Selama Masa Prapaskah, Paus Meminta Umat untuk Fokus pada Salib sebagai ‘Takhta Bisu Tuhan’

231
Paus Fransiskus meletakkan abu di kepala seorang Kardinal selama Misa Rabu Abu di Basilika Santo Petrus pada 17 Februari 2021. |MEDIA VATIKAN
5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM Mengawali Masa Prapaskah, Paus Fransiskus pada Misa Rabu Abu mengatakan bahwa 40 hari ke depan harus menjadi waktu pertobatan di mana orang Kristen melepaskan kejahatan mereka dan hal-hal yang menahan mereka, serta kembali kepada sumber penyembuhan dan cinta, yaitu Kristus.

Saat Masa Prapaskah dimulai dan umat Kristen merenungkan sabda yang diucapkan oleh Tuhan melalui nabi Yoel, “Kembalilah kepadaku dengan segenap hatimu,” Bapa Suci menyarankan untuk merenungkan gambar Yesus di kayu salib, menyebutnya sebagai Takhta Bisu Tuhan.

Di dalam luka Kristus, kita mengakui kekosongan kita, kekurangan kita, luka dosa kita dan semua luka yang kita alami,” tuturnya melansir cruxnow, 17/1. “Namun di sana juga, kita melihat dengan jelas bahwa Tuhan tidak menuduh siapa pun, melainkan membuka tangannya untuk memeluk kita.”

“Dengan mencium luka-luka itu, kita akan menyadari bahwa di sana, dalam luka hidup yang paling menyakitkan, Tuhan menunggu kita dengan belas kasihan-Nya yang tak terbatas. Karena di sana, di mana kita paling rentan, di mana kita merasa paling malu, Dia datang menemui kita, ”ungkap Paus. “Dan sekarang Dia mengundang kita untuk kembali pada-Nya, untuk menemukan kembali kegembiraan karena dicintai.”

Paus Fransiskus berbicara selama Misa yang disiarkan langsung untuk Rabu Abu, menandai awal Masa Prapaskah Gereja Katolik, yang memperingati 40 hari yang Yesus habiskan dengan berpuasa di padang gurun sebelum memulai pelayanan publiknya.

Karena pembatasan yang sedang berlangsung pada pertemuan publik akibat pandemi virus Corona, Misa tidak terbuka untuk umum tetapi dirayakan secara pribadi di Basilika Santo Petrus dengan beberapa konselebran, pelayan, dan umat beriman. Tiga puluh tiga kardinal konselebran.

Dalam homilinya, Paus Fransiskus mengenang alasan yang kadang-kadang dibuat oleh umat Kristiani untuk diri mereka sendiri dalam menunda menanggapi panggilan Tuhan untuk bertobat, menunda doa, dan perbuatan baik hingga esok hari. “Dalam hidup ini, kita akan selalu memiliki hal-hal yang harus dilakukan dan alasan untuk ditawarkan, tetapi sekaranglah waktunya untuk kembali kepada Tuhan,” ajaknya, menegaskan bahwa Masa Prapaskah bukanlah sekadar tentang pengorbanan kecil yang dilakukan atau hal-hal yang dipantangi. Prapaskah adalah saat untuk membedakan ke mana hati kita diarahkan.

Bapa Suci mendesak mereka yang hadir dan mereka yang menonton melalui layanan live streaming untuk bertanya pada diri sendiri, “Kemanakah sistem navigasi hidup saya membawa saya – menuju Tuhan atau diri saya sendiri? Apakah saya hidup untuk menyenangkan Tuhan, atau untuk diperhatikan, dipuji dan dipromosikan? Apakah saya memiliki hati yang ‘goyah’, yang maju selangkah dan kemudian mundur? … Apakah saya puas dengan kemunafikan saya, atau apakah saya bekerja untuk membebaskan hati saya dari kepalsuan dan kebohongan yang mengikatnya? ”

Prapaskah, sebut Paus, adalah momen untuk kembali kepada Tuhan dan “eksodus” dari hal-hal yang memperbudak orang-orang yang memberi kebebasan. Godaan dalam melakukan perjalanan ini, katanya, adalah terus melihat ke belakang, berpegang teguh pada kebiasaan sebelumnya.

“Perjalanan kita kembali kepada Tuhan diblokir oleh keterikatan tidak sehat, tertahan oleh jerat dosa yang menggoda, oleh keamanan palsu dari uang dan penampilan, oleh kelumpuhan ketidakpuasan kita,” ungkap Paus.Ia bersikeras bahwa untuk menjalani perjalanan tobat ini menjadi sukses, “kita harus membuka kedok ilusi itu.”

Paus Fransiskus kemudian menunjuk beberapa tokoh Kitab Suci sebagai contoh, termasuk anak yang hilang dan penderita kusta yang kembali kepada Yesus untuk berterima kasih atas kesembuhannya, sebagai contoh sikap yang benar.

Seperti anak yang hilang, yang bisa bangkit kembali hanya setelah menerima pengampunan ayahnya, itu sama bagi orang Kristen, sebut Paus, mendesak umat beriman untuk mengaku dosa, yang dia sebut sebagai langkah pertama dalam perjalanan pulang menuju Allah Tritunggal Mahakudus.

Paus juga memiliki nasihat bagi para imam yang mendengar pengakuan tersebut. “Saya merekomendasikan kepada bapa pengakuan, jadilah seperti ayah, bukan dengan cambuk, tapi pelukan,” katanya.

Beralih ke gambaran penderita kusta, yang merupakan salah satu dari sepuluh orang yang disembuhkan oleh Yesus tetapi merupakan satu-satunya yang kembali kepada Yesus, Bapa Suci mengatakan bahwa sementara semua disembuhkan, orang ini adalah satu-satunya yang diselamatkan, karena “kembali kepada Yesus. ”

“Kita semua memiliki kelemahan rohani yang tidak dapat kita sembuhkan sendiri. Kita semua memiliki sifat buruk yang tidak dapat kita cabut sendirian. Kita semua memiliki ketakutan yang melumpuhkan yang tidak dapat kita atasi sendirian, “tutur Paus, menambahkan,” Kita perlu meniru penderita kusta itu, yang kembali kepada Yesus dan melemparkan dirinya ke kakinya. Kita membutuhkan kesembuhan Yesus. ”

Dia menunjuk abu yang ditempatkan di kepala seseorang selama liturgi Rabu Abu, berfungsi sebagai pengingat bahwa kita seharusnya tidak lagi menjalani hidup kita dengan mengejar debu, mengejar hal sia-sia yang ada di sini hari ini dan menunda bertobat. Sebaliknya, dia mendesak umat untuk meminta Roh Kudus menyalakan kembali di dalam diri mereka “api pujian,” yang Paus katakan untuk menghabiskan abu ratapan dan kepasrahan.

Paus Fransiskus menekankan bahwa sementara orang Kristen melakukan perjalanan pulang, mereka bukanlah pengambil inisiatif pertama. Satu-satunya alasan untuk kembali kepada Tuhan sebab Yesus lebih dulu turun kepada kita. “Demi kita, Dia merendahkan dirinya lebih dari yang bisa kita bayangkan. Dia menjadi dosa, dia menjadi maut… Bukan untuk meninggalkan kita, tetapi untuk menemani kita dalam perjalanan kita, Dia memeluk dosa kita dan kematian kita, ”katanya.

“Perjalanan kita kemudian adalah tentang membiarkan Yesus memegang tangan kita. Bapa yang meminta kita pulang adalah sama dengan yang meninggalkan rumah untuk mencari kita; Tuhan yang menyembuhkan kita adalah sama yang membiarkan dirinya menderita di kayu salib, ”ungkapnya.

Paus Fransiskus juga menegaskan bahwa perjalanan menuju rekonsiliasi dengan Tuhan ini tidak bergantung pada kekuatan atau kemampuan seseorang, tetapi didasarkan pada keutamaan tindakan Tuhan sendiri. “Apa yang memungkinkan kita untuk kembali    kepada-Nya bukanlah kemampuan atau prestasi kita sendiri, tetapi tawaran rahmat-Nya,” tegas Paus. “Yesus mengatakan ini dengan jelas dalam Injil: apa yang membuat kita adil bukanlah kebenaran yang kita tunjukkan di hadapan orang lain, tapi hubungan tulus kita dengan Bapa.”

“Awal dari kembalinya kita kepada Tuhan adalah pengakuan akan kebutuhan kita akan Dia dan belas kasih-Nya. Ini jalan yang benar, jalan kerendahan hati, ”tandasnya.

Felicia Permata Hanggu

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here