Mengenang Romo B. Herry Priyono: Gerakan Memberantas Korupsi Tidak Punya Daya Tanpa Ditopang Pergulatan di Tataran Pemahaman

488
Alm. Romo B. Herry Priyono, SJ
4/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Ide itu tidak berkaki. Begitu dipublisir, ide menjadi milik publik, terbuka untuk dikritik, dibenarkan atau dikembangkan sehingga menghasilkan ide-ide baru. Idiom itu muncul ketika mencoba mengenang 100 hari meninggalnya Romo Bernardinus Herry Priyono, SJ, meninggal 21 Desember 2020, lahir 13 Mei 1960.

Saya menemukan bertemunya pemikiran Anthony Giddens (99), Jakob Oetama (1931-2020), dan B. Herry Priyono (1960-2020). Pemikiran Giddens dalam The Third Way—satu dari 57 judul buku, 32 di antaranya diterjemahkan dalam 26 bahasa (data tahun 2000)— tentang hermeneutika ganda antara volutarisme (paham bahwa kehendak manusia yang menentukan) dan determinisme (paham bahwa tata di luar manusia yang menentukan). Dengan hermeneutika ini dipahami dualitas dan jalan ketiga, kalau tidak niscaya yang dilihat adalah paradoks atau dualisme, bukan ini bukan itu.

Ide yang diadopsi Romo Herry ditularkan kepada Yanuar Nugroho yang kemudian merasa memperoleh cakrawala lebih luas tentang pemahaman realitas (HIDUP, 24 Januari 2021). Jakob Oetama seorang man of action, yang suka berburu ide besar untuk memberi sumbangan demokratisasi lewat media, memungutnya sebagai dasar filosofis pengembangan demokratisasi dan pengembangan masyarakat lewat bermedia, seperti yang diperlakukannya terhadap ide-ide besar Gunnar Myrdal, Max Weber, Samuel Huntington, Larry Harrison, juga dari pemikir-pemikir besar Indonesia seperti Soekarno, Sjahrir, Hatta, Mgr. Albertus S0egijapranoto, Ki Hadjar Dewantoro, Soedjatmoko dan lain-lain. Menegaskan idiom di atas, Giddens dalam buku The Third Way, terbit tahun 1998, versi Indonesia 1999) diinspirasi Ulrich Beck (1944-2015),  sosiolog Jerman pencipta istilah masyarakat risiko dan modernitas kedua (BASIS, Januari-Februari 2000. Edisi Khusus Anthony Giddens).

Herry memungut ide Jalan Ketiga untuk mengembangkan pendalaman bahwa setiap fakta bukanlah dua entitas yang berdiri sendiri, melainkan semacam dualitas. Gambaran paradigma dualitas itu, salah satu contoh yang sering disampaikan kepada Yanuar Nugroho, ialah: “Di bawah kolong langit ini tidak ada yang sepenuhnya takdir, atau sepenuhnya kehendak bebas manusia. Situasi yang disebut takdir sesungguhnya membentuk dan sekaligus terbentuk dari apa yang diklaim sebagai kehendak bebas”.

Paradigma dengan salah satu contoh di atas, di kemudian hari menjadi cara berpikir—bukan hanya gagasan–menyikapi berbagai persoalan kehidupan Yanuar sebagai ilmuwan. Dualitas adalah gagasan kunci memahami berbagai persoalan, tidak hanya dalam pemeriannya tentang takdir tetapi juga seluruh aspek kehidupan. Sebuah hermeneutik ganda, yang niscaya membuat manusia selalu gelisah, tegangan antara dualitas yang dengan cara pikir inilah berbagai persoalan senantiasa harus didekati sebagai hermeunetik ganda, termasuk dalam memahami inkarnasi Allah: Yesus sungguh Allah, sungguh manusia (Yoh. 13:19-20). Ayat itu salah satu dari ayat tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus yang dikutip oleh Ignatius Kardinal Suharyo ketika menjelaskan Injil Yohanes sebagai injil rohani, aksi dan kontemplasi (Percakapan 21 lewat tayangan HidupTV, 25 Januari 2021).

“Tuhan dan Uang”, judul visualisasi materi kuliah Romo Herry dalam Extension Course Filsafat STD Driyarkara, 30 November 2020. Dalam kuliah terakhirnya (mungkin), Romo Herry menegaskan paradigma dualitasnya. Allah adalah nama bagi Ada yang tidak terbatas dalam ranah transenden, dan uang adalah nama bagi sarana pertukaran atau wadah nilai di ranah imanensi. Beriman yang sejati berarti masuk dalam kompleksitas dunia, dan dunia sebagai titik berangkat imanensi ke yang transenden, begitu juga sebaliknya. Tidak ada yang serba mutlak antara transendensi dan imanensi, keduanya saling meresapi.

Romo Herry tidak sempat meninggalkan penjabaran gagasan dualitas, pengembangan ide jalan ketiga. Tetapi sebuah warisan monumental, ketika almarhum sempat menulis buku “raksasa”, tidak hanya dalam ketebalan halaman (665 halaman) tetapi terutama dalam kedalaman isi. Terbit tahun 2018, buku yang digagasnya sejak 2014 dengan judul Korupsi. Melacak Arti, Menyimak Implikasi, tidak terlepas dari paradigma dualitasnya. Bukan berisi tentang bagaimana memberantas korupsi, tetapi menjelaskan secara komprehensif, seperti semua gejala perilaku manusia, korupsi adalah produk kaitan dunia praktik dan gagasan. Artinya, gerakan memberantas korupsi tidak punya daya tanpa ditopang pergulatan di tataran pemahaman.

St. Sularto, Wartawan Senior, Kontributor

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here