(Hidup) Sekali, Berarti, Sudah Itu Mati

115
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – KALA itu saya menjadi fasilitator seminar yang   menarik.  Bukan topiknya, bukan pula isinya, melainkan siapa dan bagaimana pesertanya.  Sekira 25 pejabat  dari sebuah instansi elit pemerintah, rata-rata berusia 50 tahun.

Kami  mendiskusikan tentang hidup setelah purna-karya tiba.   Satu sampai lima tahun ke depan, hidup baru, yang disebut pensiun, akan datang.  Sebagian besar dari mereka, waswas.  Wajah dan gesturenya mencerminkan suasana hati.

Nada khawatir mendominasi percakapan.   Banyak yang disertai penyesalan karena sebelumnya tak pernah sekejab pun memikirkannya.   Yang lain penuh tanda tanya.  Apa yang akan terjadi setelah titik itu tiba.

Saya menutup diskusi dengan pesan yang  bernada testimoni.

“Ketika sekarang masih aktif dan berperan, apalagi duduk di posisi  strategis, semua orang hormat dan uluk salam.

Namun, begitu saatnya turun dari singgasana, dan keesokan harinya kembali bertemu mereka,  beruntung bila masih ada yang menyapa”.

Mungkin ungkapan itu berlebihan.  Tetapi sekuen yang tergambar di situ kurang lebih mirip.  Urutannya :

“Berperan, masyhur, lepas posisi, dan ditinggalkan”.

Dunia memang kejam.  Relasi duniawi banyak diwarnai oleh “kepentingan”.  Pertalian bersifat transaksional.  Ketika transaksi kelar, sangkut-paut pun bubar.

Seorang sahabat, mantan direktur sebuah perusahaan swasta-nasional, mengeluh.  Mantan anggota timnya tak mau lagi membalas pesan WAnya.  Telepon tak juga diangkat.

Teman lain curhat.  Namanya diblok, oleh mantan anak-buah yang dulu  ramah dengan interaksi yang menyenangkan.

Saya berusaha menenangkan mereka, sebisanya.  Nampaknya gagal.

Tak hanya hubungan dinas.  Ikatan keluarga pun tak jauh dari itu.   Puluhan tahun saya tak nyekar ke makam kedua mbah saya di Semangkak, Klaten, Jawa Tengah.   Alasannya  klise, sibuk atau tak ada waktu.

Kami memang tak pernah jumpa, tapi kalau sampai lupa di mana lokasi peristirahatan terakhir orang tua dari ibu saya, tentunya bukan karena tak sempat.

Jumlah anak dan cucu mungkin ratusan, tapi tak  1 atau 2 pun  yang mengunjungi  makam leluhurnya.  Sekali lagi, ketika kepentingan usai, selesai pula ikatan yang terjalin sebelumnya.

Kalau memang begitu pakemnya, bukankah dunia tak bisa disebut kejam?. Mungkin.

Yang diperlukan adalah persiapan diri menyongsong pudarnya peran dalam masyarakat dan keluarga.  Ekspektasi jangan terlalu tinggi.  Harapan jangan terlalu diumbar.  Lebih baik dipupuk kesadaran akan hukum alam yang pasti berlaku.

Setelah melewati titik-kulminasi atas, posisi dan eksistensi dengan sendirinya menurun sesuai dengan kodratnya.  Itu alamiah.

Usia tak bisa menjadi patokan.  Umur tak bisa menentukan di mana titik-puncak itu berada.

KH Ma’ruf Amin dan Joe Biden menanjak ke puncak di usia 77 dan 78 tahun.  Mahathir Mohamad kembali berkuasa  saat 95 tahun.  Artis dan atlet biasanya redup saat berkisar di 30-40 tahun.  Tak ada yang pasti, tak ada yang tahu di mana titik-zenit itu berada.  Tak juga pelakunya.

Mereka yang masih (jauh) sebelum titik puncak,  rasa “kehilangan peran”  sulit dibayangkan.  Yang pasti, cepat atau lambat, masanya akan  tiba.  Masing-masing berbeda.  Ketinggiannya beraneka ragam.   Hingga dampak dan kekhawatiran, seperti yang dimiliki para peserta seminar, juga berbeda-beda.

Itulah, mengapa sensitivitas sangat dibutuhkan untuk tahu kapan waktunya tiba.

Tanda-tandanya tak sama.  Diperlukan kematangan diri untuk menggali insight. “Enough is enough”. Kalau diri sendiri tak mampu menemukannya, alam yang akan mengambil alih.  Dampaknya lebih berat.

Tokoh yang ini layak menjadi contoh.  Banyak sahabatnya mengatakan unik.  Yang lain menyebutnya cerdas dan pemberani.  Tapi Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa Angkatan ’66, punya prinsip sendiri.  Dia tak suka usia lama.  Lebih baik tak usah ada, atau cukup usia muda, bila masa tua malah menimbulkan persoalan baru.  Tuhan mengabulkan doanya.

“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua”.  (Hok Gie, Mandalawangi-Pangrango – 1966)

Persiapan diri adalah “kata kunci”. Semakin dini semakin mumpuni.  Terus mengisi kehidupan menjadi bermakna, agar menuju sempurna.  Kesempatan hanya sekali, tapi kalau penuh arti, tak sia-sia ketika saatnya  tiba untuk pamit diri.

“(Hidup) sekali, berarti, sudah itu mati”.  (Puisi : “Diponegoro”, karya : Chairil Anwar, 1943)

P.M. Susbandono, Konstributor, Penulis buku inspiratif

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here