Sebuah Catatan Pinggiran di Malam Paskah

268
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Sebuah catatan pinggir di malam Paskah.

Tiga anak kecil…
dalam langkah malu-malu
datang ke Salemba sore itu…
Ini dari kami bertiga.
Pita hitam pada karangan bunga…
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati siang tadi…

(Taufiq Ismail, Tirani, 1996)

Puisi di atas menyiratkan peristiwa demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966 menentang tirani orde Lama. Tiga anak kecil mewakili golongan manusia lemah yang masih belia, polos, suci, dan murni hatinya, yang sesungguhnya belum tahu apa-apa tentang peristiwa demonstrasi itu sendiri. Tetapi toh, mereka bertiga sudah mampu menyatakan sikap dan rasa duka mendalam atas gugurnya mahasiswa Kusuma bangsa yang ditembak mati oleh penguasa rezim itu. Makanya dengan langkah malu-malu, mereka membawa karangan bunga itu ke makam kakak yang ditembak itu. Pita hitam pada karangan bunga adalah tanda duka ketiga anak kecil itu sekaligus penguat langkah mereka.

Itulah puisi yang sempat naik daun di era itu, bahkan sampai pada zaman kita, biasanya ketika ada peristiwa politik, ada mahasiswa turun demo lalu dihadang petugas, apalagi kalau sampai jatuh korban jiwa maka puisi ini biasa muncul lagi. Tentu ini sebuah makna kias yang menggambarkan suatu maksud yang hendak dikemukakan oleh Sang Penyair.
Saya sengaja menempatkan puisi ini di awal renungan kita, tentang mala mini, malam Paskah. Apa hubungannya? Mari kita bermenung.

Dikisahkan bahwa tiga perempuan, dengan langkah penuh hati-hati masih diselimuti rasa takut datang ke Makam pagi-pagi benar. Penginjil Markus menulis nama mereka dengan jelas sekali “Maria Magdalena, Maria Ibunda Yakobus, dan Salome (Mrk. 16:1).”

Meskipun perjalanan ketiga wanita itu ke makam, namun mereka tidak sama secara banyak hal dengan tiga anak kecil dalam tulisan Taufiq Ismail di atas. Mereka tentu sudah agak tua (kisaran umur Yesus ke atas, berarti di atas 30 an-lah), mereka melangkah ke kubur bukan dalam ketidaktahuan tentang demonstrasi seperti tiga anak kecil itu, pun tidak di saat sore hari saat santai dan agak lebih cocok mengunjungi Makam seperti yang dibuat oleh tiga anak kecil di atas dalam langkah malu-malu.

Tapi juga mereka bergerak dalam situasi yang kurang lebih sama. Keduanya (tiga anak kecil dan tiga perempuan) adalah wakil dari orang-orang baik yang punya hati iba dan turut merasakan kepedihan mendalam oleh kematian yang “tidak wajar” dan “tak adil”. Para perempuan dan ketiga anak kecil adalah wakil dari orang-orang lemah, orang-orang sederhana, yang disingkirkan, dan yang tidak dipandang sama sekali oleh katakanlah kultur patriarkat dan segala tetek bengeknya. Mereka adalah wakil orang-orang lemah yang tidak atau kurang mendapat kedudukan terhormat dalam masyarakat.
Jika langkah ketiga anak kecil sore itu adalah ikut berduka bagi kakak yang secara tidak adil dan tak berperikemanusiaan ditembak mati siang tadi, maka ketiga perempuan pun dalam kemirisan yang sama berlangkah ke makam Sang Kakak, Sang Sahabat, Sang Guru, Sang Mesias, Sang Tuhan yang disalibkan secara keji dan tidak adil. Sama-sama adalah korban ketidakadilan penguasa.

Tiga anak kecil membawa karangan bunga dengan pita hitam, demikian pun ketiga perempuan membawa rempah-rempah yang mereka beli sendiri untuk mengurap jenazah Yesus.

Sampai di sini narasi terputus di kisah tiga anak kecil pengunjung makam. Tidak ada cerita lebih lanjut setelah karangan bunga berpita hitam sudah ditaruh di atas makam sang Kakak. Sementara narasi terus tersambung di kisah tiga perempuan pengunjung makam suci.

Batu besar yang awalnya sempat mereka pikir bakal jadi penghambat karena apalah daya perempuan menggulingkan batu dalam keadaan yang belum begitu stabil oleh tragedi penyaliban siang hingga sore kemarin. Dan ternyata di luar dugaan batu besar itu sudah terguling. Segudang tanya mulai muncul; siapakah pemuda yang memakai jubah putih itu? Di mana jenazah Tuhan?

“Jangan takut, pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan Petrus, bahwa Ia mendahului kamu ke Galilea…”

Inilah pesan Paskah itu. Pergilah. Yah, mari kita pergi untuk mewartakan sukacita Paskah. Tuhan sudah bangkit jaya. Dialah kemenangan kita. Batu besar penutup kubur tidak lagi menjadi penghambat, kita bebas, kita menang. Alleluya.
Ketiga Perempuan itu adalah wartawati pertama yang mengabarkan sukacita paling besar yang melandasi kokohnya iman Kristiani. Maka benar kata Santo Paulus, “Kalau Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman kita,” (1Kor. 15:14). Bayangkan jika ketiga perempuan ini tidak pergi ke kubur atau jika mereka memilih untuk pulang dan diamkan saja peristiwa aneh itu. Akan jadi apakah komunitas (iman) Kristiani selanjutnya?

Bagi saya kita patut bersyukur atas ketiga wartawati suci ini yang sudah menyampaikan atau lebih tepatnya meneruskan pesan Kebangkitan, kepada para Murid (yang meskipun awalnya ragu-ragu), lalu kemudian menyebar ke segala penjuru dunia sampai ke kita sini.

Dan sekarang tugas kita adalah: tidak perlu ke kubur itu lagi, tidak perlu cemas dengan batu penutup kubur itu. Memang bahwa terkadang niat baik kita selalu berbenturan dengan banyak hal yang menghalang. Ibarat batu penutup kubur, penghalang-penghalang itu pun akan digulingkan sendiri oleh Tuhan, sehingga kita pun menemukan kubur kosong, dan mewartakan ke penjuru dunia, “Dia tidak ada lagi di sini. Dia sudah bangkit,” (Mrk. 16:6).

Mari kita teladani semangat para wanita yang adalah saksi kunci kebangkitan, kita berani menerobos penghalang, berani masuk ke dalam misteri kematian dan kebangkitan Yesus, agar dari sanalah kita memperoleh kekuatan untuk menjadi wartawan-wartawati keselamatan bagi dunia yang sedang diporak-porandakan ini.
Selamat Paskah 2021. Alleluya

Pastor Jose Herman Bataona, CMF/Dok.pribadi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here