Disandera Dua Tahun oleh Kelompok Teroris, Begini Curhatan Sang Imam

217
Pastor Pierluigi Macalli bersama anak-anak di Afrika Dok. Societé des Missions Africanes (SMA) | Aid to the Church in Need
5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM— “Tuhan di manakah Engkau?” isak seorang imam misionaris asal Italia di dalam hati ketika disandera oleh militan Islam. Kelompok ini diduga kuat masih terkait dengan al-Qaeda. Imam berusia 59 tahun ini diculik pada 17 September 2018 di sebuah paroki terpencil di Barat Daya Niger, dekat perbatasan Burkina Faso. Tangisnya meledak dalam hati ketika kelompok penyaderanya membawanya ke suatu tempat yang tak mampu ia identifikasi.

Setelah dua tahun hidup sebagai tawanan di gurun, di suatu tempat antara Niger dan Mali, Pastor Pierluigi Maccalli, yang diterima oleh Paus Fransiskus pada 9 November 2020, mengenang kesan pertamanya dalam wawancara yang dilakukan oleh SMA Media Center beberapa jam setelah pembebasannya. Aid to the Church in Need (ACN) merangkum kesaksian mengesankannya yang diberikan kepada Society of African Missions (SMA) atau Perhimpunan Misi Afrika.

Tamu Tak Diundang
Dengan suara hampir pelan, dalam bahasa Prancis, Pastor Maccalli berbicara mengenai saat-saat sulit, terutama perjalanan panjangnya saat disandera selama siang dan malam melalui padang pasir yang luas, di sepanjang Sungai Niger. Imam berkacamata itu mengenang kembali malam ketika ia disandera. Di hari Senin, 17/9/2018, usai merayakan Ekaristi dan makan malam, ia pergi untuk mempersiapkan Misa pagi. Ketika itu ia mendengar suara ribut. Awalnya ia berpikir mungkin seseorang yang datang tengah mencari obat-obatan di toko obat yang ia dirikan.

Penasaran dengan kehadiran suara itu, ia keluar dan menemukan dirinya berhadapan dengan sekelompok orang bersenjata. Dengan cepat salah satu orang itu mengikat tanganya ke belakang punggung dan melemparkan senter yang ia gunakan. Dalam hati ia menduga, orang yang dihadapinya adalah pencuri biasa. “Mereka menyebut kata ligui yang artinya uang dan saya langsung menawarkan untuk mengambil sejumlah uang. Saya pikir kejadian itu akan berakhir di situ, namun ternyata tidak,” tuturnya. Setelah mendengar tawaran itu, dengan beringas mereka melepaskan tembakan sebanyak tiga kali ke udara. “Saya terkejut dan tidak siap untuk apa yang akan terjadi pada saya,” akunya semakin panik.

“Syukur kepada Tuhan, saya tidak pernah merasa ditinggalkan. Tentu saja ketika berseru kepada Tuhan, saya marah pada-Nya, meskipun begitu saya selalu merasakan Dia hadir bersamaku.”

Dengan kasar mereka membawanya keluar desa. Ia masih ingat dari kejauhan suara deru motor yang menjemput mereka. Ia dinaikkan di salah satu motor dengan perintah tidak membuat gerakan sama sekali. Selama waktu itu, ia merasakan kesedihan dan kesendirian yang luar biasa. Ketakutannya kian memuncak ketika kelompok itu membawanya pergi ke arah utara. “Saya sadar bahwa kita bergerak jauh dari Bamoanga. sepanjang hari kami berada di jalan hingga kita sampai. Saya yakin tempat itu berada di bagian utara Burkina Faso. Di sana ada Sungai Niger yang bisa kita lihat sepanjang perjalanan. Saya lihat juga tidak ada apa-apa di sana,” jelasnya. Melihat itu, pikirannya kian bergulat. Kebingungan itu juga membuatnya menitikan air mata, “Saat itu adalah momen penuh penderitaan.”

“Ke mana kita akan pergi? Di mana ini? Saya menangis pada saat-saat itu. Saya benar-benar tersesat. Saya bertanya Tuhan, di manakah Engkau?” sebutnya sambil menangis. Meskipun demikian, ia mengaku tidak pernah takut. “Syukur kepada Tuhan, saya tidak pernah merasa ditinggalkan. Tentu saja ketika berseru kepada Tuhan, saya marah padanya, meskipun begitu, saya selalu merasakan Dia hadir bersamaku. Hanya Dia yang mampu membuatku bertahan dalam situasi itu,” ungkapnya.

Tekanan Psikologis

“Mereka berkata Anda akan mati dan masuk neraka..”

Dalam wawancara itu terlihat benar dalam sorot matanya sesekali hadir nuansa kebingungan. Ia membuka dengan perkataan, “Saya merasa sulit untuk berbicara, karena setelah menghabiskan begitu lama dalam keheningan, sekarang saya mendapati diri saya berada di dunia yang penuh dengan peristiwa dan kata- kata yang bergerak cepat.” Ini adalah kata-kata pertama Pastor Maccalli usai dibebaskan, yang dialaminya dengan penuh kegembiraan dan emosi, tetapi juga kebingungan.

Cuplikan Pastor Pierluigi Macalli saat disandera| Secolo d’Italia

Selama masa penahanannya, ia mengaku sebagian besar penculiknya memperlakukan dengan baik. “Katakanlah mereka tidak pernah menyakiti atau memukuli saya. Tentu, ada beberapa kata yang cukup menyakitkan. Saya bahkan bersiap untuk mati, tetapi saya perhatikan bahwa mereka memperlakukan saya dengan hormat,” jelasnya. Oleh para penculiknya ia dipanggil “Shebani” yang berarti ‘orang tua’. Secara gamblang
ia menyebutkan bahwa tujuan para penculiknya adalah untuk mengubah imannya agar menjadi pengikut Islam. “Mereka berkata seperti Anda akan mati dan masuk neraka, maka jika ingin selamat Anda harus menjadi umat Muslim seperti kami,” kisahnya. Perlakuan berulang itu menyadarkannya bukanlah penganiayaan fisik yang ia terima, melainkan tekanan psikologis.

Ia menuturkan bagi para tawanan, hari-hari terasa membosankan, dan waktu berjalan lambat. “Segera setelah mereka melepaskan rantai di pagi hari, saya berdoa Rosario, saat kami berjalan bersama, dengan beberapa manik-manik yang telah kubuat untuk diriku sendiri dengan simpulan kain kecil. Bersama sandera lain kami ditugaskan untuk membuat api,” terangnya. Untungnya, sejak tanggal 20 Mei mereka ditawari untuk menggunakan radio kecil. Dari situ mereka mendengarkan berita dari saluran Radio Prancis, Radio Vatikan, dan BBC. “Hal yang paling berat adalah tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Hadirnya radio itu sedikit mengobati rindu kami untuk mendengar suara lain dan melihat perkembangan dunia,” ungkapnya. Ia juga mengaku sulit untuk menjalin komunikasi dengan para penculiknya yang kebanyakan adalah orang muda yang minim berbahasa Prancis dengan dominan bahasa Tamasheq dan Arab.

Selain tekanan verbal dari para penyanderanya, tantangan alam gurun juga menjadi kesulitan tersendiri. Dijelaskan cuaca siang hari begitu terik membakar kulit dan membuatnya kehausan. Kemudian saat sore menjelang malam udaranya sedikit dingin. Di waktu itu, Pastor Maccalli kembali mendaraskan Doa Rosario hingga matahari terbenam sempurna. Di malam hari, ia menyaksikan kerlap kerlip bintang khususnya saat berada di Gurun Sahara. “Saat berjalan dengan kaki terikat di malam hari, dengan sesama tahanan kita saling menguatkan dengan kata harapan bahwa hari pembebasan semakin dekat,”lanjutnya lagi.

Kekuatan Hening

“…keheningan yang luar biasa juga merupakan berkat..”

Keheningan yang luar biasa merupakan pengalaman yang sangat mewarnai Pastor Maccalli. “Saya mengalami beberapa hal indah, karena saya sangat diam. Setelah bertahun-tahun memberitakan Injil, saya harus diam dan dipanggil masuk ke dalam keheningan Tuhan. Saya menyadari bahwa ini mungkin misi saya. Keheningan padang gurun. Tidak ada musik kecuali musik angin yang bertiup. Sungguh positif karena dalam keheningan Anda mendengar hal- hal lain. Teman-temanku adalah bintang- bintang, begitu indah, sangat cemerlang. Di pagi hari saya harus bertempur melawan matahari terik; dengan panas dan haus, dan ya, saya menderita. Tapi keheningan yang luar biasa juga merupakan berkat. Dalam keheningan Anda menemukan diri Anda mengalami perjalanan batin yang membawa Anda jauh ke dalam,” bebernya.

“Air mata adalah roti saya selama berhari- hari dan menjadi doa saya ketika saya tidak tahu harus berkata apa.”

Memikirkan kembali masa penyekapannya, Pastor Pierluigi berujar, “Air mata adalah roti saya selama berhari- hari dan menjadi doa saya ketika saya tidak tahu harus berkata apa.” Suatu hari, ia teringat perkataan seorang rabi yang mengatakan bahwa Tuhan menghitung jumlah air mata perempuan. Pastor Pierluigi berkata kemudian ia berdoa: “Tuhan, siapa yang tahu apakah Engkau juga menghitung air mata laki-laki… Aku mempersembahkannya kepadamu dalam doa untuk menyirami tanah misi yang gersang itu tetapi juga kekeringan hati mereka yang membenci dan menyebabkan perang dan kekerasan.”

Berbicara tentang kebutuhan dasar untuk bertahan hidup di gurun, misionaris di tanah Afrika ini berkata bahwa penting untuk memiliki air untuk diminum, untuk makan, bahkan jika itu adalah makanan yang sama setiap hari, seperti bawang, lentil dan sarden. Makanan enak bukanlah yang terpenting. Ia menambahkan: “Keadaan ini sama dalam kehidupan spiritual.” Lanjutnya, “Yang penting adalah shalom (kedamaian), pengampunan, persaudaraan, dan sebagai misionaris,”

“Sekarang saya merasakan dorongan yang lebih besar untuk menjadi saksi perdamaian, persaudaraan dan pengampunan, mulai hari ini dan selama- lamanya.”

Pastor Maccalli akhirnya dibebaskan pada 8 Oktober 2020 bersama tawanan lainnya. Ia juga menekankan pentingnya ensiklik baru Paus Fransiskus “Fratelli Tutti”. Ia berharap dengan semangat ensiklik ini rasa persaudaraan universal dapat menyentuh hati Afrika seluruhnya. Dan sebagai bekas sandera ia menyimpulkan, “Sekarang saya merasakan dorongan yang lebih besar untuk menjadi saksi perdamaian, persaudaraan dan pengampunan, mulai hari ini dan selama- lamanya.”

Felicia Permata Hanggu

HIDUP Edisi 02| Tanggal Terbit 10 Januari 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here