UNIK SEKALI, TRADISI PASKAH PENINGGALAN PORTUGIS DI DESA KONGA

221
Umat Katolik dan para peziarah dari luar Desa Konga mengikuti perarakan Bunda Maria Alleluya.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – PEMUDA-pemudi Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, punya kebiasaan setiap kali memasuki hari Minggu Paskah. Usai Misa Paskah di pagi hari, mereka beramai-ramai menghias desa dengan ragam atribut. Di siang hari, para pemuda membuat patok-patok dari bambu di pinggir jalan dan menghiasinya dengan pucuk daun kelapa. Sementara patok-patok dihiasi, para pemudi membantu menyapu dan mencabut rumput di pinggir jalan agar terlihat bersih. Sedangkan bapak-bapak membantu memotong dahan-dahan pohon yang menjulang ke jalanan. Ada juga sebagian yang membersihkan pohon-pohon kelapa di pinggiran jalan baik buah ataupun daun yang sudah kering.

Hari Minggu Paskah, bukan hari istirahat atau hari libur bagi umat Konga. Pada pukul 15.00, semua warga akan meletakkan lilin di sepanjang jalan. Ibu-ibu terlihat sibuk menata patung-patung Bunda Maria atau salib lalu mendekor benda-benda rohani itu dengan kain tenun. Saat matahari terbenam, lilin-lilin yang berderet di sepanjang jalan itu dinyalahkan membuat jalanan Desa Konga terang benderang. Desa yang selalu gelap karena lampu jalanan belum terpasang seketika menjadi terang.

Minggu malam tepat Hari Raya Paskah, umat Katolik Konga merayakan tradisi Maria Alleluya. Sebuah tradisi dari Portugis yang masih dipertahankan umat Katolik Konga hingga hari ini. Istimewanya, tradisi ini satu-satunya hanya terdapat di Konga, sarat makna dengan pesan kegembiraan menjadi kunci perayaan ini.

Kesaksian Hidup

Saat matahari terbenam, warga Konga berbondong keluar rumah. Mereka menuju gereja yang digerbangi dua pohon beringin tua serta meriam peninggalan Portugis. Mereka mendaraskan doa, hingga bulan purnama muncul, lalu genderang pun ditabuh. Empat lelaki mengusung arca Bunda Maria dalam rona gembira terbuat dari gading yang usianya telah melampaui abad demi abad.

Lalu seperti dikomando, para pria, wanita, orangtua, remaja hingga anak bayi, berarak.

Di tangan kanan mereka, tongkat bendera kuning-putih dikebaskan. Di tangan kiri, lilin berpijar dinyalakan. Dan kegembiraan pun pecah. Malam itu, setiap insan Konga dilarang bersedih.

Usai perarakan mengelilingi desa, patung Maria Alleluya memasuki gereja.

Graece Susanto umat Paroki St. Theresia Menteng, Keuskupan Agung Jakarta saat dihubungi bercerita, saat mengikuti tradisi Maria Alleluya, umat diminta untuk bergembira. Para peziarah juga demikian, tidak membawa beban apapun pada saat itu. Sebelum perarakan kepala paroki juga sudah mengingatkan para peziarah agar meniggalkan beban kehidupan kalau mau merayakan tradisi Maria Alleluya.

“Melihat kegembiraan umat Konga, hendaknya setiap persoalan hidup menjadi sirna. Tidak ada kesan kesedihan karena baru saja merayakan wafat dan kebangkitan Kristus. Malam itu seakan setiap orang dilarang untuk bersedih,” ujar perempuan yang pernah mengikuti tradisi Maria Alleluya tahun 2017 ini.

Graece sendiri sebenarnya adalah seorang peziarah dari Jakarta yang mengikuti Semana Santa di Larantuka tahun 2017. Tetapi ia memilih menghabiskan perjalanan ziarahnya di Desa Konga yang kental dengan tradisi Maria Alleluya. Ia mendapatkan cerita tentang tradisi ini dari Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung. Akhirnya, ia bersama sang suami melakukan perjalanan darat usai Misa Paskah di Larantuka.

Pada saat mengikuti tradisi itu, Graece memiliki intensi khusus. Ia bersama suami ingin dikarunia keturunan. Maka dalam perayaan Maria Alleluya, Graece meminta kepada Bunda Maria agar dikarunia seorang anak. Sebagai bentuk ketulusan hati, sang suami ambil bagian sebagai peserta pengusung patung Bunda Maria Alleluya. “Saat suami mengusung patung Bunda Maria, hati kecil saya mengatakan permohonan kami akan dikabulkan. Saya percaya akan kekuatan doa kepada Bunda Maria,” ceritanya.

Hal ini terbukti, setahun setelah mengikuti perayaan Semana Santa dan Maria Alleluya, Graece hamil dan melahirkan seorang putri cantik yang diberi nama Regina Semana Ang. Nama Regina berasal dari lagu Regína Caeli yang dibawakan berulang-ulang dalam perayaan Maria Alleluya, sedangkan Semana adalah nama dari tradisi Semana Santa.

“Saya dan suami serta keluarga besar begitu bahagia karena kami diberikan hadiah oleh Tuan Ma (Bunda Maria) dan Bunda Maria Alleluya. Setelah 8 tahun pernikahan kami akhirnya diberkati,” cerita Graece dengan kegembiraan.

Pesta Sukacita

Prosesi kebangkitan ini diawali dengan umat berkumpul di sekitar kapela, tempat bersemayam patung Bunda Maria. Umat dan confreria (kelompok pengiring) mengeluarkan patung dari kapela ke gereja. Prosesi ini adalah lanjutan dari Ari Bae (hari-hari peringatan wafat dan kebangkitan Kristus yang dimulai Rabu trewa-sehari sebelum Tri Hari Suci sampai Minggu Paskah).

Prosesi ini mengandung makna umat beriman merayakan sukacita kebangkitan Kristus bersama Bunda Maria. Bagi umat Konga, Minggu Paskah adalah hari kemenangan bagi orang-orang tertebus. Bersama Bunda Maria Alleluya, umat Konga merayakan hidup baru setelah berada dalam kegelapan dosa, akhirnya bangkit bersama Kristus. Seperti Kristus tiga hari berada dalam kegelapan makam lalu bangkit sebagai bentuk kemenangan karena telah mengalahkan dosa dan maut.

Umat yang berkumpul di halaman kapal pada malam itu terlebih dahulu mengikuti ibadah kebangkitan. Sesudah itu baru diadakan perarakan dengan mengikuti rute armada-armada (pemberhentian) sambil membawa patung Maria Alleluya yang diusung oleh empat orang confreria. Dalam perjalanan itu, para confreria bersama ana muji (orang-orang yang menyanyikan lagu Regína Caeli) diiringi gendang sukacita mulai melantunkan lagu Regína Caeli.

Adapun urutan perarakannya adalah pembawa salib, setelah itu barisan anak-anak dan Orang Muda Katolik. Di belakang kaum muda, ada confreria bersama Ana-ana Muji, setelahnya tumba patung Maria Alleluya yang dihiasi dengan semarak. Di belakang tumba patung Maria Alleluya, ada organisasi gerejawi yang ada di Konga, setelah itu baru umat stasi atau para peziarah dari luar Konga.

Dalam perayaan Maria Alleluya, para pengarak hanya butuh satu lagu Regína Caeli yang dinyanyikan berulang-ulang. Menurut Paskalis Fernandez seorang umat Konga, anggota confreria ritme lagu ini dinyanyikan pelan-pelan sampai suara bernada tinggi. Ada sahut-sahutan dari barisan depan hingga belakang menimbulkan resonansi aneh, sebuah paduan suara kanon. Ritme suara mereka pelan, tapi melengking diringi tabuan gendang yang dipukul-pukul. Tabuan gendang membuat malam itu berorama pesta sukacita. “Lagi-lagi dalam perayaan ini tidak boleh bersedih dan menangisi kematian dan wafat Kristus. Sebaliknya wajah kegembiraan dipadu harapan akan hidup baru menjadi kekuatan dan nilai utama dalam perayaan ini,” sebutnya.

Sambil berjalan mengeliling kampung, mereka saling memandang sambil melemparkan senyum tawa. Kadang ketika memasuki perhentian tertentu, mereka menari mengikuti tabuan gendang. Jika tidak memiliki gendang, bisa membawa jirigen atau galon air yang ditabuh berulang-ulang. Tampak umat seakan melepaskan beban hidup mereka. Dari pukul 19.00 hingga pukul 00.00, umat berkeliling kampung lalu patung Bunda Maria diarak ke dalam gereja. Di gereja mereka mengadakan doa bersama.

Yusti H. Wuarmanuk

(HIDUP, Edisi No.14/Tahun ke-75, 4 April 2021)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here