiden dari negara adidaya tersebut. Satu-satunya kecemasan dunia adalah ketika Trump sengaja memacu perang dagang dengan China, yang kemudian membelit AS sendiri.

Saya ini tidak hendak membahas Trump maupun Biden, tetapi tentang warna politik keduanya. Keduanya adalah representasi dari partai politik, Republik dan Demokrat, yang memiliki pendekatan amat berbeda. Seorang calon presiden dengan demikian adalah flag carrier dari partainya, dan tidak keluar dari garis partai tersebut saat berkuasa.

Saking konsistennya partai memelihara warna politik, maka walaupun itu berkorelasi negatif dengan hasil pemilu, toh tetap dilakukan. Bandingkan dengan di Indonesia di mana elektabilitas adalah segala-galanya.

Suatu contoh, pendekatan Biden yang pro-choice membuatnya “dimusuhi” Gereja Katolik setempat. Melalui pendekatan itu, dia setuju dengan langkah aborsi, untuk mengambil  contoh saja, sebagai manifestasi bahwa setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik baginya.  Ini pula yang membuat dia terancam kehilangan banyak suara dari kalangan WASP (white-anglo saxon-protestant). Secara tradisional, kalangan ini memang lebih dekat dengan Republik karena ide-ide kapitalistiknya. Tapi, apakah itu membuat Biden mengubah pandangan. Kelihatannya tidak.

Jika mengambil contoh masa lalu, maka yang paling fenomenal adalah kebijakan George W. Bush, seorang Republikan, tentang invasi AS di Irak. Ketika itu, antipati masyarakat AS sedang tinggi-tingginya terhadap agitasi Bush perihal rezim Saddam yang memelihara senjata pemusnah massal (WMD). Kuat dugaan, antipati itu akan mempengaruhi kecenderungan memilih. Padahal, saat itu mendekati pemilihan presiden antara Steve McCain melawan Barrack Obama (2007-2008). McCain yang wakil Republik juga harus ikut-ikut mendukung kebijakan luar negeri yang ekspansionistik. Itu memang warna Partai Republik. Alhasil, Obama menang.

Kembali ke Trump. Walau sulit dibedakan antara warna partai atau kecenderungan kepribadian yang nyeleneh, maka saat kampanyenya, Trump tetap tidak mengangkat isu kesehatan massal plus asuransi murah, walau warga AS yang meninggal akibat Covid-19 sudah di angka 200 ribu jiwa.  Isu itu disambar oleh Biden, alias Demokrat, yang memang rajin bermain di isu populis seperti kesehatan. Kita ingat Obamacare, sebagai suatu icon Demokrat. Ini juga yang mendongkrak pemerolehan suara bagi Biden

Apa pelajaran dari semua itu? Bahwa berpolitik pada dasarnya menyajikan pilihan dalam rangka bernegara. Sebagai pilihan, pasti ada implikasi dan konsekuensi. Tidak semuanya baik atau positif memang, ada kalanya sebaliknya. Untuk itu orang harus diyakinkan, bukannya pilihan yang diubah. Dan jika menang pemilu, pilihan kebijakan akan diwujudkan dalam bentuk serangkaian strategi serta program.

Ini yang membedakan dengan perpolitikan di Indonesia. Elektabilitas merupakan resep nomor satu. Dukungan massa ada di nomor dua. Selanjutnya pendanaan, bertengger di nomor tiga. Perihal warna politik yang lalu tertuang dalam pilihan kebijakan, entah di nomor keberapa.

Tak heran apabila di Indonesia, isu populis menjadi rebutan. Semua calon akan bicara soal peningkatan anggaran kesehatan, pendidikan, pembangunan sarana-prasarana. Adakah yang bicara soal pengurangan anggaran? Tak mungkin ada. Padahal, bukankah sudah pada hakikatnya terjadi prinsip jungkat-jungkit, yakni ada yang meningkat pada saat ada yang turun.

Kepada kita dipertontonkan, demi terjaminnya suara, orang yang sudah digadang-gadang sebagai  wakil pun didepak  at the last minute. Posisinya digantikan orang lain yang lebih menjanjikan “gerbong”. Demikian juga ketika kita melihat tontonan di mana suatu program yang baik milik petahana kemudian dipoles sana-sini menyangkut penamaan, tampilan dan lain-lain. Ini agar membuat penantang terlihat berbeda padahal jualannya sama.

Alhasil, memilih dalam pemilu/pilkada di Indonesia itu gampang-gampang sukar. Apabila faktor individu yang akan dipilih bukanlah segala-galanya saat pemilu di AS, mengingat platform kebijakan sudah kelihatan dan pasti dijalankan, maka berbeda dengan Indonesia. Faktor individu menjadi segala-galanya mengingat warna politik partai  pengusung hampir tidak ada. Kalaupun ada, terserah sang calon untuk mengikutinya atau tidak. Sebagai pihak yang telah membayar mahar bagi  partai pendukung serta membiayai kampanye, orientasi sang pejabat terpilih tentu terfokus pada bagaimana memperoleh kembali uang yang telah dikeluarkan.

Perihal ketiadaan warna politik tersebut, apa relevansinya dengan kekatolikan di Indonesia? Relevansinya jelas sekali. Yakni, bahwa pada setiap kali pemilu , umat Katolik  harus serius  melakukan asesmen yang menyeluruh terhadap setiap calon presiden  atau calon kepala daerah. Lebih khusus lagi terhadap pandangan pribadi dan kecenderungan pemikirannya. Itulah prediktor terbaik perihal apa yang akan dilakukannya nanti saat menjabat.

Jangan berasumsi bahwa karena yang bersangkutan berasal dari partai A maka pilihan kebijakannya akan sejalan dengan warna partai. Jangan pula berasumsi bahwa tokoh partai A, demikian pula seluruh simpatisan dan kader, akan selalu mendukung kebijakan pejabat yang adalah rekan separtai itu. Kepentingan serta pragmatisme sesaat, itulah yang kelihatannya lebih menentukan.

Adrianus Meliala, Guru Besar Universitas Indonesia dan Ketua Umum LP3KN

 

Sumber: Majalah HIDUP, No. 48, terbit, 29 November 2020

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here