Cek dan Ricek Dulu Agar Tak Menjadi Alat Belaka, Cermati dari yang Iseng sampai yang Serius. Begini Caranya

165
Cosmas Christanmas, Kontributor
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM Reaktif adalah sikap yang manusiawi, tanda seseorang itu masih hidup, peka, dan punya harapan. Hasil reaktifnya bisa saja positif, negatif, atau biasa-biasa, semuanya baik dan saling memperkaya.

Hari-hari menjelang akhir pekan yang lalu, sebagian (kecil) masyarakat kita meramaikan beberapa kabar kabur di media sosial. Yaitu tentang rencana lockdown di Jakarta selama akhir pekan; penarikan sertifikat tanah untuk ditukar dengan sertifikat elektronik; serta penjualan pulsa telepon selular akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Reaksi di masyarakat umumnya tegas menolak, segelintir lagi mendukung (tanpa seterbuka yang menolak). Sedangkan mayoritas masyarakat, tidak menyuarakan pendapatnya. Apa arti semuanya ini?

Cek-Ricek

Dahulu, media cetak dan radio membuat berita atas dasar fakta yang sudah terjadi. Diuraikanlah secara rinci dalam berita itu, elemen 5W+H yaitu what, who, where, when, why, dan how. Lalu era televisi menyiarkan langsung peristiwa yang sedang terjadi, seperti perang Irak tahun 1990 dulu. Sekarang ini, berita dapat juga disampaikan melalui jaringan internet menggunakan aneka aplikasi media sosial. Bagusnya, semua orang bisa menulis dari mana saja, kapan saja, dan tentang apa saja.

Tidak semua orang yang menulis ‘berita’ itu, merasa perlu terikat dengan pakem 4W+H di atas. Apalagi melalui proses cek fakta. Saking mudahnya orang menulis, kadang kala ‘berita’ dibuat mendahului kejadiannya. Menjadi kabur, apakah ‘berita’ itu adalah fakta atau opini penulisnya. Jangan sampai opini dan imajinasinya sendiri yang dijadikan berita, sedangkan faktanya malah tidak ada sama sekali.

Berbeda dengan media mainstream (arus utama) yang jelas nama dan alamat penerbit dengan proses kurasi berita yang ketat dan berkelanjutan, sekarang banyak ‘berita’ forwarded yang viral tanpa kejelasan siapa yang menulis dan bertanggungjawab untuk klarifikasi balik.

Tulisan yang tidak jelas itu, sering kali ditulis seolah-olah memenuhi kaidah 5W+H, namun (hampir) semua elemen yang dimaksud itu bodong alias bohong tanpa fakta. Dikutiplah nama besar seseorang atau nama sebuah lembaga yang terhormat, yang pada kenyataan tidak ada sama sekali. Atau tidak ada sangkut pautnya dengan ‘berita’ itu. Ditulis juga kejadiannya di tempat dan waktu tertentu, tanpa saksi atau bukti. Selanjutnya adalah kreativitas penulis yang merangkai kata dan membentuk pesan yang seolah-olah benar tapi tidak benar. Dengan teknik penulisan story telling yang memukau, ‘berita’ yang dibuat berulang-ulang itu hendak membentuk sebuah pesan kebenaran (tapi bukan kebetulan).

Oleh sebagian orang, tulisan forwarded semacam itu diviralkan tanpa proses cek-ricek, minimal dinilai dulu secara kritis apakah isinya logis. Sambung-menyambung seperti surat berantai zaman dulu, semakin banyak beredar dan meluas ke mana-mana. Celakanya lagi, ada pembaca yang menjadikannya bahan rujukan yang lalu dibahas, hingga dihakimi, tanpa pernah tahu pasti kebenaran isi tulisan itu.

Yang Iseng Sampai Serius

Seperti surat berantai zaman dulu, ada yang isinya dibuat iseng tetapi ditanggapi penerimanya secara serius. Yang maksudnya bercanda saja, dianggap seperti benar. Sekarang zaman media sosial, membuat ‘berita’ semakin mudah dan murah, daya viralnya juga sangat cepat tanpa dapat dikendalikan. Yang suka iseng, dapat menggunakan media sosial untuk dampak yang maksimal itu.

Tiga berita kabur yang disebut di atas yaitu rencana lockdown di Jakarta, penarikan sertifikat tanah, dan penjualan pulsa telepon selular dengan PPN, bisa jadi adalah wacana yang sengaja diviralkan. Ada beberapa tujuannya, seperti iseng tadi, test the water (uji opini publik), atau strategi (anti-)pemasaran.

Ingat di awal pandemi, ketika pemakaian konferensi virtual semakin tak terhindarkan, ada kabar simpang siur tentang sekuriti aplikasi Zoom. Entah siapa yang memulainya, banyak orang yang ikut memviralkannya, terlepas apakah pernah memakainya atau tidak. Kenyataannya Zoom adalah aplikasi yang paling banyak dipakai sampai sekarang ini.

Bulan lalu viral berita tentang penggabungan data pribadi WhatsApp ke aplikasi Facebook yang juga ramai ditentang oleh para pemakainya. Bagusnya, ada Telegram dan Signal sebagai aplikasi alternatif.

Terhadap ‘berita’ yang viral itu, kita dapat ikut meredamnya. Mulailah kritis, terutama terhadap tulisan forwarded yang tak jelas sumber dan kapan dibuatnya. Pernah ada kabar tentang daftar rohaniwan yang sakit diteruskan dari ke hari, tanpa kejelasan status dari tanggal berapa. Akibatnya yang sudah sembuh (atau meninggal) pun masih ada di dalam daftar orang yang sakit itu.

Kalau bermaksud baik untuk mengabarkannya ke orang lain, pastikan dulu kebenaran isinya, cek-ricek. Lebih baik lagi kalau sudah ada sumber berita yang terpercaya, misalnya dari media main stream. Tidak perlu menjadi orang pertama yang mengabarkan, kalau isi ‘berita’-nya masih diragukan. Kalau tidak ada di media mainstream, berarti ‘berita’ itu tidak/belum benar atau kurang berfaedah. Begitu saja.

Janganlah kita menjadi kaki dan tangan atau alat penyebar kabar bohong oleh pihak-pihak yang ingin test the water dengan biaya dan dampak pada kita, tetapi manfaatnya dinikmati oleh orang lain itu. Ada Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Nomor 11 tahun 2008 (diperbarui menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016) yang bisa dipakai untuk menjerat pelaku/penyebar ‘berita’ bohong.

Ingat yang ditulis oleh Nicholas M. Butler (1862-1947) seorang penyair dari Inggris: “manusia dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu segelintir yang membuat sesuatu, dalam jumlah lebih banyak lagi yang hanya menyaksikan, dan sisanya paling banyak tidak tahu apa yang sedang terjadi”.

Kalau tak bisa membuat sesuatu, janganlah kita menjadi orang yang tak tahu apa-apa tetapi alat belaka.

Cosmas Christanmas, Kontributor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here