CATATAN SEORANG OPA TENTANG CUCU PERTAMANYA

443
5/5 - (13 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Bulan Pertama, Mahluk Spiritual

Hanya Cinta yang bisa memanggil Cinta. Bayi dilahirkan berbekal Kasih. Ia memancing Cinta dari siapa saja yang melihatnya, apalagi memeluknya.

Memandang dan bersentuhan dengan bayi mengingatkan kita pada wejangan Romo Teilhard de Chardin, filsuf dan imam Yesuit dari Perancis, yang juga berprofesi sebagai paleontologis. Paleontologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari mengenai sejarah kehidupan di bumi, tanaman dan hewan purba, berdasarkan fosil yang ditemukan di bebatuan. Kata sang romo:

“Kita bukanlah manusia yang memiliki pengalaman spiritual. Kita adalah makhluk spiritual yang memiliki pengalaman manusiawi.”

Bulan Ketiga, Bekal Semesta

Siapa pun orang tuanya, seorang bayi lahir dengan Cinta Kasih yang telah terinstal secara default di dalam dirinya. Siapa pun kita, sang bayi mengingatkan, bahwa kita juga pernah bayi, dan juga dibekali Cinta. Namun manusia dewasa memandang sang bayi sebagai kertas kosong yang mesti ditulisi, dengan bermacam-macam petuah sotoy dan larangan, dengan berbagai ketakutan dan ancaman. Orang dewasa memroyeksikan ukuran dirinya kepada sang bayi.

Tetapi sesungguhnya si bayilah yang menulisi kertas jiwa sang dewasa. Tiba-tiba semua yang memandangnya menjadi cadel, gemas, bernyanyi dan rebutan menggendong, bahkan rela dimuntahi, rela dikencingi. Dalam ruang kosong berdebu dalam jiwa sang dewasa, pada jiwa yang lelah oleh pura-pura, si bayi menuliskan kata Cinta.

Bulan Kelima, Peminta/Pemberi?

Apakah bayi adalah seorang peminta? Mesti dilayani makannya, pipisnya, eeknya, bahkan mesti ada seorang suster khusus untuk melayani sang boss kecil ini. Ataukah ia seorang pemberi?

Katakanlah, apa yang  ada dalam senyum seorang bayi. Di dalamnya ada pembasuh dahaga, ketulusan, pembangkit rasa damai. Apalagi? Tiada yang perlu dikatakan lagi, tidak juga kata-kata tadi.

Di dalam sang bayi, celoteh yang tidak kita mengerti, tangis dan tawanya, adalah sebuah pengalaman yang lebih luas dari daya tampung sebuah kata. Raga bisa dikatakan dan diceritakan, tetapi jiwa tidak. Jiwa hanya bisa diharukan. Dan ketika kita terharu, kita masuk dalam kedalaman, ke dalam inti kerinduan. Dan itulah yang diajarkan oleh ia yang belum bisa berkata-kata, seorang bayi, yang sesungguhnya adalah seorang pemberi.

Bulan Kedua Belas, Sederhana Itu Imajinatif

Sang bayi memeriksa setiap sudut ruang dan setiap benda yang ditemukannya, tidak cukup dengan indra pengusap, tapi juga dengan indra pengecap. Ia bermain bersama gravitasi, dengan menjatuhkan benda-benda yang masuk ke dalam jangkauannya.

Bukan ‘mainan jadi’ yang menarik perhatiannya, melainkan botol air mineral, jepitan jemuran, kardus, centong, sandal pijat refleksi opanya dan benda-benda sehari-hari lainnya. Lewat benda-benda sederhana inilah, imajinasinya hidup. Mencari, menjelajah, memeriksa, meniru, dan mencoba. Tidak ada yang menyuruh, sepenuhnya atas komando dirinya. Sepertinya begitulah bekal dari Semesta. Sementara sang dewasa sibuk dengan “jangan dan jangan” dan memenuhi ranjang sang bayi dengan berbagai mainan, dan mainan lagi. Menulari keranjingan belanja.

Bulan Kempat Belas, Pesan Asli

Ketika si bayi, yang baru setinggi lutut orang dewasa, mengacungkan kedua tangannya, minta digendong, pemandangan dari atas ini, memberi rasa pemandangan Tuhan kepada ciptaannya yang sedang memohon. Pengalaman yang istimewa, bukan? Lebay, tepatnya.

Ketika menatapnya mengenyut dotnya, di kala tidur, tak ingin lepas mata ini dari dirinya. Dan ketika ia membuka mata dan melihat wajah opa di dekatnya, ia menggarukkan telapak kaki mungilnya pada dagu kasap opa yang belum dicukur. Betapa mesranya.

Ketika berjalan dalam goyah sekalipun, suka sekali ia menerobos celah-celah. Celah di belakang kursi, di kolong meja, celah jendela yang terbuka, membuka setiap laci dan lemari, mencari hal baru, dan membuka kemungkinan baru. Begitulah bekal asli dari Semesta bagi manusia, gemar perubahan, yang bagi orang dewasa masa kini menjadi sesuatu yang melelahkan.

Ketika membagi dan menyuapi sepotong serabi yang sama kepada papa, bunda dan opanya, ia tidak lupa menyuapi susternya. Si bayi tidak mengenal hierarki yang membeda-bedakan ras, kasta, gender dan lain-lain. Dan ketika dipancing dengan kata “Ooo” dan si bayi menjawab “Paaaa,” ah, “Sejuta rasanya,” kata Titiek Puspa.

Bulan Kelima Belas, Bayi Lelaki

Pada bulan ini, ASI bundanya berhenti. Sebentar lagi ia belajar berbicara. Mengurai kesatuan rasa ke dalam kata-kata yang berbeda-beda. Yang bersayap bernama kupu-kupu, berbeda dengan bunga yang dihinggapinya, berbeda lagi dengan burung yang juga bersayap. Sebutan bagi dirinya pun berubah dari bayi menjadi balita. Kesatuan pengalaman akan bercerai-berai dalam beragam kriteria dan kategori. Pengalaman jiwa yang menyatu menjadi terpilah dalam raga.

Pada bulan ini, Natal tiba. Jika biasanya, keagungan Natal tertimbun oleh seremonial belanja, pohon terang raksasa, tukar kado, topi santa, pesta diskon, dan sebangsanya. Tahun ini meski dipaksa oleh pandemi, Natal justru terasa istimewa, karena menghindari kerumunan dan kegaduhan. Kesunyian, kesederhanaan kandang dan kain lampin, yang biasanya tenggelam dalam riuh, semoga mendapat giliran naik ke permukaan. Namun yang paling istimewa bagi si opa, ia sempat menyaksikan seorang bayi lelaki, seorang manusia spiritual, memasuki pengalaman manusiawi.

Henry C. Widjaja, Kontributor. IG/FB: @henrycwidjaja

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here